Tiga Tahun Pembunuhan Brigadir Yosua

Samuel Merasa Terluka di Tahun Kedua, Kondisi Keluarga Almarhum Brigadir Yosua di Tahun Ketiga

Tanggal 8 Juli 2022 menjadi batas antara harapan dan kehilangan bagi keluarga kecil di Desa Suka Makmur, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi

Penulis: Srituti Apriliani Putri | Editor: asto s
Tribun Jambi/Wawan Kurniawan
TIGA TAHUN - Ayah almarhum Brigadir Nofriansyah Hutabarat, Samuel Hutabarat, saat wawancara dengan Jurnalis Tribun Jambi Srituti Apriliani Putri, di Desa Suka Makmur, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, Selasa (8/8/2025). 

TRIBUNJAMBI.COM, SENGETI - Tiga tahun sudah Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat pergi. 

Tanggal 8 Juli 2022 menjadi batas antara harapan dan kehilangan bagi keluarga kecil di Desa Suka Makmur, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi.

Hari itu, di sebuah rumah dinas sekolah yang sederhana, di lingkungan SDN 74 Muaro Jambi, suara tangis pelan menggantikan tawa yang biasanya muncul saat Natal atau Tahun Baru. 

Sejak putra sulungnya tewas secara tragis di Duren Tiga, Jakarta, Samuel Hutabarat dan Rosti Simanjuntak hanya ditemani sunyi.

Brigadir Yosua, yang dikenal pendiam, tenang, dan hormat kepada orang tua, menjadi korban pembunuhan berencana. Ironisnya, pelaku utamanya adalah atasannya sendiri, Ferdy Sambo, seorang jenderal polisi yang saat itu menjabat Kepala Divisi Propam Polri.

Rumah yang Kini Kosong

Tiga tahun kemudian, Selasa (8/7/2025), tim Tribun Jambi kembali menyambangi rumah dinas itu. 

Namun, suasana sudah berbeda. Rumah itu kini kosong. Pintu tertutup rapat, tak ada tanda-tanda kehidupan.

PENAMPAKAM makam Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau yang akrab disapa Brigadir Yosua di Desa Suka Makmur, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, Selasa (8/7/2025).
PENAMPAKAM makam Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau yang akrab disapa Brigadir Yosua di Desa Suka Makmur, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, Selasa (8/7/2025). (Tribun Jambi/Srituti Apriliani Putri)

Warga sekitar memberi tahu bahwa pasangan suami istri itu sudah lama pindah. 

“Sudah pindah sejak beberapa tahun lalu, rumahnya nggak jauh dari sini,” ujar seorang tetangga singkat.

Menelusuri jalan desa, akhirnya tim sampai di sebuah rumah sederhana bercat putih. 

Di terasnya, seorang pria paruh baya duduk sambil membersihkan diri usai pulang dari kebun. 

Ia adalah Samuel Hutabarat, ayah Brigadir Yosua.

Rosti, ibunda almarhum Yosua, masih aktif mengajar di SDN 74 Muaro Jambi. 

"Saya di ladang, istri masih jadi guru seperti biasa," ujar Samuel, suaranya tenang, nyaris datar.

Di ruang tamu rumah itu, sebuah foto Brigadir Yosua dipajang dalam lemari kaca. 

Tatapan di foto itu seolah tak pernah pergi dari rumah ini.

Luka yang Baru Terasa di Tahun Kedua

Bukan di tahun pertama kepergian anaknya, Samuel merasa benar-benar kehilangan, melainkan di tahun kedua.

"Setahun pertama kami sibuk mencari keadilan. Bolak-balik ke Jakarta, ikut persidangan. Fokus kami di situ, belum sempat benar-benar merasakan kehilangan," ujarnya pelan.

Setelah proses hukum selesai, rumah itu menjadi lebih sunyi. 

Tak ada lagi suara langkah kaki anak sulung yang pulang membawa cerita dari Ibu Kota, Jakarta.

"Biasanya kalau libur Natal dan Tahun Baru dia pulang. Sekarang, tidak ada lagi," sambung Samuel.

Sosok Yosua yang Pendiam dan Penuh Hormat

Kenangan akan Yosua tetap hidup dalam percakapan orang tuanya. 

Samuel menyebut anaknya sebagai sosok yang jarang bicara, tetapi penuh respek terhadap siapa pun.

"Dia nggak pernah motong pembicaraan orang. Dengar dulu, baru bicara. Mungkin itu dia warisi dari saya," ujarnya sambil tersenyum kecil.

Mata Samuel memang tetap teduh, tapi sesekali air matanya tampak menahan sesuatu. Duka, mungkin. Atau kerinduan yang tak akan pernah selesai.

Samuel juga bercerita, sesekali teman-teman Yosua masih datang berziarah ke makam. 

“Ada saja yang kasih kabar. Walaupun nggak semua kami temui langsung,” katanya.

Makam yang Tetap Terawat

Makam Yosua berada di tengah desa, tak jauh dari rumah orang tuanya. 

Sebuah nisan hitam berdiri rapi di atas tanah yang bersih. Rumput tak dibiarkan tumbuh liar. Bunga-bunga segar sesekali diletakkan di sana.

Dua tahun lalu, makam itu juga tampak sama, bersih dan rapi. 

Tak banyak berubah, seperti duka yang juga tak pernah benar-benar pergi.

Tidak Ada Peringatan, Hanya Doa

Di peringatan tiga tahun kepergian Brigadir Yosua, tidak ada acara besar, tidak ada tumpukan bunga atau doa bersama. 

Hanya sepasang orang tua yang masih menyebut namanya dalam doa.

“Kami tidak buat acara khusus. Tapi kami mohon doa, semoga kami diberi kekuatan,” ujar Samuel.

Kehilangan anak memang tak pernah mudah, apalagi dengan cara seperti itu. 

Tapi kehidupan terus berjalan. 

Samuel kembali ke ladang, Rosti kembali ke kelas, dan nama Yosua tetap tinggal, di foto, di batu nisan, dan di hati mereka yang mencintainya. (srituti apriliani putri)

Baca juga: Penampakan Makam Brigadir Yosua Hutabarat di Muaro Jambi Setelah Tiga Tahun Lalu Ditembak Sambo

Baca juga: Pada Usia Berapa Ferdy Sambo Keluar Penjara? Kasus Pembunuhan Brigadir Yosua Asal Seri IV

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved