Korupsi Minyak Mentah
Modus Petinggi Pertamina Oplos Pertalite Jadi Pertamax
Modus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produksi kilang dalam mengoplos Pertalite menjadi Pertamax.
TRIBUNJAMBI.COM- Modus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produksi kilang dalam mengoplos Pertalite menjadi Pertamax.
Kasus korupsi ini terjadi di lingkup PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada 2018-2023 dengan kerugian keuangan negara senilai Rp 197,3 triliun per tahun.
Total ada 9 tersangka kasus ini, terdiri dari 6 orang dari PT Pertamina Subholding dan tiga broker.
Di antaranya, Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga.
“Hasil penyidikan adalah RON 90 (Pertalite) atau yang di bawahnya itu, tadi fakta yang ada di transaksi RON 88 (Premium) di-blending (dioplos) dengan RON 92 (Pertamax) dan dipasarkan seharga RON 92,” ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung) Abdul Qohar dikutip dari Antara, Kamis (27/2/2025).
Modus yang dilakukan tersangka Pertamina dalam membuat Pertamax oplosan
Merujuk pemberitaan Antara, Rabu (26/2/2025), kasus korupsi Pertamina Patra Niaga bermula pada 2018-2023 ketika PT Pertamina (Persero) wajib mencari pasokan minyak Bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.
Namun, terjadi pengondisian rapat optimasi hilir yang digunakan untuk menurunkan produksi kilang yang menyebabkan produksi minyak Bumi dari dalam negeri menjadi tidak terserap seluruhnya.
Baca juga: Sosok Rahmad Mirzani Djausal Gubernur Lampung periode 2025-2030
Baca juga: Sosok Kerry Andrianto Anak Raja Minyak Riza Chalid, Tersangka Korupsi Pertamina
Pengondisian tersebut dilakukan oleh Dirut Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, VP PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono (AP), dan Direktur PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS).
Perbuatan Riva, Agus, dan Sani membuat pemenuhan minyak dalam negeri dilakukan secara impor.
Dari situlah, para tersangka dengan sengaja menurunkan produksi kilang dan menolak produksi minyak mentah dari dalam negeri.
PT Kilang Pertamina Internasional kemudian mengimpor minyak mentah, sementara PT Pertamina Patra Niaga mendatangkan produk kilang.
Namun, harga pembelian impor tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga produksi minyak Bumi dalam negeri.
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Riva selaku Dirut melakukan pembelian atau pembayaran untuk RON 92.
Padahal, sebenarnya produk minyak yang dibeli adalah RON 90 (Pertalite) atau lebih rendah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.