Sebagai bentuk penghormatan, Amelia mengaku merasa senang untuk membagikan cerita.
Ia membalas pertanyaan masyarakat dan tak jarang membuatnya mengingatkan kembali pada visual sang ayah.
Rasa trauma yang dialami Amelia ketika menulis, kerap membangunkan visualisasi sang ayah seolah datang kembali dan merasa dekat dengannya.
"Seolah-olah saya dibimbing untuk menulis,"
"Kan nulisnya bukan siang hari, saya nulisnya malam hari, jam tiga pagi, jam satu malam, ketika sepi, tidak ada siapa-siapa,"
"Saya seperti ada yang mendorong untuk menulis dan jawaban itu seperti ada di situ," ujarnya.
Selain mengobati rasa rindu dengan menulis, Amelia juga mengobati trauma batinnya pindah ke desa.
Kurang lebih selama 20 tahun ia tinggal di desa di Sleman, Yogyakarta.
Ia mengaku pergi ke desa untuk menyembuhkan trauma, rasa dendam, rasa amarah dan kebenciannya.
"Tapi, kemudian, saya pindah ke desa, saya pindah ke sebuah dusun, dusun Bawuk namanya (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1988). Enggak ada listrik."
"Tinggal di desa itulah yang menyembuhkan saya dari semua rasa dendam, rasa amarah, rasa benci, kecewa, iri hati, dengki," ungkapnya.
Ketika itu, Amelia menyekolahkan putra tunggalnya ke Australia, sehingga ia sendiri di desa.
Di desa ia habiskan waktu untuk pergi ke sawah, kolam ikan, beternak hingga berkebun.
"Saya sendiri di desa."
"Bangun pagi, jam enam saya sudah di sawah."