WAWANCARA EKSKLUSIF

PKS Sebaiknya Tidak Masuk Kabinet Prabowo, Waketum Partai Gelora, Fahri Hamzah, Seri I

Di sebelah kiri ada teman-teman dari PDIP yang mengambil gagasan Soekarnois sebagai jalan dari politiknya yang mengkritik misalnya kebijakan

Editor: Duanto AS
TRIBUNNEWS
Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah (kiri), dan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra (kanan), saat podcast di kantor Tribun Network, Palmerah, Jakarta, Senin (6/5). 

PEMERINTAHAN Prabowo Subianto- Gibran Rakabuming Raka memerlukan check and balance sehingga tidak bisa seluruh partai politik yang berkompetisi bersatu. Pandangan itu dipaparkan Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah, saat podcast di kantor Tribun Network, Palmerah, Jakarta, Senin (6/5).

Fahri Hamzah menilai baik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDP) dapat berjalan di luar pemerintahan.

"Karena kemarin itu terus terang aja saya termasuk yang berkepentingan kalau bisa terutama PKS dan PDIP sebaiknya mengembangkan gagasannya," ucapnya.

Dengan fokus di luar diharapkan dapat melahirkan alternatif pemikiran. "Misalnya PKS karena saya pernah di PKS mengapa tidak mengembangkan gagasan tentang Islam yang agak kental gitu. Lalu kemudian mengajukan alternatif-alternatif ideologi Islam dalam menjalankan pemerintahan," urainya.

Menurutnya, jangan-jangan memang bisa kuat lalu kemudian itu jadi alternatif pemikiran kalau setia dengan pikiran itu. Jangan-jangan pendukungnya yang banyak ini sekaligus juga untuk mengabsorsi sebagian dari masyarakat kita yang mungkin berpandangan seperti itu.

“Tapi dengan diorganisir kita lalu berdebat nanti berdebat dengan kita apa betul ini seperti itu. Apakah itu valid di abad sekarang," tukasnya.

Di sebelah kiri ada teman-teman dari PDIP yang mengambil gagasan Soekarnois sebagai jalan dari politiknya yang mengkritik misalnya kebijakan pemerintahan Pak Prabowo dan kawan-kawan. "Jangan-jangan Pak Prabowo dan kawan-kawan ini dianggap neo Orde Baru misalnya bisa saja tapi ini menyebabkan kita bertarungnya enak," lanjut Fahri.

Pertarungan gagasan amat diperlukan, kalau tidak pertarungan gagasan Fahri khawatir nanti pertarungannya itu kepada hal-hal yang non gagasan, suka atau tidak suka. "Ini soal loyal atau tidak ini repot kita kalau masuk kepada perdebatan seperti itu tidak ada logikanya, tidak ada rasionalitasnya. Kita harus membangun medium pertarungan yang rasional," tukasnya.

Berikut wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra, dengan Fahri Hamzah.

Setelah adanya penetapan ini, muncul ide mengenai presidential club yang meniru konsepnya di Amerika Serikat. Menurut Bang Fahri, apakah ide ini bisa terealisasi mengingat konfigurasi politik kita ini para presiden terdahulu sebelum Pak Prabowo ini kan tidak mempunyai komunikasi politik yang baik?

Pak Prabowo, presiden terpilih kita, ini adalah pribadi yang unik dan juga manusia sejarah yang dilahirkan secara unik. Seperempat abad yang lalu, dia keluar dari institusi militer dengan segala macam kontroversinya pada saat Indonesia dalam transisi dan juga dunia sedang dalam konflik geopolitik atau krisislah paling tidak kita katakan krisis karena waktu itu adalah krisis moneter.

Beliau keluar lalu kemudian selama seperempat abad itu beliau berbisnis dan mencoba kembali dalam politik. Seperempat abad kemudian dia terpilih persis pada saat ada konflik geopolitik dan ada krisis baru di dunia ini setelah covid yang akan berefek pada krisis-krisis lainnya perang Rusia, Ukraina belum selesai sekarang ini ada perang Iran dan Israel.

Ada kemungkinan orang membaca terjadinya perang dunia ketiga, artinya Prabowo adalah pribadi yang unik lahir secara unik dan sekarang dia kembali memimpin kita dalam situasi yang juga unik sehingga keinginan besar beliau untuk menyatukan bangsa ini yang sudah diungkapkan dalam kampanye beliau berkali-kali adalah satu ikhtiar yang menurut saya persis dan tepat waktunya dan harus kita dukung secara bersama-sama karena memang dunia tidak sedang baik-baik saja dan kita memerlukan satu ikhtiar kuat untuk mengikat dan merawat elite kita supaya tidak menjadi pemicu ketegangan dan konflik bangsa.

Jadi bentuk-bentuknya presidential club atau dulu pernah beliau katakan kantor untuk para presiden, karena tidak ada istilah mantan dari presiden itu yang saya kira di antara ikhtiar untuk menyatukan elite Indonesia sehingga yang anda sebut tadi safari beliau ke kelompok-kelompok, ke partai dan sebagainya itu adalah dalam rangka itu.

Saya kira nomor satu kita harus hargai tetapi memang ada akar dari kecemasan kita tentang konflik elite, yaitu bahwa konflik elit kita ini berakar dari sistem politik yang harus kita perbaiki terlalu liberal. Kemudian medium daripada konfliknya dan persaingannya itu terlalu melebar mengikuti atau meliputi juga aspek-aspek yang non-rasional, soal pribadi, ketersinggungan, tidak tahu berterima kasih, pengkhianatan dan sebagainya.

Sebenarnya ini adalah medium-medium konflik yang tidak perlu ada dalam politik kita, apabila kita mau dan berani mendesain satu sistem politik yang hanya memfasilitasi pertengkaran gagasan saja tidak harus melebar ke mana-mana. Soal keluarga dan lain-lain lah yang sekarang ini, menurut saya, menyebabkan muncul ketegangan di antara elite kita itu sebenarnya yang tidak berdasar. Nah, saya kira dengan ide presidential club yang dikatakan itu, ya, dalam rangka di ujungnya, di hilirnya, kita pegang ini dulu.

Wahai para mantan presiden, anda ini sudah tidak selaiknya ikut dalam kompetisi pertengkaran yang sangat hangat politik praktis begitu, ya. Mari menjadi negarawan bersatu untuk bergabung, menyatukan bangsa seperti yang dilakukan oleh negara-negara demokrasi lain di seluruh dunia, mereka selalu punya tempat yang khusus bagi para mantan presiden itu agar mereka menjadi negarawan yang menyatukan bangsanya.
Idenya kita terima, tapi itu tidak cukup kita harus melacak ada soal lain yang harus kita bereskan itu akar daripada munculnya konflik elite yang berlebihan di tempat kita itu bang.

Faktanya, memang ada masalah di komunikasi politik antara presiden terdahulu kita yang masih ada. Nah, kira-kira Pak Prabowo bisa gak itu menyelesaikan?

Itu tadi, kalau kita lacak, ya, komunikasi yang salah paham. Ya, katakanlah sekarang nih, dari yang paling ujung yang masih hidup, ya, karena setelah Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, ini empat sudah meninggalkan kita, tinggal Ibu Mega, ya, kan?

Ibu Mega ada salah paham dengan banyak presiden setelahnya, dengan Pak SBY, karena Pak SBY dianggap mencalonkan diri tanpa izin dan sebagainya. Lalu kemudian, sedikit tadinya ada masalah antara Pak SBY dengan Pak Jokowi juga, tapi alhamdulillah ini sudah clear begitu, ya.

Lalu kemudian antara Ibu Mega sekarang dengan Pak Jokowi, ada sedikit masalah. Tapi lagi-lagi, ini adalah karena kita tidak mendesain sistem perpolitikan yang menjamin agar soal-soal pribadi itu tidak ada. Misalnya soal pencalonan presiden, tidak boleh lagi pencalonan presiden itu dianggap privilege pencalonan presiden itu adalah hak, sebab dalam negara demokrasi dipilih dan memilih itu adalah hak.

Jadi jangan kemudian ada orang karena dicalonkan dia bilang, ah nggak tahu berterima kasih, nggak bisa begitu, karena sistemnya itu tidak mengatakan itu. Sistem mengatakan yang namanya dipilih dan memilih itu adalah hak setiap warga negara. Jadi nah yang begini-begini itu nanti mesti kita letakkan itu sehingga kita mulai dari apa yang dilakukan Pak Prabowo.

Saya kira tidak ada orang lain yang bisa berbuat itu, karena dia lah yang menjadi presiden, dia lah yang diberi mandat oleh rakyat Indonesia 96,2 juta lebih rakyat Indonesia memilih Pak Prabowo tentu dengan wibawa itu, beliau akan sukses mengajak, memohon kepada semua elite, ya, tidak saja mantan presiden sebenarnya, tapi yang lain-lainnya.

Ayo sekarang kita bersatu, dunia tidak sedang baik-baik saja dan karena itulah, bagaimana cara kita mengikat persatuan kita ini agar di bawah itu nanti juga kalau ada kompetisi, kompetisinya itu bermutu gitu tidak seperti yang kita lihat kadang-kadang kompetisinya itu keluar dari nalar, keluar dari logika tapi masuk ke soal-soal emosional dan primordial gitu lah.

Kira-kira, Bang Fahri, presidential klub ini sebenarnya bentuk dan fungsinya kira-kira yang bagus gimana sih? Ngapain gitu, setelah ngumpul-ngumpul ngapain gitu? Apakah seperti di Amerika Serikat nanti presiden yang berkuasa itu kemudian memutus untuk urusan A, urusan B atau gimana, ya?

Kalau dalam negara parlementer, karena kita ini demokrasi presidensial dalam negara parlementer, kepala pemerintahan itu dijabat oleh perdana menteri kalau dalam negara, kemudian kepala negara itu dijabat oleh raja atau seseorang yang dipilih secara khusus biasanya secara bergiliran mewakili etnisitas dan lain-lainnya untuk menjadi kepala negara jadi ada kepala pemerintahan dan kepala negara katakanlah negara kita yang terdekat yang sistemnya parlementer, Malaysia dan Singapura.

Di Malaysia perdana menterinya dipilih oleh parlemen yang dipilih oleh rakyat lalu mayoritas yang menang jadi perdana menteri seperti Pak Anwar Ibrahim sekarang, kepala negaranya dipilih dari pergiliran sultan-sultan yang ada. Di Singapura itu dipilih dari etnis yang berbeda sekali Melayu, sekali India, sekali China. Nah di negara lain juga demikian jadi ada pembedaan antara kepala negara dan kepala pemerintahan.

Nah, di negara kita ini, kepala negara dan kepala pemerintahan itu digabung. Jadi Pak Prabowo nanti adalah kepala pemerintahan yang memimpin kabinet, tapi juga adalah kepala negara yang memimpin keseluruhan negara ini, dalam tugas dia menjalankan pemerintahan dia dibantu oleh kabinet dan pemimpin lembaga-lembaga negara. Tapi sebagai kepala negara, beliau bisa dibantu oleh sebanyak mungkin orang yang merupakan simbol dari elemen-elemen negarawan raja-raja daerah, mantan presiden kita, tokoh-tokoh senior seluruh sumber daya ini beliau bisa pakai untuk menyatukan bangsa dan menjalankan misi-misi baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Ada krisis di mana Indonesia bisa mengirim salah seorang mantan presidennya mewakili presiden yang ada sekarang untuk misi kemanusiaan. Kita bisa mengirim orang seperti Ibu Mega ke negara-negara seperti Korea, China Atau Pak Jokowi ke negara Eropa, negara Amerika, atau Pak SBY ke Timur Tengah mungkin. Dan lain-lainnya itu bisa kita lakukan, itu halal yang bisa kita lakukan.

Bang Fahri, kalau melihat konfigurasi politik ke depan pascapilpres ini, mengapa Partai Gelora sepertinya keberatan kalau orang-orang atau partai yang dulunya berada di luar Koalisi Indonesia Maju ini Ikut bergabung di dalam koalisi pemerintahan. Padahal Pak Prabowo menginginkan semua kekuatan masuk. Bagaimana itu menjelaskannya?

Jadi perlu kita pisahkan antara sikap batin dari Pak Prabowo sebagai tokoh pemersatu, bahwa beliau ingin semua pihak tidak terdiskriminasi dalam kepemimpinan beliau dan semua orang positif kepada pemerintahan beliau, kemudian semua orang adalah sahabat, menjadi sahabat dalam pengelolaan negara itu satu soal.

Tapi di sisi lain juga kita tadi itu perlu membangun tradisi kepemiluan yang benar dalam sistem presidensialisme kita ini. Bahwa di dalam Pilpres, itu harusnya antara kandidat yang satu dengan kandidat yang lain Itu harus ada posisi sebab ini kita bukan arisan, kalau arisan itu bergiliran, gak ada ongkosnya malah dapat duit itu.

Tapi ini adalah kompetisi, pertarungan bahkan pertarungannya itu setara dengan perang di zaman dahulu yang berdarah-darah. Kenapa kita bertarung? Karena kita ada perbedaan dan perbedaan itu absah dan ini yang kita organisir dalam pilpres, ya, terutama, ya, maka pilpres itu harus mengandung beberapa layer perbedaan dan mudah-mudahan itu harus dihargai karena memang rakyat kita itu berbeda, rakyat kita itu gak bisa disamakan gitu kita gak bisa misalnya kembali ke sistem kerajaan.

Tidak diterima oleh konstitusi kita atau sistem satu partai gak usah ada perbedaan lah kita satu partai gitu, ya. Nanti kita bikin partai dipimpin oleh Pak Prabowo yang subtitusi saja lah, gak bisa ini sistem partainya banyak kandidatnya juga sebenarnya harus banyak. Kalau saya membaca konstitusi, kandidatnya harus banyak threshold tidak ada karena itulah ada akomodasi terhadap perbedaan muncul lah, katakanlah kemarin karena memakai threshold 20 persen muncul lah perbedaan satu, dua, tiga, Mas Anies dan Pak Mohamad, Pak Prabowo dan Mas Gibran, Mas Ganjar dan Pak Mahfud tiga ini harusnya kan ada bedanya paling tidak pada tiga level perbedaan satu, perbedaan ideologi dasar berpikir.

Harusnya ada antitesis yang keluar bahwa kita ini berbeda dalam hal misalnya pilihan ideologi ekonomi. Katakanlah, misalnya kalau Mas Anies mengatakan, saya akan mengembangkan ekonomi neoliberal, soal saya percaya kepada kapitalisme, saya menentang teori-teori ekonomi kerakyatan yang sosialistik, karena itu pada akhirnya akan digunakan oleh negara untuk melakukan korupsi, itu bisa itu.

Jadi bagian dari perdebatan dan harusnya begitu kita bertengkar baru yang kedua perbedaannya adalah perbedaan cara kerja perbedaan janji kepada rakyat. Saya kalau menjadi presiden Indonesia dan sudah ada itu kan saya akan menolak perpindahan ibu kota, saya akan hentikan itu seluruh infrastruktur. Saya akan hentikan itu hilirisasi, saya akan jual saja mineral ini, yang penting harganya baik dan ini uangnya lebih cepat daripada hilirisasi. Itu perbedaan enak kan? Ini kan ada cara berpikir yang berbeda.

Barulah yang ketiga itu ada perbedaan orang antara Mas Anies Pak Prabowo dengan Pak Ganjar. Itu memang beda dan orang-orang punya preferensi. Ada yang senang kepada pribadi seperti Mas Anies, ada yang senang kepada Pak Prabowo. Ada yang senang kepada Pak Ganjar.

Dan tiga ini harusnya dihargai sebagai perbedaan. Sehingga kalau ada perbedaan itu artinya apa? Rakyat maunya kamu yang sudah dipilih dan tetapi kalah tetaplah menjadi simbol dari keinginan rakyat yang berbeda itu. Sebab di dalam penjalankan pemerintahan juga harus ada yang berbeda karena kalau nggak ada yang berbeda semua gabung, ya, itu saya bilang bikin saja partai tunggal, Pak Prabowo ketua umumnya, semua gabung saja.

Ternyata nggak ada bedanya begitu saja dong kita jadi partai komunis kayak di China dengan sistem satu partai. Nah, yang gini-gini ini harus kita hargai, sebab dalam jaga banyak kalau akomodasi terhadap perbedaan rakyat yang ada di pikiran rakyat tidak kita lakukan suaru hari itu bisa jadi ledakan. Karena yang namanya aspirasi, nggak bisa diseratakan. Kita di keluarga saja punya anak beda-beda. Coba kalau kita sama ratakan anak-anak kita, bisa marah dia, Dia punya karakter, dia punya cara yang berbeda.

