Sejarah Indonesia

Nasib 3 Jenderal TNI yang Dulu Permalukan Soeharto, Tragis Ada yang Jadi Korban Pembunuhan Keji

Editor: Andreas Eko Prasetyo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jenderal M Jusuf

Nasib 3 Jenderal TNI yang Dulu Permalukan Soeharto, Tragis Ada yang Jadi Korban Pembunuhan Keji

TRIBUNJAMBI.COM - Nama Soeharto sangat disegani ketika menjadi seorang Presiden RI.

Namun siapa sangka, ada 3 sosok Jenderal TNI yang pernah buat Pak Harto malu.

Nasib tiga orang Jenderal TNI yang pernah mempermalukan Soeharto redup setelah Pak Harto berkuasa.

Bahkan satu diantara Jenderal yang pernah mempermalukan Pak Harto menjadi korban penculikan pada peristiwa berdarah G30S/PKI.

Mantan Wakil Perdana Menteri Indonesia di era tahun 1960-an, Soebandrio, menerbitkan memoar berjudul Kesaksianku Tentang G30S pada tahun 2000 lalu.

Dalam buku tersebut, Subandrio melancarkan serangan balik ke Soeharto.

Ia menuding Soeharto justru telah melakukan kudeta merangkak terhadap kekuasaan Soekarno.

Menurut Soebandrio, Soeharto punya rekam jejak yang buruk jauh sebelum peristiwa G30S.

Yang pertama, semasa di divisi Diponegoro, Soeharto menjalin relasi dengan pengusaha tionghoa, Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.

Soebandrio menyebut orang-orang ini menjalankan bisnis penyelundupan berbagai barang.

Baca: Kopassus Lawan Pasukan Mengerikan di Timor Timur Besutan Pasukan Portugis, Mereka Dinamai Tropaz

Baca: 6 Anak Selebritis yang Sukses Jadi Aparat, Tak Ikut Jejak Artis, Bahkan Ada yang Jadi Kopassus

Baca: Pabrikan Renault Boyong Triber ke Indonesia, Persaingan Mobil MPV 7 Kursi Makin Ramai. Harga LCGC

Baca: Ketahuan Curi Mesin AC di Rumah Kosong, Pria Ini Nyaris Dihakimi Warga

Baca: Bahan Makanan Masih Jadi Penyumbang Utama Inflasi, Mei 2019, Kota Jambi Alami Inflasi 0,38 Persen

Kabar itu berhembus kemana-mana hingga ke telinga, Jenderal Ahmad Yani.

Kabarnya Ahmad Yani sangat marah.

Soeharto dianggap mempermalukan korps Angkatan Darat (AD).

Ahmad Yani diculik dari rumahnya 

Tak hanya itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal AH Nasution juga dikabarkan pernah memecat Soeharto sebagai Pangdam Diponegoro secara tidak hormat.

Soeharto dianggap telah menggunakan institusi militernya untuk mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah.

“Sebagai Penguasa Perang, saya merasa ada wewenang mengambil keputusan darurat untuk kepentingan rakyat, ialah dengan barter gula dengan beras. Saya tugasi Bob Hasan melaksanakan barter ke Singapura, dengan catatan beras harus datang lebih dahulu ke Semarang,” demikian pengakuan Soeharto dalam Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989).

Namun Soeharto diselamatkan Mayjend Gatot Subroto.

Menurut Gatot, Soeharto masih bisa dibina.

Akhirnya, Soeharto pun disekolah di Seskoad di Bandung.

Akhir Hayat Jenderal Nasution yang Menyedihkan

Nasib Jenderal AH Nasution dan Jenderal Ahmad Yani berbeda sat terjadi peristiwa penculikan jenderal AD, 30 September 1965.

Ahmad Yani tewas sementara AH Nasution berhasil melarikan diri.

Jenderal Abdul Haris Nasution dan Mayor Jenderal Soeharto berdoa di depan peti jenazah almarhum Jenderal Sutojo (kompas) 

Baca: Gadis 16 Tahun Dianggap Dalang Terjadinya Perang Gengster Kutabumi dengan Cadas di Tangerang

Baca: Penyidik Selesaikan Berkas Kasus Duplikat KTP, Tersangka dan Barang Bukti Diserahkan ke Jaksa

Baca: Usai Lebaran, Pemerintah Kembali Membuka Rekrutmen CPNS 2019, Pahami Kebutuhannya Berikut!

Baca: Wabup Amir Sakib Mantapkan Diri Maju Pilkada Tanjab Barat 2020 Mendatang

Baca: Tumor Ganas Dilehernya Membesar, Seniman Pembuat Alat Musik Tradisional Muarojambi Ini Butuh Kita

Namun Nasution harus kehilangan putrinya Ade Irma Suryani.

Nasution masih hidup hingga tahun 2000.

Selepas menjadi Ketua MPRS dan melantik Soeharto sebagai presiden ke-2 kariernya meredup.

Di orde baru Nasution nyaris tak kebagian peran mengurus negara.

Yang terjadi malah ia dicekal orde baru.

Nasution juga tidak boleh muncul dalam acara kenegaraan dimana ada Presiden Soeharto.

Bahkan sampai urusan mobil Holden Priemer tua lungsuran dari Hankam yang dipakai Nasution sehari-hari ikut ditarik dari kediamannya.

Sebuah cerita di penghujung hayatnya malah membuat banyak orang bersedih.

Kabarnya ia tak mewariskan kekayaan materi pada keluarganya, kecuali kekayaan pengalaman perjuangan dan idealisme.

Rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, tetap tampak kusam, tak pernah direnovasi. 

Berstatus jenderal tapi mengalami kesulitan air bersih sehari-hari di rumahnya.

Kabarnya ada yang memutus aliran air PAM ke rumahnya.

Baca: Manfaatkan Smart City, Walikota Fasha Sidak Absen Pegawai Pemkot Jambi Via Online

Baca: Arus Balik di Pelabuhan Kuala Tungkal Melonjak, Penumpang Diminta Tetap Utamakan Keselamatan

Baca: Korban Terjatuh di Tol Cipali, Petani Sawit yang Baru 2 Tahun Tinggal di Bahar Utara, Muarojambi

Baca: Ada Alas Putih, Seorang Ibu Terkejut saat Ketahui Ada Tempat Prostitusi Terselubung di Tengah Hutan

Baca: Buah Parjito, Buah Warisan Sunan Muria yang Disebut Bantu Pasangan yang Ingin Miliki Keturunan

Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, Nasution terpaksa membuat sumur di belakang rumah.

Sumur itu masih ada sampai sekarang.

Nasib Kolonel Kawilerang

Dalam sejarah dunia militer Indonesia, sosok Alex Evert Kawilarang merupakan nama yang tak asing lagi dikenal.

Pria kelahiran Batavia (kini Jakarta), 23 Februari 1920 ini pernah menempeleng Presiden kedua Indonesia, Soeharto.

Penempelengan tersebut terjadi ketika Kawilarang menjabat sebagai Panglima selaku atasan dari Letkol, Soeharto.

Sekitar tahun 1950-an, sebagai Panglima Wirabuana, Alex E Kawilarang melaporkan kepada Presiden Soekarno bahwa keadaan di Makassar sudah aman.

Alex Evert Kawilarang (grid)

Namun Soekarno justru menyodorkan sebuah radiogram yang baru saja diterimanya yang melaporkan bahwa pasukan KNIL Belanda sudah menduduki Makassar.

Brigade Mataram, pasukan yang seharusnya mempertahankan kota Makassar saat itu juga dilaporkan telah mundur ke Lapangan Udara Mandai.

Mendengar radiogram tersebut, Kawilarang marah besar dan segera kembali ke Makassar.

Setibanya di lapangan udara Mandai, ia langsung memarahi Komandan Brigade Mataram, Letkol Soeharto, sambil menempelengnya.

Latar belakang Alex E Kawilarang

Alex E Kawilarang merupakan putera dari keluarga dengan latar belakang militer.

Ayahnya adalah A.H.H. Kawilarang, yang merupakan seorang mayor KNIL asal Tondano.

Ia lahir dari ibu bernama Nelly Betsy Mogot, yang berasal dari Remboken.

Alex E Kawilarang, juga merupakan sepupu dari Pahlawan Nasional, Daan Mogot.

Ia meninggal di Jakarta pada 6 Juni 2000 silam di usia 80 tahun.

Selain sebagai perwira militer yang termasuk dalam Angkatan '45, Alex E Kawilarang juga merupakan mantan anggota KNIL.

Karier Militer Alex E Kawilarang

Alex E Kawilarang mengawali kariernya sebagai Komandan Pleton Kadet KNIL di Magelang pada tahun 1941-1942.

Kariernya melaju cepat seiring berjalannya waktu.

Pada 11 Desember 1945 ia telah menjadi perwira dengan pangkat mayor dan bertugas sebagai penghubung dengan pasukan Inggris di Jakarta.

Baca: Makin Sadis! Kim Jong Un Beri Eksekusi Mati Terbaru dengan Lemparkan Tereksekusi ke Kolam Piranha

Baca: Ingat dr. Ryan Thamrin? Sebelum Meninggal, Ini Pesan Khusus Darinya Bagi Pemilik Darah Golongan O

Baca: Saidin, Pembuat Alat Musik Tradisional, Seniman Muarojambi dari Generasi Ketiga yang Masih Ada

Baca: Viral Rujak Cingur Harga Rp60 Ribu & Lontong Rp15 Ribu serta Es Teh Rp15 Ribu, Pembeli Dibuat Kaget

Sebulan kemudian, tepatnya pada Januari 1946 ia menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Infanteri Bogor Divisi II Jawa Barat, dengan pangkat letnan kolonel.

Tiga bulan setelah itu, pada April-Mei 1946, ia diangkat menjadi Komandan Resimen Infanteri Bogor.

Alex E Kawilarang (kiri), Soeharto (kanan) (kolase tribunnews)

Tiga bulan selanjutnya, yakni pada bulan Agustus 1946 hingga 1947 ia diberi kepercayaan sebagai Komandan Brigade II/Suryakencana - Divisi Siliwangi di Sukabumi, Bogor dan Tjiandjur.

Pada 1948-1949, Kawilarang menjabat sebagai Komandan Brigade I Divisi Siliwangi di Yogyakarta.

Di tahun yang sama, tepatnya pada 28 November 1948 ia juga menjabat sebagai Komandan Sub Teritorium VII/Tapanuli, Sumatera Timur bagian selatan.

Setahun selanjutnya, pada 1 Januari 1949 pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), ia dipercaya sebagai Wakil Gubernur Militer PDRI untuk wilayah Tapanuli dan Sumatera Timur bagian selatan.

Di penghujung tahun 1949, tepatnya pada tanggal 28 Desember, ia dipercaya sebagai Gubernur Militer wilayah Aceh dan Sumatera Utara merangkap Wakil Koordinator Keamanan dengan pangkat kolonel.

Dua bulan kemudian, pada 21 Februari 1950, ia mendapatkan kepercayaan tambahan sebagai Panglima Tentara dan Territorium I/Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan.

Pada 15 April 1950 ia diangkat sebagai Panglima Operasi Pasukan Ekspedisi.

Saat itu ia ditugaskan untuk memimpin Pasukan Ekspedisi dalam Operasi Penumpasan Pemberontakan Andi Azis di Makassar, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, dan Pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.

Pada 1951-1956, Kawilarang diangkat sebagai Panglima Komando Tentara dan Territorium VII/Indonesia Timur (TTIT) di Makassar dan pada November tahun yang sama menjadi Panglima TT III/Siliwangi yang di kemudian hari diubah namanya menjadi Kodam III/Siliwangi.

Salah satu jasanya yang hingga kini sangat terasa kehadirannya adalah saat ia merintis pembentukan pasukan khusus TNI pada April 1951, dengan nama Kesatuan Komando Territorium III (Kesko TT-III) Siliwangi di Batujajar, Jawa Barat.

Kesatuan ini merupakan cikal bakal dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sekarang.

Pada 10 November 1951 hingga 14 Agustus 1956, Kawilarang diangkat menjadi Panglima Komando Tentara dan Territorium III/Siliwangi yang berkedudukan di Bandung. (*)
 

Berita Terkini