Keadaan orang rimba yang sakit ini terjadi di banyak lokasi. Satu di antaranya ada di Desa Rejosari, Kecamatan Pamenang. Pernah ada orang rimba yang mengalami kanker mulut hingga meninggal.
Penyebabnya adalah para wanita suka nyirih dan pinang tapi tidak menjaga kesehatan mulut, sehingga terkena kanker mulut.
Beberapa orang rimba juga ada yang sudah tinggal di rumah namun secara mata pencaharian masih mencari brondol. Di antaranya Meti yang tinggal di Pemukiman Air Panas, Kecamatan Air Hitam. Rumah itu dibangun sejak 2013, merupakan bantuan dari pemerintah dan membangun sendiri. Ada 73 KK dalam kelompoknya namun 10 KK belum memiliki rumah.
Ada juga Roni yang dulunya tinggal di Desa Kungkai. Rumah di sana dibuat satu komplek namun sayangnya rumah itu ditinggalkan. Salah satu orang rimba ada yang selisih paham dengan warga Kungkai sehingga terjadi keributan disana dan membuat rumah itu tidak jadi ditinggali.
Setelah tidak ada kejelasan mengenai rumah ia dan kelompoknya membangun rumah sendiri. Di sana mereka membayar satu rumah Rp 30 juta berukuran 20x15 meter persegi, sudah termasuk tanah. Ada 15 unit rumah yang ada di sini yang diisi dengan 23 KK, sentara 9 KK lainnya belum memiliki rumah.
“Meski telah memiliki rumah namun tetap memiliki sudung agar tidak kotor karena kami memasak dan mengolah daging,” ungkap Roni.
Berdasarkan survei 2018 total orang rimba di Jambi adalah 5235 yang tersebar di Merangin 1276 jiwa, Sarolangun 2228 jiwa, Bungo 395 jiwa, Batanghari 629 jiwa dan Tebo 707 jiwa.
Program manager KKI warsi, Robert Aritonang mengatakan kondisi orang rimba salah satu contoh kebijakan pemerintah yang menyebabkan ada sekelompok masyarakat yang tinggal di sana dari sejak nenek moyangnya tapi mereka jadi orang yang paling melarat dan marjinal saat ini. Karena kebijakan itu dikeluarkan tanpa melihat dan mempertimbangkan kepentingan mereka.
“Di PT luasan lahan hampir 20 ribu hektare satu konsesi. Seluas itu lahan tapi orang rimba hidup tanpa sumber daya apa-apa. Seperti tanaman obat-obatan lainnya itu sudah tidak ada. Sekarang mereka memungut sawit yang jatuh untuk dijual. Kadang bahkan sampai direbus dan dimakan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, pemerintah harusnya memaksa perusahaan untuk mengalokasikan konsesi mereka untuk kehidupan orang rimba atau tanggung jawab bukan hanya CSR, tapi bertanggung jawab atas kemelaratan yang dirasakan orang rimba karena perusahaan sendiri yang mendapat untung sangat besar.
“Kami sudah banyak melakukan diskusi, advokasi kepada banyak pihak seperti pemda, gubernur, staf kepresidenan, namun belum ada tindak nyata. Padahal dulu mereka dijanjikan lahan kehidupan oleh Jokowi. Sampai sekarang itu belum terwujud,” paparnya.
PLT Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Kabupaten Merangin, Sukoso menyampaikan yang terdata di dinas sosial SAD Kabupaten Merangin adalah 357 KK yang terbagi di 16 di Kecamatan pemenang.
Kegiatan pembinaan suku anak dalam yang dilakukan adalah pembinaan oleh dinas sosial, dinas pendidikan yang menyediakan tenaga guru dan pembinaan guru SAD, dinas kesehatan yang memberikan jaminan kesehatan gratis untuk SAD. Ini adalah beberapa kegiatan dalam rangka pemberdayaan SAD.
“Pada 2019 ada alokasi dana pembinaan, bekerjasama dengan dinas PU untuk pembangunan rumah 18 unit ditambah 80 batang sawit untuk di Kecamatan Pemenang. Tahun ini ada Jamkesda sebanyak 355 yang sedang dicetak untuk orang rimba,” ungkapnya. (nurlailis)