Kisah Nyata Tentara Gurkha Tak Takut Mati: "Mesin" Perang yang Bikin Merinding Musuh

Editor: ridwan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pasukan Gurkha bertempur pakai pisau Kukri

TRIBUNJAMBI.COM - Serdadu melulu dianggap sebagai sosok yang pemberani. Lalu bagaimana dengan para serdadu yang kabur dari tugasnya seperti 59 anggota personel pasukan elite India ini?

Dilaporkan Geo.tv, sekitar 59 taruna pasukan elite India menghilang sebelum dikirim ke kawasan konflik yang menjadi basis pemberontakan komunis India. Mereka menghilang tanpa sepengetahuan komandan mereka.

Ke-59 anggota ini diberangkatkan menggunakan kereta api. Ketika kereta itu berhenti, para taruna itu memutuskan turun tapi tak kembali lagi. Pejabat pasukan paramiliter yang membawahi pasukan ini mengatakan sedang melakukan penyelidikan guna memastikan bagaimana puluhan tentara itu menghilang tanpa diketahui.

Sudah menjadi pengetahuan umum, gerakan Maois dianggap sebagai salah satu ancaman keamanan terbesar di India. Mereka aktif bergerilya di kawasan berhutan yang kaya sumber daya alam di Chhattisgarh, Odisha, Bihar, Jharkand, Andhra Pradesh.

Seperti halnya gerakan Mois di beberapa wilayah, gerakan Mois India kerap membawa isu-isu hak atas tanah, pekerjaan, dan hak-hak lain bagi kaum marjinal sebagai landaran perlawanan mereka terhadap pemerintah India pimpina Perdana Menteri Narendra Modi.

Wajarkah tentara takut?

Pada dasarnya, rasa takut yang muncul pada diri manusia, termasuk juga tentara, adalah sesuatu yang normal. Dalam sebuah video tentang rasa takut, Abigail Marsh dari Georgetown University bilang bahwa rasa takut merupakan ekspektasi atau antisipasi dari bahaya yang mungkin muncul.

Para serdadu pasukan elite India ini memang tak habis melihat film hantu, tapi paling tidak mereka telah mendengar bagaimana "ngerinya" gerakan Maois yang selama ini kerap membuat repot militer dan Pemerintah India.

Legendaris

Dalam sejarah militer, salah satu pasukan milik militer India yang ditakuti sekaligus menjadi legenda adalah pasukan Gurkha. Dalam kisah peperangan, Gurkha adalah sosok prajurit yang menakutkan dan dianggap "mesin "perang infanteri.

Tapi dalam kehidupan sehari-hari, Gurkha sesungguhnya juga manusia biasa. Kisah legendaris prajurit Gurkha inilah yang diuraikan Christopher Chant dalam buku Gurkha: The Illusrated History of an Elite Fighting Force (1985).

Gurkha adalah nama yang bisa bikin ciut nyali musuh di medan pertempuran mana pun. Lahir di masa pendudukan Inggris, para prajurit dari Kerajaan Nepal ini justru bergabung dengan penjajahnya, dan menciptakan hubungan amat unik sepanjang sejarah militer di dunia.

Gurkha sebenarnya adalah "pelesetan" lafal Inggris untuk menyebut nama sebuah kota kecil di wilayah barat laut Nepal, Goorkha, sekitar 70 km dari Kathmandu - ibu kota Nepal. Kota kecil itu dihuni oleh beberapa suku bangsa Nepal, yang terbesar adalah Gurung, Magar, Limbu, dan Rai. Gurung dan Magar disebut juga parbatiya di barat Nepal, sedangkan Limbu dan Rai dinamakan kiranti dari belahan timur Nepal.

Keempat suku bangsa yang memakai marganya itulah yang sesungguhnya berhak disebut Gurkha. Meski mereka sendiri lebih suka menyebut dirinya sesuai nama suku bangsanya.

Tapi bagi orang Inggris dan bangsa-bangsa lainnya, nama Gurkha lantas identik dengan sosok prajurit Nepal. Inggris tak mau pusing soal parbatiya atau kiranti. Pokoknya, setiap pendaftar prajurit asal Nepal dinamakan Gurkha.

Inggris tidak peduli, meski mungkin saja calon prajurit itu berasal dari suku bangsa Newar, Sikkim, atau bahkan keturunan Tibet. Secara fisik - mereka berciri Mongoloid - baik orang Gurkha maupun suku bangsa Nepal lain atau keturunan Tibet, memang susah dibedakan. Maka, semua prajurit Nepal, dari mana pun asalnya, sah saja disebut prajurit Gurkha.

Semua orang Nepal itu kebetulan menghuni tanah yang beraneka bentuk. Mulai dataran rendah yang penuh malaria, hingga bukit dan pegunungan bersalju abadi. Nepal seluas 520 x 100 mil baru terbuka bagi dunia luar sejak awal tahun 1950-an. Sebagian daerah kecil masih terkucil dari kemajuan sarana transportasi modern, makanya beberapa suku bangsa Nepal betul-betul harus hidup dari sepasang kaki dan bahu. Mereka harus berjalan naik-turun ratusan kilometer, sambil menggendong doko (keranjang pundak) yang memuat segala benda. Alam dan suhu yang keras bukan alangan. Jarak tempuh yang panjang dan berat tak lagi menjadi hambatan.

Sampai tahun 1984, di dunia ini tercatat ada 11 infanteri Gurkha, terpilah menjadi dua unit: Inggris dan India. Bagi India nama Gurkha semakin populer, mungkin karena nama itu dalam bahasa India punya arti pelindung sapi (gor = sapi, rakh = pelindung). Kebetulan pula orang Gurkha memang beragama Hindu (bersinkretisme dengan Buddha), agama yang memandang sapi sebagai hewan suci.

Keinginannya hanya berperang

Rata-rata potongan orang Gurkha tidak tinggi. Tubuhnya gempal dengan batok kepala bundar. Matanya cokelat dengan tampang Mongoloid yang tidak berbulu. Mereka suka tersenyum ramah dan malas-malasan membuka mulut di saat berbicara; kalaupun berkata-kata, suaranya lirih dan mirip orang membaca mantera. Mereka lebih suka memainkan kernyit dahi daripada menunjuk, namun mereka akan menatap lawan bicaranya dengan tajam dan penuh curiga - terutama kalau masih ragu-ragu dan belum kenal betul.

"Tentara kecil itu amat menyusahkan kami di Myanmar (Birma)," ujar seorang bekas perwira Jepang. "Mungkin orang Gurkha diciptakan menjadi serdadu infanteri yang tidak kenal lelah, apalagi takut. Tanpa mereka, rasanya mustahil tentara Inggris ditakuti lawan perangnya," ujar seorang perwira Inggris. "Orang gunung dari Himalaya itu menganggap medan perang adalah panggung paling tepat untuk berperan. Mereka menghargai dan sekaligus menikmati medan laga maut itu," tulis seorang prajurit Australia.

Di saat pertempuran mulai berkecamuk, sosok orang Gurkha mulai nampak jelas. Mereka begitu sibuk bergerak maju dan mundur, hanya untuk mencari kesempatan terbaik untuk menembak, menikam, menyergap, atau bahkan mengeroyok lawan-lawannya. "Ayo, Gurkhali!" itulah pekik perangnya. Serentak dengan pekik itu, meluruklah serombongan tentara bertubuh pendek gempal yang terus merangsek lawan-lawannya. Pekik perang itu kira-kira berarti "kami, orang Gurkha, mendatangimu!"

Rentetan peluru pun dimuntahkan dari laras senapan mereka. Bukan cuma itu, pucuk bayonet pun lincah menari dan menyambar nyawa lawan. Belum lagi popor senapan yang berbahaya. Ditambah dengan bacokan, sayatan, atau tikaman kukri - pisau tebas yang mirip lidah iblis itu - lengkaplah sudah sosok garang dan berani mati prajurit Gurkha di medan laga.

Tapi di saat pertempuran usai dan keadaan tenang, prajurit Gurkha kembali ke sosok manusia yang aneh, banyak diam, tidak banyak bicara, dan tidak banyak keinginan. Mungkin karena mereka cuma punya satu keinginan, berperang dan berperang.

Siap berperang di mana saja

Pamor orang Gurkha tidak lepas dari pengalaman tentara Inggris sejak 1,5 abad silam. Saat itu tentara sewaan East Britania mau mencaplok kawasan utara India. Letnan Frederick Young sekali waktu pada tahun 1814, terkepung dan nyaris dibantai segerombolan manusia mungil (dalam ukuran Eropa). Namun Young bersikeras bertahan dan tak mau lari.

Orang-orang Gurkha kemudian membebaskan Letnan Frederick Young. Ketika pada tanggal 25 April 1815 gubernur jenderal Inggris di India meresmikan berdirinya Batalion Pertama Gurkha, Young dipercaya untuk menjadi komandannya dan sekaligus merekrut orang-orang Gurkha itu. "Saya dulu ke sana seorang diri. Kini saya kembali dengan 3.000 prajurit," ujar Young bangga.

Dari tenaga sukarela pertama ini, Batalion Sirmoor di Dehra Dun terbentuk. Di sinilah awal orang Gurkha membentuk dirinya menjadi tentara perang yang piawai. Sejak saat itu, orang Gurkha selalu dihadirkan ke kancah-kancah perang yang sulit dan keras.

Entah sebagai prajurit Inggris, entah sebagai prajurit India. "Mereka menjadi prajurit perang sejati, siap bertempur di bawah bendera negara yang memanfaatkannya," ujar seorang opsir senior Inggris.

Cuma dua pertanyaan ini yang selalu diajukan kepada seorang Gurkha yang berniat masuk menjadi prajurit. Lewat dua pertanyaan sederhana itu, mulailah pemuda-pemuda Gurkha usia sekitar 15 tahun meninggalkan kampung halamannya di India (saat itu Nepal belum merdeka) dan pergi ke luar negaranya untuk mengabdi kepada negara lain yang menghargai kemampuan perangnya hingga usia sekitar 40-an tahun.

Orang Gurkha selalu dijadikan prajurit yang menjadi ujung tombak peperangan. Orang Gurkha kurang menyukai kelas dan buku pelajaran, karenanya mereka akan lebih tepat dididik langsung di medan laga. Jadikan mereka prajurit pelacak, penyergap, atau pasukan komando kecil.

Tempatkan mereka di medan laga yang paling berbau mesiu. Tunjuk dan tugasi mereka mendatangi lokasi musuh, kalau perlu mereka sanggup menatap mata musuh-musuhnya sambil mengayukan kukri ke lambungnya.

Pertempuran jarak dekat satu lawan satu adalah spesialisasi prajurit Gurkha. Tapi mereka juga terkenal mahir menggunakan senapan panjang yang bisa dikendalikan bidikannya. Perlengkapan prajurit Gurkha memang amat sederhana. Cukup sebuah senapan panjang, sebuah bayonet, dan sebilah pisau kukri. Tidak perlu senjata canggih dan berat lainnya.

Membiayai prajurit Gurkha juga amat mudah bin gampang. Mereka tak pemilih dan memakan segala makanan, kecuali daging sapi. Suhu udara sepanas gurun atau sebeku kutub bukan alangan bagi prajurit Gurkha untuk beraksi. Orang-orang dari kaki Pegunungan Himalaya ini memang sudah terbiasa hidup di segala cuaca. Barangkali karena itulah pemerintah Singapura hingga saat ini masih tetap mempertahankan resimen Gurkha dalam jaringan keamanan negaranya. Bahkan pernah santer diberitakan, Papua Nugini pun berniat memanfaatkan kebolehan para prajurit Gurkha untuk menjaga keamanan negaranya.