Jadi di luar KIM, bagusnya ada partai politik yang berada di luar pemerintahan?

Bagi yang betul-betul memahami ini, seharusnya mereka membangun tradisi berpikir yang dikehendaki oleh rakyat, bahwa pemerintahan yang terpilih ini harus ada antitesisnya. Karena itulah kemudian harus dikembangkan dapur-dapur berpikir yang menjadi alternatif dari gagasan yang diajukan oleh pemerintahan terpilih itu yang kita kehendaki dari partai-partai yang sebenarnya tidak menjadi bagian dari pendukung Pak Prabowo.

Jadi itulah alasan mengapa Partai Gelora keberatan PKS ikut-ikutan?

Ya, gini juga, mas. Kita ini struggle dengan tradisi berapa sebenarnya jumlah partai politik ideal di Indonesia. Kita pernah mengalami sistem demokrasi liberal tahun 50-an, ada partai politik ada kandidat individu kandidat calon non-partai lalu kemudian orde baru menyenderhanakan kita secara paksa terjadi fusi sesuai dengan aliran yang dianggap pada waktu itu.

Ada orang santri, ada priayi, ada abangan, yang abangan ke merah, yang santri ke hijau, yang abangan yang priayi ke tengah, ke golkar, ke kuning. Tiba-tiba kemarin pilpres juga ada tiga, coba kita pikirkan, apakah benar ini adalah pembedaan yang harus diperkuat dalam pengertian bahwa jangan-jangan ini adalah alternatif yang serius seperti orang Amerika menemukan dirinya, oh, banyak partai tapi mainstream perbedaan ini adalah kaum republik dan kaum demokrat yang konservatif dengan yang liberal.

Di negara-negara Eropa, karena kepentingan, oh, ini ada aliran kaum buruh, ini ada aliran kaum borjuis, ini ada aliran kaum kapitalis, ini ada aliran macam-macam sosialistik dan sebagainya.

Mungkin perbedaan ini harus dihargai sebagai realitas yang ada di dalam tubuh rakyat, kita sebenarnya kepentingannya menghargai pilihan rakyat dan menghargai kenapa kemarin kita beda, karena sekaligus juga menurut saya cara kita berbeda. Ini harus diperbaiki.

Karena kemarin itu terus terang saja, saya termasuk yang berkepentingan, kalau bisa terutama PKS dan PDIP sebaiknya mengembangkan gagasannya. Misalnya PKS, karena saya pernah di PKS, mengapa tidak mengembangkan gagasan tentang Islam yang agak kental gitu. Lalu kemudian mengajukan alternatif-alternatif Ideologi Islam dalam menjalankan pemerintahan. Jangan-jangan memang bisa kuat, lalu kemudian itu jadi alternatif pemikiran, kalau kita setia dengan pikiran itu. Jangan-jangan pendukungnya banyak. Ini sekaligus juga untuk mengabsorsi sebagian dari masyarakat kita yang mungkin berpandangan seperti itu. Tapi dengan diorganisir kita lalu berdebat nanti berdebat dengan kita apa betul ini seperti itu. Apakah itu valid di abad sekarang.

Di sebelah kiri ada teman-teman dari PDIP yang mengambil gagasan Soekarnois sebagai jalan dari politiknya yang mengkritik, misalnya kebijakan pemerintahan Pak Prabowo dan kawan-kawan. Jangan-jangan Pak Prabowo dan kawan-kawan ini dianggap Neo Orde Baru, misalnya bisa saja, tapi ini menyebabkan kita bertarungnya enak.

Ada pertarungan gagasan. Kalau tidak pertarungan gagasan, yang saya khawatir nanti pertarungannya itu kepada hal-hal yang non gagasan, suka atau tidak suka. Ini soal loyal atau tidak loyal. Ini soal berkiagat atau tidak repot kita. Kalau masuk kepada perdebatan seperti itu tidak ada logikanya, tidak ada rasionalitasnya. Kita harus membangun medium pertarungan yang rasional.

Bang Fahri, sebagai bagian dari KIM, mengikuti perkembangan bagaimana Pak Prabowo menyusun kabinet yang akan datang. Apa yang bisa Pak Pak Fahri ceritakan mengenai apa yang akan terjadi dalam kabinet ke depan ini?

