Hal itu bisa dilihat dari kasus Meiliana yang mengeluhkan pengeras suara azan dari sebuah masjid.
Dalam kasus tersebut, yang dijadikan alat bukti oleh polisi yakni pengeras suara azan.
Padahal, pengeras suara azan tak ada kaitannya dengan perbuatan Meiliana.
"Misalnya kalau pemalsuan uang maka barang buktinya uang palsunya atau alat mencetak uang palsu itu."
"Dalam kasus Meliana barang buktinya adalah toa (pengeras suara) masjid, padahal toa masjid itu enggak ada kaitanya dengan perbuatannya Meliana," ujar Asfinawati.
Tidak hanya itu, seseorang kerap kali dituduh melakukan perbuatan penodaan agama karena dijerat hukum yang sebenarnya baru dibuat setelah peristiwa terjadi.
Padahal, seharusnya seseorang dihukum atas perbuatannya jika memang terbukti melanggar aturan yang sudah ada.
"Ada orang misalnya shalat 2 bahasa, kemudian setelah perbuatan itu dilakukan (pelaku), pengadu meminta fatwa, fatwanya muncul kemudian setelah pengaduan disampaikan kepada polisi atau setidak-tidaknya sesudah perbuatan itu dilakukan," ujar Asfina.
"Jadi kan tidak ada hukuman ketika perbuatan itu dilakukan," ucap dia.
YLBHI mencatat, selama Januari 2010 hingga Mei 2020, terjadi 38 kasus penodaan agama di Indonesia.
Ke-38 kasus itu tersebar di sejumlah provinsi, mayoritas di Sulawesi Selatan.
"Jadi ada daerah-daerah yang cukup menonjol yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Maluku Utara dan Jawa Barat."
"Kalau kita pelajari kasus-kasus sebelumnya, memang daerah ini selalu ada dan cukup banyak," kata dia.
Berdasarkan catatan YLBHI, dari 38 kasus, 6 di antaranya terjadi di Sulawesi Selatan.
Kemudian, di Maluku Utara dan Jawa Timur masing-masing terjadi 5 kasus.