TRIBUNJAMBI.COM - Setelah melahirkan 30 tahun lalu, Cecile Eledge telah melewati masa menopause dan tentu hanya berharap untuk mengendong putrinya.
Namun harapan itu berubah seketika, karena anaknya Matthew Eledge dan pasangangannya Elliot Dougherty tidak bisa memiliki anak.
Karena pada kenyataannya mereka adalah pasangan LGBT. Ketika mereka mempertimbangkan IVF Mattew mendapatkan diskriminasi di tempat kerja.
Oleh karena itu, Cecile Eledge menawarkan rahimnya meskipun dia telah mengalami menopause 10 tahun lalu.
Bahkan saudara perempuan Elliot, Lea Yribe menwarakan sel telur pada pasangan tersebut.
Dengan demikian, jika sel sperma milik Mattew dibuahi dengan sel telur adil Elliot, Lea Yribe akan menghasilkan anak dari genetik mereka.
Setelah itu mereka bertemu dengan seorang ahli endokrin reproduktif di kota asalnya, Omaha, Nebraskan, untuk mempersiapkan semuanya. Cecile yakin dia bisa mengandung cucunya.
Kemudian Cecile menjalani serangkaian tes darah, kolesterol, mammorgan dan ultrasound untuk memastikan kondisinya baik.
"Dia memiliki tekanan darah lebih rendah daripada kami semua (anak-anaknya) dan dia berusia 61 tahun," kata Matthew kepada DailyMail.com.
"Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan dia luar biasa. Saya sangat menghormati dia dan begitu ramah sehingga sebagai orang dewasa dia terus melangkah lebih jauh untuk saya," tambahnya.
Kemudian Mattew memberikan spermanya untuk dibuahi dengan sel telur Lea Yribe, kemudian di tanamkan pada rahim Cecile.
Akhirnya setelah 9 bulan mengandung, Cecile berhasil melahirkan cucunya tanpa operasi caesar pada Senin (25/3/2019), foto-fotonya diabadikan oleh fotografer Ariel Panowicz.
Dia menangkap momen emosional Mattew dan Elliot untuk pertama kalinga dia bisa memiliki seorang putri.
Perlu Anda ketahui, pasangan LGBT ini dipecat dari tempat kerjanya dan mendapatkan diskriminasi sebagai pasangan LGBT.
Sedangkan lokasi tempat tinggal mereka Nebraskan tidak memiliki undang-undang negara yang melarang diskriminasi berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender, seperti dikutip dari Buzzfeed.
Bayi tersebut diberi nama Uma dan pasangan Elliot serta Mattew mengatakan bahwa dengan sisa hidupnya, mereka berencana untuk merawat Uma. Sebelumnya mereka tak pernah menyangka, bisa memiliki seorang anak kandung secara genetik.
MENGANDUNG ANAK ORANG LAIN:
Bagaimana rasanya dibayar untuk mengandung anak orang lain, Mungkin bisa tanyakan pada perempuan-perempuan di kota Anand di Negara Bagian Gujarat, India. Letaknya sekitar 600 km dari New Delhi.
Di tempat ini tumbuh bak jamur klinik kehamilan dan bersalin, yang mengkhususkan diri merawat para perempuan yang meminjamkan rahim mereka untuk membesarkan perkawinan sperma dan sel telur dari pasangan asing.
The Akanksha Infertility Clinic di Anand, contohnya, merupakan salah satu pusat surrogacy komersial di India.
Klinik ini menawarkan layanan ibu pengganti sejak sekitar 10 tahun lalu. Sudah lebih dari 700 bayi lahir dari rahim-rahim sewaan.
Perempuan-perempuan di klinik ini perutnya hanya dipinjam sementara oleh banyak orang barat lantaran praktik sewa rahim di negara mereka terlalu mahal dan ilegal, seperti dilansir surat kabar the Daily Mail.
Setiap perempuan mendapatkan uang kompensasi sebesar Rp 90,1 juta per kehamilan. Jumlah uang itu diakui mereka sangat membantu kehidupan warga desa miskin rata-rata hanya berpenghasilan Rp 14 ribu sehari.
Sementara biaya melahirkan sekitar Rp 326,2 juta sudah dibayarkan oleh orangtua biologis si bayi.
Sarla Patelia, 40 tahun, warga Desa Manjipura sekitar 25 kilometer dari Anand sudah dua kali melahirkan bayi milik orang asing yakni 2009 dan 2012.
Dari kelahiran itu dia mampu membangun rumah dua lantai dan memindahkan keluarganya.
Sebelum mempunyai tempat tinggal layak, Sarla mendiami gubuk beratap seng. Dia bahkan mampu membiayai operasi tumor suaminya sebesar Rp 28,2 juta.
"Kami tidak punya pekerjaan sampai saat ini. Sehari-hari hidup dari uang hasil sewa rahim," ujar Sarla.
Sewa rahim ini disahkan di India 12 tahun lalu namun di sejumlah negara seperti Inggris dan Australia ini dilarang. Di Amerika Serikat sebenarnya sudah diperbolehkan namun biayanya lima kali lipat ketimbang di Negeri Hindustan.
Dr. Nayna Patel direktur Klinik Akanksha mengatakan sewa rahim di negaranya menjadi populer selain harga murah, paramedisnya dinilai sudah mampu melakukan itu, serta teknologi yang baik.
"Perempuan di sini juga dikenal gaya hidup ketimuran. Mereka tidak suka menenggak minuman beralkohol, merokok, dan memakai narkotika," ujar Patel
Patel mengaku, kliennya tersebar ada di 34 negara. Setiap klien dipatok sekitar US$ 28.000 atau sekitar Rp 322 juta untuk dicarikan ibu pengganti yang cocok dari puluhan wanita yang menawarkan diri.
Uang itu digunakan untuk menyediakan makanan sehat dan akomodasi ibu pengganti selama hamil.
Praktik penyewaan rahim komersil diperkirakan bernilai lebih dari US$ 1 miliar per tahun di India.
Patel sendiri berencana membuka rumah sakit baru seluas 1 hektar, cukup besar untuk dihuni 100 orang ibu pengganti dan 40 klien.
Nantinya Patel juga akan membangun apartemen yang dikhususkan untuk klien yang ingin menjenguk janinnya.
Tapi larangan penyewaan rahim secara komersial sudah lama menjadi tuntutan banyak kelompok perempuan, termasuk Komnas Perempuan India.
Ketuanya Lalita Kumara Mangalam mengatakan penyewaan rahim mengeksploitasi kemiskinan dan melanggar martabat perempuan.
"Tidak ada penjelasan dan persetujuan. Satu-satunya alasan mereka menyewakan rahimnya agar bisa keluar dari kemiskinan. Jadi ini satu-satunya pilihan yang mereka punya. jika Anda melihatnya sebagai pilihan.
Dan begitu kata komersial masuk ke dalamnya, maka eksploitasi perempuan miskin dimulai. "
Klinik dan rumah penyewaan rahim kerap dituduh membayar para ibu pengganti dengan harga lebih rendah dari yang seharusnya dan memperlakukan mereka seperti sandera selama sembilan bulan kehamilan mereka.
Dalam beberapa kasus, orangtua penyewa rahim meninggalkan bayi yang lahir cacat.
Para ahli mengatakan ada masalah etika, sosial dan hukum yang terlibat dalam penyewaan rahim. Tapi larangan langsung hanya akan memperburuk situasi.
Ranjana Kumari, Direktur Pusat Kajian Sosial di New Delhi mengatakan aturan yang ketat dan pelaksanaan yang efektif akan menjadi solusi yang lebih baik.
"Melarang adalah langkah terburuk yang bisa kita lakukan dan itu tidak pernah memecahkan masalah apa pun. Maka yang penting adalah adanya UU yang mengatur seluruh proses."
Banyak warga India yang khawatir, UU ini hanya akan mendorong pasangan penyewa rahim mencarinya di pasar gelap. (Soesanti Harini Hartono / Nakita.id)
Artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul Wow di Negara Ini Ada Perempuan Peminjam Rahim Bayarannya Sekitar Rp 322 juta,