Anda bisa membayangkan sebuah statement yang benar-benar tidak mencerminkan akal waras kita. Bagaimana mungkin pada saat itu Rp1.500 triliun utang negara, lalu ada orang mengatakan tersimpan emas batangan di bawah tanah.
Kalau Anda konversi emas waktu itu Rp250 ribu per gram. Untuk membayar Rp1.500 triliun kita butuh 6.000 ton emas batangan. Kalau dikonversi dalam angkutan dengan asumsi truk 4 ton dengan panjang 5 meter maka kita harus deretkan truk tersebut mulai dari Kebayoran baru sampai Hotel Indonesia tanpa jarak satu jengkal.
Dari sini kita bisa bayangkan nalar ini di mana? Kemudian tiba-tiba di tengah jalan minggu lalu ada deklarasi menyumbang Rp2 triliun. Logika sederhana, kalau orang ini menyumbang Rp2 triliun berapa banyak uangnya?
Angka berapa banyak itu yang saya logikakan lagi, dari mana dia dapat, dan bagaimana cara mendapatkannya. Kemudian bagaimana pajaknya. Semua ini bergelayut dipikiran saya satu minggu terakhir.
Dan ada lagi rentetan kejadian pada saat saudara-saudara kita kena musibah likuifaksi di Palu Sulawesi Tengah dan di Nusa Tenggara Barat. Ada lagi konglomerat yang datang mendeklarasikan akan membangun 1.500 unit rumah cuma-cuma.
Sampai saat ini belum saya dengar kawan-kawan pers memuat berita janji konglomerat itu membangun rumah.
Jadi buat saya ini semua mencederai akal sehat saya. Sebagai insan universitas saya agak terganggu secara spiritual, karena itulah saya menulis apa adanya. Begitu latar belakangnya.
Hal seperti ini selalu berulang?
Juga ada permasalahan lain kenapa harus diupacarakan dan harus melibatkan pejabat. Apakah itu pusat atau daerah. Dan itulah mengapa saya mengatakan ini pencederaan akal sehat pejabat kita.
Bisa Anda korelasikan antara niat baik dengan realitas kasus sumbangan?
Antara niat baik dan realitas terlampau jauh bedanya. Kalau Anda sekedar niat baik ada potensi yang Anda mau pakai disertai keikhlasan tetapi kalau Anda mengatakan dan memberi janji yang sudah tidak masuk akal sehat dan hanya untuk kepentingan publisitas itu sudah salah.
Lantas mengapa pejabat negara bisa percaya dengan adanya dana sumbangan ini?
Dari awal saya bilang tidak masuk akal. Baru saja ada kesempatan mau menulis. Karena saya menunggu pencairannya. Sudah dua tiga hari tidak ada pencairan apalagi sudah diupacarakan. Menghebohkan seluruh negeri. Kalau ada mestinya langsung diberikan.
Mengapa narasi yang terbangun di publik positif, boleh dibilang 80 persen positif. Apalagi yang memberikan bantuan dari saudara kita etnis Tionghoa?
Mari kita lihat suasana batin rakyat Indonesia di tengah himpitan pandemi Covid-19. Ekonomi terseret jalannya. Faktor psikologis keterbatasan gerak. Tiba-tiba ada orang menawarkan pesona mau meringankan beban. Maka segala keterhimpitan itu dibuka seperti air bak. There is light at the end of the tunnel (ada cahaya di ujung terowongan, red).
Suasana batin itu yang ada maka semua orang mengatakan Anda adalah pahlawan bangsa ini . Menjadi masalah psikologi bangsa yang terhimpit oleh berbagai derita antara lain pandemi Covid-19. Sama seperti likuifaksi Palu karena anak-anak bangsa kita sedang desperate akibat bencana gempa bumi.