Advertorial
Dari IMDI ke Aksi Nyata
Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) terus menunjukkan perbaikan. IMDI 2025 tercatat 44,53, naik 1,19 poin dari tahun sebelum
TRIBUNJAMBI.COM - Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) terus menunjukkan perbaikan. IMDI 2025 tercatat 44,53, naik 1,19 poin dari tahun sebelumnya.
Indeks ini bukan sekadar angka. IMDI merefleksikan empat pilar utama ekosistem kecakapan digital: infrastruktur & ekosistem, keterampilan digital, pemberdayaan, dan pekerjaan.
Namun di sisi lain, lebih dari 56 persen pengguna internet di Indonesia berusia di bawah 30 tahun (BPS, 2024).
Artinya, generasi digital-native kini mendominasi ruang maya. Kombinasi kenaikan IMDI dan demografi pengguna ini menegaskan dua hal: kemajuan adopsi digital dan urgensi memperkuat literasi digital secara menyeluruh.
Mengapa literasi digital penting sekarang?
Pakar literasi digital Santi Indra Astuti mengingatkan mengingatkan bahayanya jika masyarakat tidak dibekali kemampuan literasi yang memadai.
“Tanpa dibekali literasi digital, masyarakat akan mudah menyalahgunakan informasi yang diterima, bahkan dapat mengalami berbagai masalah,” ujar Santi.
Budaya konsumsi informasi yang cepat, seperti menonton reelsdan membaca headline singkat, mendorong reaksi instan tanpa konteks. Ketika kemampuan verifikasi lemah, masyarakat terutama anak muda lebih mudah terperangkap dalam disinformasi, fitnah, atau ujaran kebencian. Dampaknya luas: erosi kepercayaan publik, polarisasi, hingga potensi kerugian sosial maupun ekonomi.
Langkah konkret untuk memperkuat literasi digital
Deden Mauli Darajat, pakar literasi digital, merekomendasikan pendekatan yang bersifat kolaboratif, kontekstual, dan berkelanjutan. Langkah praktis yang ia usulkan:
• Mulai di pendidikan formal. Masukkan literasi digital (cek sumber, etika, dan teknik verifikasi) ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi.
• Pendekatan sebaya. Libatkan influencer dan content creator muda sebagai perantara pesan agar lebih relevan bagi generasi muda.
• Kampanye berbasis komunitas. Gandeng komunitas digital, organisasi pemuda, dan institusi lokal agar program literasi menjangkau berbagai lapisan masyarakat.
• Latihan praktis. Ajarkan langkah nyata: cek minimal tiga sumber, verifikasi tanggal dan konteks, waspadai judul clickbait, dan gunakan alat pemeriksa fakta.
• Bangun kultur kritis, bukan culture of fear: Pakai pendekatan empatik; ajak generasi muda menjadi bagian dari solusi (misalnya komunitas fact-checking) daripada menakut-nakuti mereka.
Apa yang bisa kita lakukan sekarang?
Kenaikan IMDI adalah kabar baik, tetapi angka tanpa aksi tidak cukup.
Literasi digital harus diterjemahkan menjadi program nyata (terukur dan inklusif) yang dilaksanakan oleh sekolah, komunitas, sektor kreatif, dan masyarakat luas.
Pendekatan terpadu ini juga harus mempertimbangkan konteks lokal tiap kabupaten/kota agar tepat sasaran.
Dengan strategi yang tepat, generasi muda tidak lagi sekadar menjadi kelompok paling terekspos. Mereka berpotensi menjadi penjaga ruang digital yang kritis, kreatif, dan bertanggung jawab.
“Bukan sekadar masalah literasi digital, atau ketertinggalan teknologi (digital), tetapi masalah peradaban yang membutuhkan kolaborasi multi-stakeholder untuk mengatasinya,” tutup Santi.
