Sekitar 40 mil Kapolsek dan Koramil Seunuddon, personel Marinir, bergerak menelusuri informasi tersebut bahwa benar-benar terjadinya.
Saat itu para nelayan dan petugas tidak tahu bahasa mereka dan hanya berkomunikasi pakai bahasa isyarat, hanya saja mereka terlihat menangis.
• Nasib Pilu Janda Muda di Pringsewu Diperkosa 2 Pria, Tak Berdaya Alami Penyiksaan di Ruang Tamu
Lalu kapal yang membawa etnis Rohingya tersebut, ditarik dengan menggunakan kapal milik Pol Airud ke wilayah Perairan Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Kabupaten Aceh Utara.
Saat sekarang ini, sebannyak 99 etnis Rohingya tersebut telah menempati bekas kantor Imigrasi Lhokseumawe, di Desa Punteut, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe dan telah ditangani dengan baik.
Bahkan dalam waktu dekat ini mereka juga akan direlokasi kembali ke gedung BLK di kawasan Kandang, kota Lhokseumawe.
Bahkan pihak United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) harus segera mencari negara ketiga, yang bersedia menampung manusia perahu itu.
Sementara itu Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Lhokseumawe, mendorong pemerintah Aceh agar segera melakukan pemulihan trauma bagi perempuan dan anak-anak pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh.
Apalagi telah berbulan-bulan berada di kapal dan hanya bermodal logistik yang terbatas.
Dirinya menambahkan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) terhadap perempuan Rohingya, yang terdampar di penampungan India, Malaysia dan Indonesia.
Maka menunjukkan bahwa, ada sekitar 60 persen perempuan tersebut terpaksa menikah dalam usia dini sebelum usia 16 dan 17 tahun.
Sehingga pengantin anak-anak itu, disinyalir sebagai korban perdangangan manusia.
“Makanya program untuk pemulihan trauma itu penting untuk segera dilakukan, mengingat berbagai peristiwa yang telah dialami.
Apalagi selama berada di kapal, mereka tidak mengalami suasana yang nyaman,” tuturnya.
Tambahnya, terhitung sejak bulan Agustus tahun 2017, maka lebih dari 740.000 warga Rohingya telah meninggalkan rumah mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, karena mengalami kekerasan secara brutal.
“Pengungsi Rohingya memiliki hak asasi yang tidak dapat diganggu gugat, namun Pemerintah tidak diperbolehkan melakukan pemulangan kecuali hal tersebut berlangsung aman, sukarela,” pungkas Junaidi Yahya. (*)