SEDIH, Haji Endang Terancam Kehilangan Jembatan Beromzet 20 Juta

Nama Endang Junaedi atau Haji Endang tengah ramai diperbincangkan masyarakat.

Penulis: Heri Prihartono | Editor: Heri Prihartono
KOMPAS.COM/FARIDA
JEMBATAN PERAHU VIRAL - Pengendara melintasi jembatan perahu Haji Endang di Anggadita, Klari, Karawang, Jawa Barat, Selasa (29/4/2025). Jembatan itu kini dipermasalahkan padahal sudah ada sejak 15 tahun lalu. Dibuat dengan modal Rp 5 miliar. 

TRIBUNJAMBI.COM - Nama Endang Junaedi atau Haji Endang tengah ramai diperbincangkan masyarakat.

Hal ini dipicu oleh ancaman penutupan jembatan perahu yang ia kelola, padahal jembatan tersebut telah beroperasi selama 15 tahun.

Jembatan milik Haji Endang dipasangi spanduk peringatan oleh pihak Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum.

Jembatan ini selama ini menjadi penghubung antara Desa Anggadita di Kecamatan Klari dan Desa Parungmulya di Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

Pemasangan spanduk peringatan dilakukan pada Senin (28/4/2025), bertuliskan bahwa jembatan tidak memiliki izin melintasi sungai sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2019 dan PP Nomor 37 Tahun 2012.

Keesokan harinya, Selasa (29/4/2025), warga setempat menurunkan spanduk tersebut.

Pernyataan serupa disampaikan juga melalui akun Instagram resmi BBWS Citarum, @pu_sda_citarum.

Pihak BBWS menyebutkan bahwa jembatan itu dibangun tanpa izin resmi dan berpotensi mengganggu aliran sungai, apalagi di musim hujan atau saat banjir.

BBWS juga mengimbau agar pengelola jembatan, pemerintah daerah, dan instansi terkait duduk bersama mencari solusi terbaik tanpa merugikan masyarakat.

Menanggapi peringatan tersebut, Haji Endang menegaskan bahwa ia memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB).

"Walaupun saya izin sebenarnya ada ya, boleh lah anggap saya ilegal, tapi manfaatnya banyak. Dibilang dia berbayar, saya kan bukan baru sekarang, udah 15 tahun berjalan," ujarnya saat ditemui Selasa (29/4/2025), dikutip dari Kompas.com.

Ia menjelaskan bahwa setiap pengendara motor dikenakan tarif Rp2.000, yang digunakan untuk perawatan, listrik, dan menggaji sekitar 40 pekerja lokal.

"Kalau menutup pikirkan dong dampak terhadap masyarakat sini yang orang kerja," ucap Endang.

Ia menilai, kebijakan itu seolah hanya menyasar usahanya, padahal jembatan serupa banyak dibangun warga lain.

"Di sini sudah banyak yang bikin kaya gini, nyontoh saya, tapi saya lihat saya cek cuma saya aja. Yang lain gak ada. Ada unsur apa ini?" katanya.

Endang menambahkan bahwa dirinya terbuka terhadap media sebagai bentuk edukasi kepada publik.

"Untuk edukasi kepada keluarga, saudara se-tanah air, mungkin di lingkungan ada kaya gini, bisa dimanfaatkan," ujarnya.

Ia berharap pemerintah tidak serta-merta menutup jembatan tanpa memperhatikan dampak sosial ekonomi masyarakat.

Jembatan ini dulunya merupakan jasa eretan manual yang mengangkut kendaraan roda dua menyeberangi sungai.

Kini bentuknya lebih modern, terdiri atas rangkaian ponton yang disusun dan dilapisi pelat baja, serta dilengkapi lampu penerangan.

Akses menuju jembatan pun sudah diaspal.

Menurut Endang, sebanyak 40 orang bekerja untuk mengelola jembatan ini, dengan tugas mulai dari operator hingga teknisi.

Diperkirakan sekitar 10.000 kendaraan melintasi jembatan ini setiap hari.

"Pendapatannya tak kurang Rp20 juta per hari," katanya.

Namun, biaya operasional per hari juga tidak sedikit, mencapai Rp8 juta untuk pemeliharaan dan gaji pekerja.

Sejumlah pengguna jembatan juga menyampaikan pendapatnya.

"Membantu, tidak apa-apa bayar Rp2.000," kata Nugraha, pengendara motor.

Muhammad, seorang pekerja pabrik, menambahkan bahwa jembatan ini sangat membantu untuk mengejar waktu kerja.

"Kalau telat takut kena sanksi. Kalau bisa jangan ditutup, diselesaikan antara kedua pihak bagaimana baiknya," ujarnya.

Artikel ini diolah dari Tribunjatim

Baca juga: Partai NasDem Siapkan Pengganti dr Nadiyah dan Endang Abdul Naser yang TMS

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved