Ekologi

Diskusi Publik SIEJ, Deforestasi di Jambi Mencapai 2,5 Juta Hektare Dalam 50 Tahun

Provinsi Jambi telah kehilangan tutupan hutan (deforestasi) seluas 2,5 juta hektare dalam 50 tahun terakhir

|
Editor: Suang Sitanggang
TRIBUNJAMBI/HO
Diskusi Publik Hutan Rusak Bencana Datang, yang digelar SIEJ simpul Jambi, di Kota Jambi, Sabtu (1/6/2024) 

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Provinsi Jambi telah kehilangan tutupan hutan (deforestasi) seluas 2,5 juta hektare dalam 50 tahun terakhir. Bencana hidrologi yang semakin sering terjadi, seperti banjir, merupakan satu di antara dampak yang kini kerap dirasakan.

Direktur KKI Warsi, Adi Juneidi, mengungkapkan pada tahun 1973 tutupan hutan di Jambi masih mencapai 3,4 juta hektare. Namun, pada tahun 2023 hanya tersisa 922.891 hektare.

Hutan ini banyak dibabat untuk aktivitas pertambangan, perkebunan, dan hutan tanaman industri (HTI) serta hak pengusahaan hutan (HPH).

"Hutan tersisa saat ini relatif berada di taman nasional," ungkap Adi Junaedi, dalam diskusi publik yang digelar SIEJ simpul Jambi, Sabtu (1/6/2024) sore di Dphati Coffee.

Jambi memiliki 4 taman nasional, yakni Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, dan Taman Nasional Berbak Sembilang.

"Ada sedikit atau sebagian di hutan lindung gambut. Ada juga beberapa area di kawasan lindung PBPH," terangnya.

Ia mengatakan deforestasi berdampak buruk bagi masyarakat adat yang tinggal di sekitar Kawasan hutan. Misalnya Orang Rimba, kehilangan ruang hidup hingga identitas budaya.

"Mereka sampai ke jalan kota. Mereka kehilangan identitas. Jadi untuk mengakui Orang Rimba itu berat, karena tidak ada rimba lagi," katanya.

Diskusi Publik Hutan Rusak Bencana Datang, yang digelar SIEJ simpul Jambi, di Kota Jambi, Sabtu (1/6/2024)
Diskusi Publik Hutan Rusak Bencana Datang, yang digelar SIEJ simpul Jambi, di Kota Jambi, Sabtu (1/6/2024) (TRIBUNJAMBI/HO)

Namun kabar baiknya, dalam tiga tahun belakangan ini, ungkap Adi, ada peningkatan tutupan hutan di Jambi, terpantau di wilayah perhutanan sosial. Penambahan luas tutupan ini belum signifikan dibanding yang hilang.

Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang dirilis awal tahun 2024, Jambi berada dalam 10 besar daerah dengan luas deforestasi terbesar di Indonesia.

Di kesempatan yang sama, Manager Kajian Walhi Jambi, Dwi Nanto menyebut kerusakan hutan sudah berlangsung di wilayah hulu, tengah, dan hilir Jambi. Pada wilayah hilir ada ekspansi perkebunan kelapa sawit yang merusak ekosistem lahan gambut.

Perusahaan, kata Dwi, melakukan pengeringan lahan gambut agar mereka bisa menanaminya dengan tanaman kelapa sawit. Akibatnya, lahan gambut menjadi mudah terbakar.

"Sawit kalau ditanam langsung pada kawasan gambut, itu tidak bisa. Maka skenario yang dilakukan perusahaan ekstraktif adalah membuat kanal, yang tidak patuh PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut," katanya.

Sesuai regulasi, ungkapnya, harusnya tingi muka air di lahan gambut minimal 40 centimeter. Namun agar tanaman sawitnya bisa bergiri tegak, perusahaan membuat kanal, sehingga gambut jadi kering. Bila kemarau, jadi sangat rawan kebakaran.

Walhi Jambi mewanti-wanti terjadinya eksploitasi sumber daya alam di hulu Jambi yang dilakukan perusahaan skala besar. Bila itu terjadi, maka bencana ekologis yang lebih parah menjadi keniscayaan.

Dwi juga mengungkapkan ada puluhan kasus konflik antara masyarakat dengan korporasi yang mendapatkan izin pada kawasan hutan dan sekitar kawasan. Hingga kini masih banyak yang belum terselesaikan, dan kriminalisasi kerap terjadi.

Koordinator SIEJ Simpul Jambi, Suang Sitanggang, berharap diskusi ini bisa memicu isu lingkungan di Jambi semakin ramai dibahas publik.

"Kita berharap isu lingkungan yang dampaknya untuk kehidupan secara menyeluruh ini semakin ramai diperbicangkan melalui publikasi media dan diskusi public," kata Suang.

Diskusi Publik Hutan Rusak Bencana Datang, yang digelar SIEJ simpul Jambi, di Kota Jambi, Sabtu (1/6/2024)
Diskusi Publik Hutan Rusak Bencana Datang, yang digelar SIEJ simpul Jambi, di Kota Jambi, Sabtu (1/6/2024) (TRIBUNJAMBI/HO)

Dia menyebut akan melakukan diskusi lanjutan membahas persoalan yang menyangkut lingkungan di Jambi. "Terutama kondisi Sungai Batanghari yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat Jambi. Sungai ini akan tergantung pada aktivitas di sekitarnya. Deforestasi masif, maka akan berdampak buruk bagi Sungai Batanghari," katanya.

Diskusi Publik ini digelar Society Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) Simpul Jambi diawali dengan nonton bareng liputan mendalam pada kasus penjagalan hutan Pulau Borneo.

Liputan kolaboratif yang dibuat SIEJ pusat melalui Depati Project itu, melibatkan sejumlah jurnalis dari beberapa media massa yang mengungkap fakta siapa dalang perusakan hutan Pulau Borneo, bagaimana prosesnya berlangsung, serta dampak besar yang muncul akibat penghancuran hutan.

SIEJ Jambi melihat kejahatan lingkungan di Kalimantan punya kemiripan dengan kondisi yang terjadi di Jambi. Atas nama investasi, perusakan kawasan hutan terus terjadi.

Melihat realita itu, SIEJ Jambi membuat diseminasi liputan penjagalan hutan Borneo untuk menarik benang merahnya ke dalam konteks Jambi.

Diskusi ini bertajuk "Hutan Hilang, Bencana Datang". Pemantik diskusi ialah dua jurnalis kolaborator Arief Nugroho, Manajer Kajian Walhi Jambi Dwi Nanto, dan Direktur KKI Warsi Adi Juneidi.

Diskusi ini menghadirkan peserta dari jurnalis di Jambi, AJI Kota Jambi, mahasiswa, dan NGO yang meliputi Yayasan Setara Jambi, WWF, FZS, Perkumpulan Hijau, KKI Warsi, dan Walhi.

Arief Nugroho, satu di antara jurnalis yang ikut melakukan liputan di Kalimantan, mengatakan liputan itu dilakukan Maret 2024. Para jurnalis dan Depati Project awalnya mendapat laporan deforestasi dan penggusuran tanah yang dikelola masyarakat adat di Desa Kuala Hilir, Simpang Hilir, Ketapang, Kalimantan Barat, Kalimantan (Pulau Borneo).

Di lokasi itu, para jurnalis meliput kawasan yang sudah dirusak PT Mayawana. Masyarakat adat dan satwa terdampak deforestasi tersebut.

"Bagi masyarakat adat, itu sangat penting karena obat-obatan dan makan ada di situ (hutan). Pembabatan hutan dihentikan sementara. Desa Kalau Hilir melakukan perlawanan. Karena mereka khawatir hutan dan ladang yang mereka miliki dibabat dan digusur oleh perusahaan. Jika ditebang habis maka keanekaragaman hayati di sini punah," katanya. (*)

Baca juga: SIEJ Berbagi Cerita Kondisi Hutan Lindung Gambut Kepada Generasi Muda

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved