Louise bercerita, sampai beberapa tahun lalu ia adalah seorang pengacara. Kemudian mereka ditawari redudansi sukarela.
Sebenarnya ia sudah melewati beberapa interview pekerjaan. Namun, ia pikir dirinya selalu ingin berpergian.
Jadi ia akan pergi begitu saja dan melakukannya hingga beberapa bulan, kemudian balik kembali.
Hingga suatu ketika ia sedang duduk santai di sebuah kafe di Melbourne, Australia, dalam travelingnya selama dua minggu.
“Aku pikir, aku ingin tahun apa yang terjadi bila aku mengikuti impianku? Yaitu memiliki sebuah restoran kecil sendiri dan aku tidak melihat ke belakang. Aku dapat ide di kepala dan itu saja,” cerita Louise.
Setelah meninggalkan pekerjaanya, Louise menjalankan klub di Brighton, yang cukup untuk membayar tagihannya dengan biaya sekitar 10 ribu poundsterling atau Rp200 juta.
Sementara dalam pekerjaan terakhirnya ia mendapat jaminan kesehatan pribadi, dana pensiun, dan bonus sekitar 55 ribu poundsterling.
Dengan perubahan penghasilannya, Louise bilang ia merasa bahagia melakukan sesuatu yang dia sukai.
Awalnya sang ibu merasa skeptis dengan keputusan putrinya, cemas tentang ketidakstabilan akan putrinya menjalankan bisnisnya sendiri, dibandingkan dengan karirnya sebagai pengacara.
Louis bilang, ibunya benar-benar gembira untuk dirinya, tetapi awalnya menyerah dari karir di bidang hukum menjadi ke makanan.
“Karena hal itu cukup berbeda di Philipina. Anda sekolah dan pendidikan sangat menekan anda untuk mendapatkan pekerjaan yang pantas jika anda suka,” kata Louise.
Produk utama Louise adalah asinan Mestiza yang dijual seharga 3,75 poundsterling atau Rp 75 ribu per botol, yang dibuatnya di dapur rumahnya.
Ia mengaku bahwa perlu perjuangan untuk membawa kuliner Philipina ke Inggris, karena kuliner itu belum punya pasar yang besar dibandingkan kuliner lain di dunia.
Wanita itu memulai bisnisnya dengan berjualan di kaki lima dan punya 7-10 pelanggan, yang beberapa diantaranya adalah teman.
Orang-orang akan bertanya: “Apa makanan orang Philipina? Apakah rasanya seperti makanan China?”