Pertama-tama, sekali lagi kita harus kembalikan negara kita ke dalam sistem demokrasi presidensial. Harus kita balik ke demokrasi presidensial bahwa dalam demokrasi presidensial itu seorang presiden terpilih itu dipilih oleh rakyat langsung. Dan final jadi sudah terpilih, kalau dalam demokrasi parlementer rakyat tidak ikut, yang memilih eksekutif itu adalah parlemen.

Kalau dalam demokrasi presidensial, presiden dipilih oleh rakyat oposisinya juga dipilih oleh rakyat yaitu kongresnya karena rakyat itu sudah membentuk eksekutif sudah selesai. Jangan nego Pak Prabowo itu sudah utuh sebagai presiden Pak Prabowo dan Mas Gibran itu sebagai pasangan presiden dan wajah presiden dipilih rakyat sudah utuh, sudah selesai. Tidak perlu nego.

Kalau dalam sistem parlemen, nego dulu. Saya kasih kamu sekian, kalau tidak, saya kasih kamu sekian, kemudian pemerintahanmu jatuh kamu tidak jadi mayoritas, aku pindah ke sebelah, kamu di oposisi ini yang jadi pemerintahan itu sudah selesai di presidensialisme sudah selesai. Jangan nego dengan Pak Prabowo soal itu. Dalam sistem presidensialisme kemudian dikenal prerogatif, karena presiden sudah dibentuk oleh rakyat.

Namanya presidensialisme, maka seluruh perkakas kekuasaannya itu dalam eksekutif dibentuk dan diserahkan sepenuhnya kepada presiden sebagai prerogatif. Nah disitu juga yang kedua yang saya ingin katakan jangan nego terhadap posisi dalam kami kalau Pak Prabowo meminta partai politik serahkan kader-kadermu yang terbaik, serahkan. Tapi hak guna, hak pakai adalah pada presiden karena presiden itu.

Memakai kutipan dari Thomas Jefferson, mengapa sistem ini disebut presidensialisme, karena kalau ada masalah dalam tubuh pemerintahan, yang kita salahkan cuma presiden. Jadi presiden itu nggak boleh disandera. Nah, inilah kelebihan, mudah-mudahan Pak Prabowo dibandingkan dengan presiden sebelumnya, dia gak boleh disandera. Pak Prabowo lah yang punya hak untuk memilih siapa yang terbaik, dia mau pakai siapa untuk menilai untuk membahas, itu hak presiden.

Karena itulah partai kita-kita yang termasuk pendukung Pak Prabowo, bilang serahkan orang-orang yang terbaik yang bisa menjadi menterinya, serahkan saja, nanti presiden yang akan memilih. Beliau punya perkakas yang lengkap untuk memilih orang-orang itu.

Tapi realitas politik yang kita lihat kan tidak begitu. Misalkan Golkar dikatakan minta jatah lima, si ini minta jatah sekian lah Partai Demokrat itu, memang dalam kenyataan seperti itu?

Karena nggak ada aturannya, Mas. Misalnya gini, saya tanya, partai manakah yang berjuang paling hebat buat Pak Prabowo. Pasti Partai Gerindra, iya kan. Mengapa Partai Gerindra yang paling hebat, karena partainya Pak Prabowo.

Saking hebatnya berjuang, jumlah kursinya bukan yang terbesar. Padahal jumlah pemilih Pak Prabowo hampir 60 persen. Jumlah pemilih Partai Gerindra lebih kurang mungkin 15 persen. Kok jaraknya jauh, kenapa ada partai lain yang lebih besar dari pada Partai Gerindra. Pertanyaannya, partai mana yang berjuang lebih berat buat Pak Prabowo.

Karena itulah kemudian kita berbicara hak itu tidak bisa berbasis kepada presentasi dari jumlah kursi di legislatif, tidak bisa. Kenapa? Karena pada dasarnya itu tidak menunjukkan sesuatu yang secara real terjadi dalam perjuangan ini.

Apalagi kalau dalam sistem nanti, tidak ada lagi yang namanya tiket Karena kita kembali ke threshold 0 persen misalnya, karena itulah lagi-lagi Kembalikan itu kepada presiden, presiden lah yang punya hak prerogatif termasuk juga yang ketiga yang kadang-kadang keliru kita pahami. Oh kan jumlah kursi itu menandakan kekuatan di parlemen itu menentukan apakah programnya Presiden bisa jalan atau tidak tidak dalam sistem presidensialisme.

Tidak ada koalisi antara presiden dengan parlemen dalam presidensialisme hukumnya haram, kenapa? Karena ini bukan sistem parlementer dalam sistem parlementer antara eksekutif dan parlement berkoalisi berkongsi privilegenya adalah parlement bisa menjatuhkan peran menteri.

Dalam sistem presidensial jungkir balik parlemen tidak bisa menjatuhkan presiden. Soal nanti misalnya parlemen keras kepada menteri bagus buat presiden karena kalau parlementnya keras kepada menteri akan kelihatan Ini menterinya yang jago sama yang tidak jago. Jadi presiden akhirnya bisa melihat parlementnya keras kepada menteri tapi menteri saya bisa jawab mantap melakukannya.

Itu berarti dia menteri yang bagus, tapi parlemen tidak bisa mendekati, presiden tidak bisa menjatuhkan. Tahapannya berat, mas. Diduga ada pelakukan pelanggaran hukum atau article of impeachment namanya. Mesti hak bertanya dulu, betul nggak presiden melakukan ABCD betuk bertanya, naik kepada interpelasi ditanyakan melalui paripurna terjawab, betul tidak bisa menjawab presidennya, katakanlah begitu naik ke hak angket diinvestigasi, ketemu, betul beradu hak menyatakan pendapat.

Ini semua memerlukan paripurna dan persetujuan dewan secara kolektif, belum tentu bisa sampai, barulah bisa dikirim ke MK, lalu MK bersidang. MK memutuskan presiden bersalah pun harus balik ke MPR. Di MPR ketemu DPD, belum tentu juga DPD setuju. Jadi presiden itu terlalu kuat, nggak bisa dijatuhkan. Tapi kalau menteri diganggu oleh parlemen, itu bagus, di situ menunjukkan menteri itu kuat atau tidak. Apalagi sebagian dari menteri itu kader partai, kan dia harus konsolidasi sama partainya, supaya dia didukung, supaya namanya baik di depan presiden. Supaya partai ini namanya baik di depan rakyat. Supaya kader partai ini dilihat oleh rakyat memang jago ini harusnya bedanya sehingga tidak perlu ada kekhawatiran presiden tentang partai politik sehingga utuhlah prerogatif itu.

Sebab, terus terang, mas, kita harus mulai dari yang benar, kita harus mulai dari awal, tidak boleh kita biarkan presiden kita yang merupakan sistem presidensial ini diganggu oleh siapa pun, baik dari depan maupun dari belakang. Itu tidak boleh kita biarkan. Supaya rakyat melihat bahwa kepemimpinannya real, gitu.

Apakah jalan pikiran seperti ini bisa diterima dalam Koalisi Indonesia Maju, atau sebenarnya realitas politiknya belum sampai di sana?

Pertama-tama, kan memang tetap harus kita ngomong ideal dulu, mas. Kalau kita nggak ngomong ideal dulu, terus artinya kan kita mau sama-sama ngerusak keadaan. Kita mesti ngomong dulu, tapi bahwa di tengah jalan ada realitas lain karena dalam partai tertentu yang punya sistem yang berbeda-beda.

Ya, tentu Itu harus kita hadapi. Tapi yang jelas presidensialisme itu meletakkan presiden sebagai prerogatif, tidak boleh ditantang, tidak boleh karena semuanya itu dia dipilih oleh rakyat itu utuh dan final bahwa presiden nanti punya cara berkomunikasi yang lebih lembut, ya, kan akan mendengar semua partai politik bicara satu-satu dengan ketua umum partai.

Itu gaya, yang saya kira ada pada Pak Prabowo. Dan beliau akan mengembangkan cara berkomunikasi seperti itu. Tapi kita harus patuh dulu sebagai sistem bahwa ini namanya presidensialisme bukan parlementer. (tribun network/reynas abdila)

Baca juga: 7 Poin Kekecewaan Megawati Terhadap Jokowi Diungkap Prof Gayus Lumbuun, Seri II

Baca juga: Nasib Jokowi Setelah Prabowo Jadi Presiden, Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Wibowo Seri I

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved