Tur Candi Muaro Jambi

Tur Candi Muaro Jambi Seri VI, Kearifan Lokal dari Kuliner dan Seni Tradisional

Persembahan Gastronomi berupa kuliner khas Jambi, lengkap dengan pertunjukan kesenian tradisional, menutup tur Candi Muaro Jambi.

|
Penulis: Yoso Muliawan | Editor: Yoso Muliawan
Tribunjambi.com/Yoso Muliawan
Gastronomi - Persembahan Gastronomi menjadi penutup rangkaian Tur Promosi Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi, Senin (19/5/2025). Peserta tur mencoba berbagai varian kuliner lokal. Kesenian tradisional Senandung Jolo membuka acara santap siang tersebut. 

TRIBUNJAMBI.COM, MUARO JAMBI - Tur ke kompleks Candi Muaro Jambi tak lengkap tanpa mencicipi makanan lokal.

Persembahan aneka kuliner khas Jambi berpadu dengan kesenian tradisional memanjakan mata dan telinga, juga lidah dan perut rombongan tur.

Ismira Lutfia menyantap nasi berbungkus daun pisang, Minggu (18/5/2025) siang. Ia mengisi perut setelah dari pagi berkutat di Candi Kedaton, menikmati khidmatnya umat Budha dari berbagai daerah di Jambi merayakan Waisak.

Kunjungan ke Candi Kedaton dan candi-candi lainnya menjadi bagian dari Tur Promosi Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi.

Jurnalis Berita Harian Singapura ini semeja dengan tiga jurnalis lain. Mereka makan siang di hari pertama tur dengan menu bernama nasi ibat.

Aroma pisang tercium saat membuka daun pisang yang membungkus nasi putih tersebut.

Lauknya berupa pepes ikan gabus plus sayur bening campuran wortel, jagung, dan jamur.

Nasi Ibat
Santap Siang - Peserta Tur Promosi KCBN Muarajambi bersantap siang seusai mengunjungi Candi Kedaton sekaligus menyaksikan perayaan Waisak pada tur hari pertama, Minggu (18/5/2025). Peserta santap siang dengan menu lokal bernama nasi ibat.

Merujuk sejumlah literatur, nasi ibat adalah makanan khas Jambi dari Kabupaten Tebo. Ada juga yang menyebutnya dari Kabupaten Kerinci.

Satu kesamaannya, baik di Tebo maupun di Kerinci, nasi ibat biasanya tersuguh saat acara penting seperti pernikahan, khitanan, syukuran, dan sejenisnya.

Di Kerinci, nasi ibat berpadu sayur nangka dan gulai daging sapi juga tersaji ketika syukuran panen.

Jamuan nasi ibat menyiratkan makna kebersamaan dan kekeluargaan.

Ia menandakan keharmonisan tanpa memandang kelas, status, strata sosial.

Semua duduk sama rata berdiri sama tinggi dalam hidangan bersama.

Baca juga: Tur Candi Muaro Jambi Seri I, Candi Kedaton Tempatnya Ibadah dan Belajar

Menu pencuci mulut sedikit mengademkan siang yang terik.

Beberapa gadis pramusaji menyuguhkan minuman perpaduan ubi rambat, rumput laut, sagu mutiara, plus sedikit susu dan sebutir buah durian. 

“Buah duriannya tambah lagi boleh ini,” canda Aloysius Budi Kurniawan, jurnalis Kompas.

Saat ini, banyak acara, kegiatan, atau seremoni yang menghadirkan persembahan kuliner dengan istilah Gastronomi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gastronomi berarti seni menghidangkan kuliner bercita rasa lezat. Sama dengan tata boga.

Gastronomi tak sekadar bagaimana menyiapkan bahan makanan, mengolah, kemudian menyajikannya.

Lebih dari itu, Gastronomi juga soal pengalaman menyantap kuliner khas, tentang makna filosofi dan sosial budaya yang terkandung dalam suguhan tersebut.

Senandung Jolo

Pada hari terakhir tur, Senin (19/5/2025) siang, Kafetaria Museum KCBN Muarajambi menjadi panggung Gastronomi yang menghadirkan varian kuliner khas Jambi.

Namun, sebelum melahapnya, pertunjukan kesenian tradisional menjadi pembuka.

Senandung Jolo, demikian nama kesenian tradisional yang mengawali jamuan Gastronomi.

Lelaki tua memimpin tim beranggotakan seorang perempuan tua, dua orang perempuan muda, dan seorang lelaki muda.

Mereka berselonjor sambil memainkan alat musik tradisional: gambang berbahan kayu, gendang, rebana, gong.

Berpeci hitam dan berkacamata, si lelaki tua memukul-mukul gendang dan bersenandung. Di samping kirinya, lelaki muda memukul-mukul rebana.

“Kami ucapkan… oooo… Selamat lah datang… Haiii, para hadirin sekalian,” ia bersenandung. “Di tempat kami… Iyo lah kabupaten, ya Tuan… Candi Muaro Jambi.”

Kesenian Senandung Jolo
Senandung Jolo - Lima warga lokal mempersembahkan Senanjung Jolo sebelum makan siang di Kafetaria Museum KCBN Muarajambi pada hari terakhir Tur Candi Muaro Jambi, Senin (19/5/2025).

Di sebelah kanan, perempuan tua memakai tengkuluk, penutup kepala khas Melayu, menabuh gambang, alat musik tradisional berbahan kayu mahang. Tiga buah potongan kayu mahang berjejer di kakinya.

Seorang perempuan muda juga menabuh gambang, tetapi hanya sebuah. Sementara seorang perempuan muda lainnya memukul gong berukuran kecil.

Senandung Jolo adalah kesenian tradisional dari Desa Tanjung, Kabupaten Muaro Jambi.

Semacam pantun yang dinyanyikan secara bergiliran, diiringi tetabuhan gambang, gendang, rebana, dan gong.

Senandung Jolo awalnya hanya untuk hiburan atau curahan hati ketika menunggu sawah atau di sela-sela menangkap ikan di sungai.

Kini, ia digunakan untuk mengisi atau membuka acara-acara formal seperti penyambutan tamu, pernikahan, acara adat dan hari-hari besar.

Senandung Jolo telah ditetapkan sebagai warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2014.

Baca juga: Tur Candi Muaro Jambi Seri II, Koto Mahligai: Pohon Sialang dan Akar Menembus Candi

Jamuan Negeri Rawa

Selepas Senandung Jolo, perempuan pembawa acara berpakaian Melayu memulai persembahan Gastronomi.

Ia warga lokal yang tergabung dalam Komunitas Pasar Dusun Karet (Paduka), komunitas pemberdayaan masyarakat di bidang seni dan budaya.

Di meja makan berbentuk bundar, tergeletak brosur di dekat piring masing-masing peserta tur.

Jamuan Negeri Rawa Muarajambi, begitu judulnya. Ya, selain sungai dan anak-anaknya, Muaro Jambi adalah daerah rawa-rawa.

Pembawa acara membuka Gastronomi dengan “welcome drink” air sepah selasih. Minuman penyambutan berbahan daun pohon sepang dan biji selasih.

Sepah Selasih
Sepah Selasih - Minuman sepah selasih mengawali makan siang di Kafetaria Museum KCBN Muarajambi.

Berwarna merah dengan sedikit es batu, minuman ini melepas dahaga setelah setengah hari bergumul dengan candi-candi.

Setelah minuman pembuka, menu inti datang. Ketupak Tolak Bala, Ikan Ruwan Bakar, Aruk-aruk Timun dan Sambal Cuko No. 

Ketupak Tolak Bala adalah ketupat dengan tambahan serundeng. Sementara Ikan Ruwan Bakar merupakan ikan gabus.

Ketupat “penolak bala” bersama Ikan Ruwan Bakar disantap dengan dicocol Sambal Cuko No dan Aruk-aruk Timun.

Sambal Cuko No cenderung asam dan tak begitu pedas, sedangkan Aruk-aruk Timun memberikan rasa segar. 

Menu inti ini tersaji elok. Potongan Ketupak Tolak Bala dan Ikan Ruwan Bakar disusun bertingkat, lalu ditusuk sebilah lidi. Potongan kecil daun kelapa kuning kehijauan bak bendera menghiasi bagian atas lidi. 

Menu Inti
Ketupat, Sambal, Timun - Menu inti santap siang mulai dari Ketupak Tolak Bala, Sambal Cuko No, dan Aruk-aruk Timun.

Sambal Cuko No disuguhkan di piring kecil berbahan kayu. Adapun Aruk-aruk Timun dihidangkan di pelepah pinang yang membentuk mangkuk.

“Ikannya enak, nggak amis. Serundengnya (di Ketupak Tolak Bala) ‘kaya’ tapi rasanya nggak berlebihan,” kata Lumina, staf Direktorat Jenderal Diplomasi, Promosi, Kerja Sama Kebudayaan Kementerian Kebudayaan.

Menu inti belum berhenti. Datang lagi Ikan Acar Temu Pauh, Rempah Ratus Belut, dan Gulai Bekasam Batang Keladi. Menyusul Sayur Baselang Ares dan Labu Perenggi hingga Cegao Ubi.

Ikan Acar Temu Pauh
Ikan Acar Temu Pauh.

Ikan Acar Temu Pauh tampaknya jadi favorit beberapa peserta tur. Seperti sate, potongan-potongan ikan ditusuk bambu, lalu dibaluri acar.

“Acarnya enak, segar,” ujar Doni Fernando, jurnalis National Geographic.

Wahyu Aji, jurnalis Good News for Indonesia, bilang “sempurna” untuk Cegao Ubi yang berbahan singkong dengan tambahan serundeng.

“Harusnya lebih banyak orang makan seperti ini, jadi tidak tergantung dengan beras,” ucapnya.

Cegao Ubi
Cegao Ubi.

Rempah Ratus Belut semacam gulai dengan sayur dan daging belut.

“Keren. Kearifan lokal. Rempahnya dapat dari bumbu-bumbunya, gizinya juga dapat dari ikan, sayur,” tutur jurnalis Republika, Eko Supriyadi, sambil menyantap Rempah Ratus Belut.

Rempah Ratus Belut
Rempah Ratus Belut.

Dua varian sayur ditempatkan di mangkuk berbeda.

Satu berwarna kekuningan, yaitu Gulai Bekasam Batang Keladi dengan bahan utama batang keladi.

Batang Keladi
Gulai Bekasam Batang Keladi.

Satu lainnya berwarna seperti putih susu, yakni Sayur Baselang Ares dan Labu Perenggi.

“Harusnya makan bergizi gratis tuh kayak gini,” celetuk Ismira Lutfia, jurnalis Berita Harian Singapura.

Sayur Baselang Ares dan Labu Perenggi
Sayur Baselang Ares dan Labu Perenggi.

Ada menu tambahan datang kemudian. Kerupuk Ikan Mudik yang renyah dan gurih serta Lalap Umbut Rotan Sambal Galing. 

Pramusaji menyebut ikan bernama mudik sebagai bahan Kerupuk Ikan Mudik.

Kerupuk Ikan Mudik
Kerupuk Ikan Mudik.

“Ikan ini ada ketika banjir karena air sungai pasang, lalu dia kembali saat air surut. Jadi kayak mudik,” jelas pramusaji. 

Lalap Umbut Rotan berupa rotan muda. Rasanya sedikit pahit, dicocol pakai Sambal Galing yang berasam galing.

Lalap Umbut Rotan
Lalap Umbut Rotan.

Akhir yang Manis

Setelah meresapi pedas, asam, dan asin dari berbagai menu tadi, mari menetralkannya dengan yang manis.

Es Serut Cepiring, menu pencuci mulut berbahan daun kacapiring. Warna hijau mendominasi.

Pramusaji menjelaskan daun kacapiring mirip daun cincau, dengan bunga berwarna putih. 

“Awalnya hanya menjadi hiasan di pekarangan rumah warga. Tapi sekarang bisa jadi obat herbal untuk pereda demam dan panas dalam,” kata pramusaji. “Pakai gula sedikit. Kalau tidak, rasa daunnya terasa sekali.”

Es Serut Cepiring
Es Serut Cepiring - Peserta tur dari Kementerian Kebudayaan mencicipi Es Serut Cepiring.

Pramusaji bercerita pernah ada orang sembuh dari sakit wasir setelah rutin mengonsumsi minuman tersebut.

“Sudah hampir operasi. Minum ini sehari tiga kali, wasirnya sembuh total,” ujarnya.

Tiga varian camilan menambah menu penutup. Tabun Timbul, Sugi Raden, dan Ketan Panggang Colet.

Tabun Timbul bergula aren. Mirip puding atau seperti bubur sumsum.

Sementara Ketan Panggang Colet yang dijepit dua bilah bambu merupakan ketan gurih. Ia dimakan dengan dicocol campuran santan dan ubi rambat. 

“Enak. Ketan panggangnya gurih, coletannya manis,” ucap Do Quyen, jurnalis Vietnam News Agency.

Menu Penutup
Menu Penutup - Sebagai menu penutup, tersaji Tabun Timbul (kiri), Sugi Raden (bawah), dan Ketan Panggang Colet (tengah).

Sama seperti Ketan Panggang Colet, Sugi Raden juga berupa ketan, tetapi diberi kelapa dan gula.

“Ini pertama kali saya coba, padahal saya orang Jambi. Ini kayaknya spesial, hasil kreasi. Nggak ada di pasar-pasar,” kata jurnalis LKBN Antara, Wahdi Septiawan.

Foto bareng dengan latar pajangan cendermata, rempah-rempah, dan berbagai tanaman lokal mengakhiri persembahan Gastronomi.

Beberapa perempuan peserta tur sempat mencoba cara memakai tengkuluk, penutup kepala khas Melayu Jambi.

Demikianlah kekayaan budaya Jambi, dari kuliner hingga kesenian tradisionalnya.

Kearifan lokal yang diniatkan untuk terus lestari dengan melibatkan warga setempat. Mereka berpadu dengan warisan sejarah nan megah dari kompleks Candi Muaro Jambi. (Yoso Muliawan)

Baca juga: Tur Candi Muaro Jambi Seri III, Stupa-stupa Candi Parit Duku

Baca juga: Tur Candi Muaro Jambi Seri IV: Cetiyaghara, Koin Cina, dan Arca-arca

Baca juga: Tur Candi Muaro Jambi Seri V, Arca Prajna Paramita Tanpa Kepala

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved