Human Interest Story

Pernikahan Unik, Irwan Beri Mahar 50 Kg Jenis Premium, Menikah Saat Harga Beras Mahal

Irwan memilih memberikan mahar beras premium bukan tanpa alasan. Menurutnya, beras itu adalah hasil dari kerja kerasnya sendiri

Editor: Duanto AS
SURYA/PRAMITA KUSUMANINGRUM
Pasangan pengantin di Ponorogo, Jawa Timur, Irwan Sokib dan Ikrima Zakiyah, melaksanakan pernikahan tepat di hari kabisat, Kamis (29/2/2024). Pernikahan itu dengan mahar 50 Kg beras. 

MUNGKIN ini merupakan pernikahan unik yang pernah terjadi.

Irwan Sokip (29), pengantin lelaki warga Desa Bangunrejo, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, memberikan mahar yang unik. Dia memberi 50 kilogram beras saat menikahi sang kekasih, Ikrima Zakiyah, Kamis (29/2/2024).

Irwan memilih memberikan mahar beras premium bukan tanpa alasan.

Menurutnya, beras itu adalah hasil dari kerja kerasnya sendiri.

"Beras sebanyak 50 kilogram yang saya berikan sebagai mahar itu merupakan hasil saya menanam sendiri," kata Irwan saat ditemui seusai melangsungkan pernikahan.

Irwan juga memberikan mahar 50 kilogram beras lantaran harga beras di pasaran saat ini masih mahal.

Beras kini menjadi barang yang bernilai dan sangat dicari.

Pemberian mahar beras itu disebut telah melalui persetujuan mempelai perempuan dan keluarganya.

"Saya memang berinisiatif menggunakan beras sebagai mahar dan saya makin yakin karena keluarga calon istri saya juga menyetujui dengan apa yang akan saya berikan," ujar Irwan.

Tahun Kabisat

Petugas Kantor Urusan Agama (KUA) Sawoo yang menjadi penghulu pernikahan Meky Hasan Tachrudi membenarkan soal pengantin pria yang memberikan mahar berupa 50 kilogram beras.

"Beras itu kan sangat bermanfaat, apalagi sampai 50 kilogram, dulu dalam sejarahnya cincin dari besi bisa menjadi mahar bukan perak atau emas, kalau besi diperkenankan apalagi beras yang sangat bermanfaat," kata Meky.

Dia juga menjelaskan bahwa pasangan Irwan dan Ikrima menikah di tahun yang spesial, yaitu tahun kabisat.

"Bertepatan di tahun kabisat yaitu 29 Februari 2024, karena momen kabisat hanya bisa dirayakan empat tahun sekali," ungkap dia.

Tanggal 29 Februari menjadi hari yang langka karena hanya berulang empat tahun sekali.

Tahun 2024 yang merupakan tahun kabisat, artinya ada pembulatan durasi putaran bumi mengelilingi matahari.

Tahun kabisat adalah tahun yang habis dibagi empat dan habis dibagi 400.

Sebenarnya, bumi membutuhkan waktu sekitar 365 1/4 hari untuk menyelesaikan satu rotasi. Setelah empat tahun, sisa jam tersebut menjadi satu hari penuh.

Satu hari ekstra itu ditambahkan pada bulan Februari, hingga menjadi 29 hari.

Dengan demikian, tahun kabisat membantu menjaga kalender 12 bulan tetap selaras dengan pergerakan bumi mengelilingi matahari.

Apa yang terjadi jika tidak ada tahun kabisat?

Gagasan mengatasi ketertinggalan tahunan itu sudah ada sejak zaman Romawi kuno, ketika masyarakat mempunyai kalender dengan 355 hari yang didasarkan pada siklus dan fase bulan.

Mereka memperhatikan bahwa kalender mereka tidak sinkron dengan musim.

Jadi, mereka mulai menambahkan satu bulan tambahan, yang mereka sebut Mercedonius, setiap dua tahun untuk mengejar hari-hari yang hilang.

Pada 45 SM, Kaisar Romawi Julius Caesar memperkenalkan kalender matahari berdasarkan kalender yang dikembangkan di Mesir.

Setiap empat tahun sekali, bulan Februari mendapat satu hari tambahan agar kalender tetap sejalan dengan perjalanan bumi mengelilingi matahari.

Untuk menghormati Kaisar, sistem ini masih dikenal sebagai kalender Julian.

Seiring berjalannya waktu, orang-orang menyadari bahwa perjalanan bumi tidaklah tepat 365,25 hari, tetapi 365,24219 hari, dengan sekitar 11 menit lebih sedikit.

Jadi, menambahkan satu hari penuh setiap empat tahun sebenarnya merupakan koreksi yang lebih banyak dari yang dibutuhkan.

Pada 1582, Paus Gregorius XIII menandatangani perintah yang melakukan sedikit penyesuaian.

Masih akan ada tahun kabisat setiap empat tahun, kecuali pada tahun "abad", yakni tahun yang habis dibagi 100, seperti tahun 1700 atau 2100, kecuali tahun tersebut juga habis dibagi 400.

Kemudian, penyesuaian ini membuat kalender menjadi lebih akurat, dan sejak saat itu, kalender ini dikenal sebagai kalender Gregorian.

Dengan demikian, jika kalender tidak melakukan koreksi kecil setiap empat tahun, secara bertahap, kalender akan menjadi tidak selaras dengan musim.

Selama berabad-abad, hal ini dapat menyebabkan titik balik matahari dan ekuinoks terjadi pada waktu yang berbeda dari perkiraan.

Cuaca musim dingin mungkin sesuai dengan kalender yang menunjukkan musim panas, dan petani mungkin bingung kapan harus menanam benih. (surya/pramita kusumaningrum)

Baca juga: Dari Kebun Nanas s/d Candi Ribuan Tahun, Poadcast Pj Bupati Muarojambi Bachyuni Deliansyah Seri I

Baca juga: Ada Sandal Cewek Tapi Pintu Ditutup, Prostitusi Berkedok Warung Soto di Klaten

 

Sumber: Surya
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved