TERNYATA Eksekusi Orang Gemuk dan Orang Kurus Beda Cara: Algojo Terpidana Mati Mengisahkan

Editor: ridwan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang algojo sedang mengeksekusi hukuman cambuk kepada pelanggar syariat islam, Selasa (12/4/2016) lalu.

Di sebelah kiri ada pintu yang menuju ke kamar mandi. Di sebelahnya ada kamar terpidana mati lain. Di sebelah kanan ada pintu kuning berdaun dua. Hughes membuka pintu itu.

Di luarnya ada lorong yang menuju ke pintu kuning lain. Pintu kedua ini dibuka juga dan tibalah kami di tempat penggantungan. Jarak dari ranjang terpidana sampai ke kamar penggantungan cuma sepuluh langkah!

Ruang penggantungan itu identik dengan sel terpidana mati, cuma saja memiliki dua palang besar dekat langit-langit. Alat untuk membuka pintu jebakan di lantai bentuknya seperti kotak sinyal kereta api!

Kata Hughes, ruangan-ruangan yang kami lihat itu sama saja di semua penjara Inggris yang memiliki fasilitas untuk melaksanakan hukuman gantung.

Di sebuah sudut kamar eksekusi itu ada pintu jebakan lain, tetapi kecil. Hughes membuka pintu jebakan itu dan di bawahnya kami lihat tangga untuk turun ke ruang bawah yang besarnya sama seperti kamar eksekusi.

Langit-langit ruangan bawah itu tinggi. Di tiap dindingnya ada alat untuk menahan pukulan pintu. Alat ini juga mencegah pintu berbalik memukul orang yang digantung.

Kamar ini memiliki dua pintu. Yang sebuah menembus ke luar dinding penjara, untuk membawa mayat ke tempat pemakaman. Yang sebuah lagi menembus ke ruang autopsi.

Di ruang ini ada sebuah meja besar berlapis logam. Sekeliling meja itu ada selokan. Di sana juga ada tempat cuci tangan dan lemari. Para ahli patologi harus memeriksa jenazah terpidana mati di sini. Tempat itu mengerikan bagi saya.

Dari sana kami kembali ke ruang semula, untuk menerima pelajaran pertama dari Hughes.

"Hukuman mati dengan cara digantung itu efisien, bersih dan terutama sangat cepat," katanya. "Seperti kalian lihat, jarak antara kamar tahanan dan tempat penggantungan demikian dekatnya. Begitu pintu jebakan terbuka, terpidana mati segera meninggal, sebab tulang lehernya patah. Para petugas penggantungan sama sekali tidak boleh melakukan kesalahan. Camkanlah hal ini."

Beda orang gemuk dengan orang kurus

Hughes menjelaskan tugas penggantung dan asistennya. Semua harus bekerja dengan cekatan dan cepat. Kalau penggantung menepuk pundak asistennya yang bertugas mengikat kaki terpidana mati, sang asisten harus sudah siap menyingkir dari daerah pintu jebakan.

Kalau ia kurang gesit dan jebakan keburu menjeblak, akibatnya bisa runyam.

Hari sudah gelap ketika kami dibubarkan.

Keesokan harinya kami datang lagi ke ruang kelas kami. Kini di situ ada dua buah kotak kayu berwarna hitam. Yang sebuah ukurannya kira-kira 60 x 100 cm. Sebuah lagi lebih kecil.

Keduanya dikunci dengan gembok besar. Kotak yang satu berisi rantai baja dan katrol. Kotak yang lain berisi tambang, selubung kepala dari linen, kawat, benang dan sepotong kapur. Masing-masing terdiri atas dua perangkat.

Kata Hughes, peralatan ini biasanya disimpan di Penjara Wandsworth di London. Begitu ada penjara di Inggris yang menerima terpidana mati, kotak-kotak itu dikirim dengan kereta api penumpang biasa, tapi kuncinya dikirim dengan pos tercatat kepada kepala penjara bersangkutan.

Tali gantungan bisa dipakai berulang-ulang. Bahannya rami Italia yang paling bagus. Tiap ujungnya dipasangi logam berlubang. Ke lubang yang satu dimasukkan ujung yang lain supaya membentuk kalung.

Ujung yang tidak berkalung dikaitkan ke rantai yang menggantung di palang.

Bagian tali yang membentuk kalung dilapisi dengan kulit supaya cedera pada bagian luar leher orang yang digantung bisa minimal.

Kalung itu harus berada sebatas kepala, supaya mudah dan cepat dikalungkan.

Saya heran sekali karena tali harus dikaitkan pada rantai segala. Mengapa tidak diikat langsung saja ke palang?

Ternyata ada alasannya. Orang gemuk akan patah lehernya setelah merosot sedikit saja, sebab badannya besar. Tapi orang kurus perlu diberi kesempatan merosot lebih jauh. Rantai di palang itu berguna untuk mengatur panjang-pendeknya jarak jatuh.

Jenazah tak boleh berayun

Hughes meminta Dickinson naik tangga untuk imemasang tali di rantai, lalu Pollard disuruh berdiri di tengah pintu jebakan. "Masukkan tangan di saku," perintahnya pada Pollard.

Begitu hal itu dilaksanakan, secepat kilat kepala Pollard diselubunginya dengan kain dan tahu-tahu tali gantungan sudah terkalung erat di leher rekan kami itu. Kami tertawa terbahak-bahak, sementara Pollard menyumpah-nyumpah dari balik penutup kepalanya.

"Tenang, tenang," kata Hughes pada Pollard. "Eh, yang lain jangan tertawa-tawa dulu, sebab kalian semua akan mendapat giliran."

Hughes meminta perhatian kami, agar meletakkan logam berlubang pada kalung leher itu di bawah dagu kami.

Kalung mesti erat, tetapi tidak boleh sampai mencekik. Kalau posisi kalung sudah tepat, maka gelang karet pada tali diturunkan, sehingga posisi kalung tidak berubah-ubah lagi.

"Buat apa sih pakai selubung segala?" tanya Pollard.

Konon selubung mencegah orang yang akan digantung menyaksikan detik-detik terakhir. Bayangkan, bagaimana rasanya bila ia melihat algojo melepaskan pengungkil pintu jebakan.

Mungkin saja ia semaput atau melompat. Kalau hal itu terjadi, posisi kalung leher bisa berubah dan kematian tidak berlangsung cepat dan mulus.

Pagi itu kami pakai untuk mempelajan teknik mengikat pergelangan tangan dan pergelangan kaki teman. Hughes menjelaskan bahwa ikatan dimaksudkan untuk mencegah orang yang akan digantung itu kabur, tetapi sama sekali tidak boleh menyakitkan atau membuat panik.

Teknik mengikat tangan dan kaki itu ternyata bukan cuma dua jam itu saja kami pelajari, tetapi juga pada hari-hari berikutnya. Makin lama kami makin terampil dan makin cepat mengerjakannya.

Hughes selalu mengingatkan, "Kalian harus cepat! Kalian harus cepat! Ayo, lebih cepat! Bagus, lakukan lagi!"

Kedengarannya sih gampang mengikat tangan dan kaki. Apalagi yang diikat teman sendiri, jadi tidak banyak cingcong. Dalam kenyataan tidaklah demikian.

Siang hari itu Harry disuruh mengukur lebar pintu jebakan. Ternyata 7 kaki 6 inci (± 229 cm). Tepat di tengahnya, Hughes mencoret huruf T dengan kapur. "Tepat di atas tergantung tali," katanya. "Orang yang menjalani hukuman mati harus disuruh berdiri di titik ini. Ukuran ini tidak boleh dikira-kira, mesti betul-betul diukur dengan cermat. Meleset satu inci saja akan membuat orang yang digantung terayun-ayun seperti bandulan lonceng."

Latihan menggantung kantung pasir

Kami digiring kembali ke sel. "George, kau jadi terpidana mati," katanya kepada Dickinson. "Syd, kau jadi algojo. William menjadi asisten algojo dan kau Harry menjadi pendeta."

Kami pun mengambil posisi. George Dickinson duduk membelakangi pintu sel. Harry Allen berdiri di depannya.

Ketika William Pollard dan saya masuk, Harry memberi berkat kepada George dengan senyum geli. William dan saya menepuk bahu George dan ia bangkit.

Kami mengikat tangan George ke belakang. Kemudian saya mengawali, iring-iringan memasuki ruang eksekusi. Saya menstop langkah George tepat di tanda kapur.

Agak kikuk juga saya ketika menyelubungi kepalanya. Kemudian tali saya kalungkan ke lehernya. Sementara itu William mengalami kesulitan mengikat pergelangan kaki George.

"Tepuk pundak William," teriak Hughes. Saya membungkuk untuk melaksanakan perintahnya. "Menyingkir dari pintu jebakan," seru Hughes pula.

Saya melompat sambil menyentuh tangkai pengungkil jebakan. Cuma saja pintu tidak menjeblak terbuka, karena pengungkilnya diganjal erat.

"Kalian mesti cepat!" komentar Hughes. Kini tiba giliran saya menjadi terpidana mati. Walaupun cuma latihan, ngeri juga menerima tepukan di pundak, bangun, ditelikung, dan digiring ke ruang eksekusi.

Di situ menunggu tali gantungan yang makin lama makin dekat. Lalu saya berdiri di pintu jebakan. Algojo menstop dan tahu-tahu kepala saya sudah terselubung. Terasa seseorang mengikat pergelangan kaki dan tali pun mengalungi leher. Ada sesuatu menyentuh dagu, napas pun jadi sesak ....

Meskipun cuma sebentar, rasanya lama sekali. Karena itulah algojo dan asistennya harus bekerja cepat. Cepat tanpa keliru sedikit pun. Jadi kami berlatih, berlatih, berlatih terus.

Pada hari ketiga, kami belajar menangani terpidana mati yang melawan ketika akan digiring ke ruang eksekusi. Ia mesti diringkus dengan bantuan petugas penjara.

Sehabis makan siang, kami praktek dengan mempergunakan dumi. Dumi yang diumpamakan sebagai korban itu tidak lain daripada kantung kanvas sepanjang 1 m. Kantung itu diisi dengan pasir dan beratnya antara 60 - 70 kg.

Kepalanya dari kulit. Dumi itu biasanya dipakai untuk menguji tali gantungan sehari sebelumnya. Yang menguji segala peralatan haruslah algojo bersama asistennya.

Dumi itu ditaruh di tempat yang ditandai dengan coretan kapur, lalu lehernya dililit dengan handuk supaya agak tebal, sebelum dikalungi tali.

Kemudian Hughes menunjukkan cara mencabut alat pengaman dan ganjalan pada pengungkil. Ketika semuanya sudah beres, pengungkil didorong dan terdengarlah suara berdebum yang sangat nyaring. Dumi merosot 2 m, lalu tergantung diam. Kepalanya terkulai ke satu arah.

Suasana hening sekali, ketika kami mengamatinya. Tali dan dumi diam, tak bergoyang sedikit pun.

Hughes bersuara, "Kalau kantung pasir itu manusia, kita akan membiarkannya sejam, sebelum diturunkan."

Namun, karena yang tergantung itu cuma dumi, kami segera mempergunakan katrol yang disangkutkan ke rantai untuk menurunkan kantung pasir dan mengembalikan posisi pintu jebakan.

Tangkai pengungkil dikembalikan, diganjal dan "dikunci".

Perlu matematika

Hari terakhir kami pakai untuk menghitung berapa jauh terpidana mati harus dijatuhkan supaya ia meninggal dengan cepat. Sebetulnya ada tabelnya, tetapi kami harus belajar menghitung sendiri dengan rumus tertentu.

Pria yang beratnya 70 kg, umpamanya, harus dijatuhkan hampir 2,5 m. Mula-mula tali gantungan diukur 13 inci (± 33 cm) dari ujungnya, tepatnya dari tengah logam yang berlubang.

Titik itu diberi tanda dengan kapur, lalu dari tanda itu diukur panjang jarak jatuh yang diperlukan. Titik kedua ini diberi tanda lagi dengan kapur. Kini harus diketahui berapa tinggi orang yang akan digantung itu.

Kalau tingginya 1,70 m, rantai harus disesuaikan agar tanda kapur kedua jatuh pada ketinggian itu. Barulah tali diikatkan.

Berjam-jam lamanya kami latihan menghitung panjang jatuh pelbagai terpidana mati khayalan, yang tingginya berbeda-beda. Matematika merupakan mata pelajaran yang saya kuasai dengan baik di sekolah, jadi hitung-menghitung begini bukan masalah.

Apalagi bagi Dickinson yang ahli matematika. Pollard dan Harry sebaliknya, agak kerepotan.

Setelah itu kami mengulangi lagi pelajaran dari semula: mengikat tangan dan kaki, mengantar ke pintu jebakan, mengaiungkan tali, mendorong pengungkil pintu jebakan. Makin lama kami makin mahir dan rasa percaya diri pun makin besar.

Hari Jumat kami menjalani ujian tertulis. Pertanyaan pertamanya: "Berapa panjang jarak jatuh yang harus diberikan kepada seseorang yang beratnya 12,5 stone (± 79,5 kg)?"

Pertanyaan kedua bunyinya: "Jelaskan dengan kata-katamu sendiri tugas seorang algojo dan asisten algojo."

Susah juga menjawab pertanyaan kedua ini, tetapi untung saya teringat pada kata-kata kepala Penjara Lincoln, 'Yang paling penting untuk diingat oleh algojo dan asistennya ialah bahwa mereka itu hamba-hamba hukum. Perasaan tidak boleh dibawa dalam menjalankan tugasnya."

Setelah kalimat-kalimat itu sih gampang, saya tinggal menjelaskan garis besar yang harus dilakukan oleh algojo dan asistennya.

Saya akhiri jawaban itu dengan menyatakan bahwa algojo dan asistennya tidak boleh berada di bawah pengaruh alkohol pada saat menjalankan tugas. la juga harus bisa memegang rahasia dan tidak boleh menarik-narik perhatian.

Ternyata William Pollard tidak lulus, sehingga kami tinggal bertiga menjalani ujian praktek dengan disaksikan juga oleh kepala penjara dan pembantunya yang memegang stopwatch.

Saya ditugaskan menjadi algojo, Harry menjadi asisten algojo dan George menjadi orang yang digantung. Kami mulai dari sel tempat terpidana mati dikurung.

George duduk di dalam, Harry dan saya berdiri di luar pintu. Kepala penjara memberi aba-aba, "Mulai!"

Kami masuk dengan gesit tapi tenang ke sel. George menoleh, lalu berdiri ketika kami menepuk pundaknya dengan perlahan. Kami menelikung tangannya, lalu saya berjalan diikuti George dan Harry ke kamar eksekusi, langsuhg ke tengah pintu jebakan yang sudah diberi tanda dengan kapur.

Begitu George berdiri di tempat yang ditentukan, saya menyelubungi kepalanya dan mengalungkan tali gantungan ke lehernya. Saya tidak usah menepuk bahu Harry yang mengikat pergelangan kaki George, karena ia sudah siap.

Saya melompat sambil sekalian mengulurkan tangan ke pengungkil. Belum sampai saya menyentuh alat itu, kepala penjara sudah berteriak, "Berhenti!"

Saya menoleh dengan tercengang. Ternyata wajahnya pucat pasi. Rupanya ia begitu terbawa oleh suasana, sehingga mengira George benar-benar akan digantung. "Empat puluh lima detik!" seru pembantunya yang memegang stopwatch.

Kami merasa puas, sebab 45 detik adalah kecepatan tertinggi yang pernah kami capai dalam latihan. Itulah akhir dan latihan kami.

Sejak saat itu saya tidak pernah bertemu atau mendengar tentang William Pollard. Karier Dickinson sebagai penggantung ternyata pendek saja. Saya dengar dari algojo Pierrepoint bahwa Dickinson tidak tahan.

Setelah sekali membantu Pierrepoint mengeksekusi orang, jasanya tidak pernah diminta lagi, karena ia dianggap memble. (Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 1990)

Berita Terkini