Berita Interasional
HAMAS Tolak Gantungkan Senjata: Palestina Berdaulat Jadi Harga Mati
Hamas dengan tegas menolak menyerah dan bersumpah tidak akan meletakkan senjata mereka hingga terbentuknya negara Palestina yang berdaulat.
Penulis: Darwin Sijabat | Editor: Darwin Sijabat
TRIBUNJAMBI.COM - Kelompok pejuang Palestina, Hamas, dengan tegas menolak menyerah dan bersumpah tidak akan meletakkan senjata mereka hingga terbentuknya negara Palestina yang berdaulat penuh dengan Yerusalem sebagai Ibu Kota.
Pernyataan keras ini menjadi respons terhadap salah satu tuntutan kunci dalam pembicaraan yang sedang berlangsung di Gaza, sekaligus menepis rumor yang beredar.
Penolakan Hamas ini disampaikan setelah mereka menanggapi klaim yang dikaitkan dengan utusan Timur Tengah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Steve Witkoff.
Sebelumnya, beredar kabar bahwa Hamas telah menyatakan kesediaannya untuk meletakkan senjata, sebuah narasi yang kini dibantah mentah-mentah.
"Hamas... tidak akan menghentikan haknya melakukan perlawanan dan persenjataannya, kecuali munculnya negara Palestina yang berdaulat penuh dengan Yerusalem sebagai Ibu Kota," demikian pernyataan Hamas, seperti dikutip dari BBC, Sabtu (2/8/2025).
Sikap Hamas ini kontras dengan tuntutan Israel yang menganggap perlucutan senjata Hamas sebagai salah satu dari beberapa syarat kunci bagi kesepakatan apa pun untuk mengakhiri konflik di Gaza.
Negosiasi tidak langsung antara Israel dan Hamas untuk mengamankan gencatan senjata dan pembebasan sandera sendiri telah terhenti sejak pekan lalu, memperpanjang ketidakpastian di wilayah tersebut.
Tekanan terhadap Hamas untuk meletakkan senjata dan menyerahkan kendali atas Gaza juga datang dari beberapa negara Arab dalam beberapa hari terakhir.
Baca juga: Kehebatan Pejuang Hamas Lumpuhkan Tentara Israel Lewat Strategi Close Range Combat
Baca juga: Bendera One Piece Guncang HUT RI ke-80, Ketua MPR: Ekspresi Kreativitas, Hati Tetap Merah Putih
Baca juga: KKB Papua Akui 3 Angota Tewas Melawan TNI: Meninggal dalam Kontak Senjata
Hal ini terjadi setelah serangkaian pengakuan negara Palestina oleh negara-negara Barat, termasuk Prancis dan Kanada yang baru-baru ini mengumumkan rencana mereka.
Bahkan, Inggris menyatakan akan mengakui Palestina jika Israel tidak memenuhi kondisi tertentu terkait Gaza pada September mendatang.
Sementara itu, di tengah kebuntuan politik, situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk.
Badan-badan PBB telah memperingatkan adanya kelaparan massal yang disebabkan oleh manusia, dan secara terang-terangan menyalahkan Israel yang dituduh mengendalikan masuknya semua pasokan ke wilayah tersebut.
Namun, Israel bersikeras membantah tuduhan tersebut, menegaskan tidak ada pembatasan pengiriman bantuan dan tidak ada kondisi kelaparan yang disengaja.
Situasi tegang ini semakin diperparah dengan peringatan dari Letnan Jenderal Eyal Zamir dari Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pada Jumat (1/8/2025).
Ia menegaskan, pertempuran di Gaza tidak akan berakhir jika negosiasi untuk segera membebaskan para sandera yang ditawan Hamas gagal.
Kunjungan utusan AS, Steve Witkoff, ke Israel terjadi di saat pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menghadapi tekanan besar terkait krisis kemanusiaan di Gaza dan tuntutan global untuk solusi yang adil.
Penolakan tegas Hamas untuk meletakkan senjata, kecuali dengan jaminan kedaulatan penuh Palestina, kini menjadi ganjalan utama dalam upaya mencapai perdamaian yang berkelanjutan.
Simak berita terbaru Tribunjambi.com di Google News
Baca juga: Pesawat Capung Jatuh di Ciampea Bogor, Satu Orang Tewas
Baca juga: Bendera One Piece Guncang HUT RI ke-80, Ketua MPR: Ekspresi Kreativitas, Hati Tetap Merah Putih
Baca juga: Sinopsis Glass Heart Episode 4, Love and Jealousy
Baca juga: SUAMI Racuni Istrinya Usai Operasi Hanya Demi Asuransi, 2 Istri Sebelumnya Juga Tewas Mencurigakan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.