Ketika PD I meletus, hampir semua pasukan India dan Gurkha diboyong Inggris untuk menghadapi bala tentara Jerman di medan tempur Eropa. Bersamaan dengan itu, pengadaan tentara sukarelawan bertambah banyak. Jumlah prajurit Gurkha pun terus membengkak sampai menjadi 38 batalion.

Di kancah pertempuran Eropa inilah pasukan Gurkha dan tentara India mendapat pengalaman baru di medan tempur. Paling tidak mereka menjumpai tempat, kondisi, dan iklim yang relatif belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Yakni kombinasi musim dingin dengan curah hujan agak tinggi yang menyebabkan medan tempur berlumpur. Ini terutama didapati di medan tempur Barat.

Di kancah inilah terlihat perbedaan penampilan dan daya tempur pasukan India dan Gurkha. Sementara pasukan India nyaris putus asa menghadapi ganasnya medan, gerombolan Gurkha dengan mudah dapat mengatasi kesulitan alam ini.

Sebuah ilustrasi bisa dikemukakan sehubungan dengan keberanian dan keandalan serdadu Gurkha. Batalion 2 dari Resimen II Gurkha yang bertugas di Desa Neuve Chapelle, Prancis, bulan November 1914, membuktikan citra kegagahberanian mereka.

Baru tiba tiga hari di tempat itu, mereka dihujani bom oleh pasukan artileri Jerman yang mendapat dukungan infanteri. Dengan cepat Gurkha mulai menyusun strategi pertahanan, namun belum sampai terbentuk keburu dihujani meriam Jerman.

Keberhasilan Gurkha bertahan sampai kemudian menang di Neuve Chapelle menjadi inspirasi rekan-rekannya sebatalion yang berada pada posisi La Qinque Rue. Hampir semua anggota regu tersebut musnah oleh ledakan bom ranjau Jerman.

Tapi regu pendampingnya tetap gagah berani mempertahankan posnya. Mengetahui kalau yang mempertahankan pos tersebut hanya satuan pendamping, Jerman semakin mengeksploitasi serangannya. Korban Gurkha dan pihak Inggris mencapai 152 orang, dalam pertempuran yang berlangsung selama 48 jam sebelum Gurkha menyerahkan posisi itu kepada batalion lain.

Akhirnya, pada bulan November 1915 batalion 2 tersebut ditarik dari Prancis. Setelah dihitung, 177 tentara Gurkha tewas sementara 825 terluka. Meski jumlah itu merupakan kehilangan besar, toh di Nepal pendaftaran dan pendidikan tentara baru bisa dilakukan dengan cepat. Tenaga baru ini siap setiap saat dikirim ke medan perang menggantikan teman-temannya.

Di medan PD I itu pengalaman memang bisa disebut komoditi yang bisa didapat dengan mudah, meski bagi Gurkha harus dibayar dengan sangat mahal.

Kemudian di kancah PD II, nama Gurkha seakan-akan paten sebagai "mesin" perang yang menakutkan lawan. Di mana saja barisan Gurkha ini dihadirkan, selalu akan mencuat kisah nyata tentang keberanian serdadu yang berperawakan tak besar, serta beraut muka lain dari umum. Juga pisau kukri Gurkha, sudah menjadi cap maut dan lambang khas tentara Gurkha dalam menunaikan tugas, atau menyelesaikan nyawa lawannya.

"Karier" perang Gurkha yang berciri "tak takut mati" itu, sejak awal PD II terperaga lagi di pelataran perang di Afrika Utara, Timur Tengah, Eropa, Malaya, dan Myanmar (Birma). Walau akhirnya tercatat jumlah Gurkha yang tewas dan terluka sampai 20.000 orang, namun kenyataan di lapangan menunjukkan tentara Gurkha ini memang manusia perang sejati.

Di padang pasir Irak, orang Gurkha tetap unggul sebagai tentara infanteri yang tahan cuaca dan bertugas nyaris sempurna. Di Pegunungan Alpen pun, tentara Gurkha tetap lincah dan bersikap siaga penuh.

Salah satu seteru yang kemudian mengakui keunggulan Gurkha dalam segala hal, tentunya bala tentara Dai Nippon yang di PD II itu merajalela. Tentara Jepang yang telengas, tahan menderita dan sepertinya tak peduli terhadap keganasan cuaca tropis dan lainnya, atau seakan-akan kebal terhadap serangan segala penyakit, ternyata harus mengangkat topi mengeluarkan komentar kagum terhadap tentara asal kaki Pegunungan Himalaya ini.

Khususnya pamor tentara infanteri Jepang yang betul-betul dapat muncul dan hilang seperti ninja, ditambah taktik dan strategi perang hutan yang terkenal, ternyata dalam waktu tak lama, tentara Gurkha di Malaya dan Myanmar sudah dapat menirunya. Bahkan dalam salah satu serangan balik, tentara Gurkha ini memakai taktik buru dan sergap yang dipelajari dari tentara Jepang. Alhasil, tentara Jepang kelabakan diserang pasukan siluman Gurkha yang tak kalah ajaibnya dengan infanteri ninja Jepang.

Sesuai PD II, apalagi sejak Inggris cukup banyak menganugerahkan penghargaan kepada tentara Gurkha sebagai pahlawan perang, lalu ditambah kisah nyata dengan bumbu segar tentang kehebatan tembakan senapan, runcingnya mata bayonet dan kukri Gurkha, serta semangat perang Gurkha yang dianggap macam "mesin" perang infanteri, nama Gurkha menjadi bagian dari legenda "manusia perang" selama PD I dan II. Dampaknya bagi masyarakat Gurkha sendiri, perang yang merupakan ajang pertaruhan nyawa, makin menarik sebagai ajang pencarian nafkah dan penentuan masa depan mereka.

Suka mabuk dan mengejar wanita

Orang Gurkha sendiri di tanah asalnya, Nepal, bukanlah golongan ksatria (prajurit), melainkan termasuk golongan waisya (pedagang, petani, atau peternak). Namun sejak invasi Inggris ke Nepal, orang Gurung dan Magar ini tetap tegak dan nekat melawan. Pada akhirnya, jiwa ksatria mendominasi penampilan orang-orang Gurkha ini. Mereka nyaris menanggalkan sama sekali ciri waisya mereka.

Tapi seperti juga manusia biasa lainnya, orang Gurkha bukannya tanpa cacat atau kelemahan. "Orang Gurkha itu memiliki sikap buruk juga," ujar seorang pelatih keprajuritan Inggris. "Mereka amat mudah terjerumus menjadi peminum alkohol, mudah sekali terlibat dalam perjudian, selain amat suka mengejar wanita."

Ada kisah tentang kelemahan orang Gurkha ini. Dalam suatu pertempuran, pasukan Gurkha sudah berminggu-minggu terjepit pasukan komando Jerman. Sekali waktu, Inggris berhasil menerjunkan perbekalan, isinya antara lain minuman keras. Malamnya, para prajurit Gurkha itu mabuk-mabukan sambil menyanyikan lagu-lagu kampung halamannya. Keesokan harinya mereka bertempur dengan semangat perang di hari pertama.

Orang Gurkha juga dikenal punya selera humor yang lumayan. Seorang perwira Inggris pernah kelabakan karena tercebur ke dalam lubang perlindungan dan dihujani peluru dan mortir. Di puncak kecemasan itu, tiba-tiba terdengar suara cekikian di dekatnya. Ternyata ada seorang serdadu Gurkha sedang asyik duduk dan mengintip musuh. "Lucu sekali, Pak," ujar si serdadu Gurkha itu, "kita tak bisa keluar, mereka tak berani masuk. Hi ... hi ... hi .... Bapak tak usah takut, musuh juga takut dan tidak berani menyerang kita."

Pernah juga satu pasukan Gurkha yang sedang menjadi barisan kehormatan tiba-tiba bubar berantakan di ujung jalan. Mereka tertawa dengan hebatnya. Rupanya mereka tak sanggup menahan diri melihat sepasang unta sedang kawin. Padahal pasukan Gurka terkenal sangat disiplin saat menjadi barisan kehormatan. "Untung di medan perang belum pernah ada unta kawin," komentar seorang mayor Inggris kehabisan akal.

Peranannya semakin berkurang

Peran prajurit Gurkha dalam peperangan modern boleh jadi akan semakin berkurang. Seperti halnya dalam Perang Teluk yang bak etalase persenjataan canggih super modern, pemerintah Inggris toh tak memanfaatkan prajurit gila perang ini. Namun, sejarah tetap akan mencatat adanya orangorang gunung dari kaki Himalaya yang selama 1,5 abad mampu mencengangkan dunia dengan kemampuan perangnya yang mengagumkan.

Tapi orang Gurkha sendiri tetap saja tidak tahu mengapa mereka bisa memiliki keberanian berperang yang mengherankan lawan-lawannya. Mengapa mereka berani terus berdiri dan menembaki musuh, sementara di sekelilingnya puluhan rekannya sudah tewas bergelimpangan. Mengapa seorang diri mereka bisa begitu nekat merampas tiga tank Jerman hanya dengan berbekal senapan sederhana dan sebilah kukri.

"Satu sikap jelek kami, jangan membuat kami marah," ujar Lachchiman Gurung, yang kehilangan sebelah tangannya akibat menangkap granat dengan tangan kiri sambil terus menembaki 30-an tentara Jepang hingga laras senapannya merah membara.

"Kami pemberani? Tidak, kami juga ingin hidup. Di medan perang, sebaiknya kita berusaha hidup terus, makanya musuh itu harus dimatikan dulu," ujar seorang prajurit Gurkha yang berhasil lolos dari tahanan Jepang. Prajurit ini melarikan diri menembus hutan sendirian selama dua bulan. Lalu ia melapor ke pos terdekat dan kembali memimpin penyerangan balasan dengan rute pelarian yang diingatnya tanpa cacat cela.

Sekali waktu, saat teknik strategi dan peralatan perang sudah amat maju dan canggih, prajurit macam prajurit Gurkha barangkali tak lagi banyak berperan. Saat itu boleh jadi para prajurit Gurkha ini akan kembali ke kampung halamannya masing-masing, dan kembali hidup layak sebagai manusia biasa.

Puluhan atau ratusan jasad prajurit Gurkha yang tewas dalam pelbagai medan pertempuan hanya akan tinggal dalam kenangan rekan-rekan dekatnya saja.

Tatkala diajukan pertanyaan, "Mengapa menjadi tentara bayaran?", seorang prajurit Gurkha menjawab balik dengan pertanyaan, "Apa ada pekerjaan lain yang sama baiknya?" Orang Gurkha memang gila perang, karena di sanalah mereka bisa mengembangkan bakat dan kemampuannya.

Tapi mereka bukannya antiperdamaian, meski bumi yang damai dan tanpa perang mungkin tidak akan menyisakan secuil peranan pun bagi pengembangan kemampuan prajurit Gurkha. Atau boleh jadi, eksistensi prajurit Gurkha adalah pertanda bahwa bumi tak akan pernah lepas dari peperangan.(*)

Artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul Dikirim Tumpas Pemberontak, 59 Personel Pasukan Elite India Kabur dari Tugas,

Berita Terkini