Pilpres 2024

6 Tuntutan Pegiat Hukum ke Jokowi untuk Cabut Pernyataan Presiden Boleh Memihak dan Kampanye

Pegegiat hukum sampaikan 6 tuntutan agar Presiden Jokowi mencabut pernyataan yang menyebutkan kepala negara boleh memihak dan berkampanye di Pilpres

Penulis: Darwin Sijabat | Editor: Darwin Sijabat
Kompas.com/Ist/Kolase Tribun Jambi
Pegegiat hukum sampaikan enam tuntutan agar Presiden Jokowi mencabut pernyataan yang menyebutkan kepala negara boleh memihak dan berkampanye di Pilpres 2024. 

TRIBUNJAMBI.COM - Pegegiat hukum sampaikan enam tuntutan agar Presiden Jokowi mencabut pernyataan yang menyebutkan kepala negara boleh memihak dan berkampanye di Pilpres 2024.

Tuntutan tersebut disampaikan para Pembelajar dan Pegiat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS).

Mereka menilai bahwa pernyataan presiden itu tidak tepat dan tidak sesuai aturan hukum yang berlaku di Indonesia.

Bahkan pernyataan Presiden Jokowi itu bertentangan dengan pernyataan-pernyataan presiden sebelumnya.

Sebab sebelumnya Presiden Jokowi menyatakan bahwa akan netral dan meminta seluruh jajarannya netral.

Seperti diketahui, putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.

Hal itu disampaikan perwakilan CALS sekaligus Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti.

Baca juga: Presiden Jokowi Didesak Cabut Pernyataan Kepala Negara Boleh Memihak dan Kampanye, Ini Aturannya

Baca juga: Prabowo Gibran Ditantang Mundur dari Jabatannya Mengikuti Mahfud MD yang Mundur dari Menko Polhukam

Baca juga: Jadwal Acara RCTI Hari ini Kamis 25 Januari 2024: Cinta Tanpa Karena dan Jangan Bercerai Bunda

"Perubahan sikap ini membuktikan dengan semakin jelas betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilihan umum. Tak mudah bagi Jokowi untuk netral ketika anaknya berlaga dalam pemilihan presiden," kata Bivitri, dalam keterangannya, pada Rabu (24/1/2024).

Dia menegaskan, harus disadari seluruh pejabat negara melanggar prinsip keadilan dalam pemilu kita berasaskan Langsung Umum Bebas Rahasia, Jujur, dan Adil, (Luber dan Jurdil) bila aktif berkampanye.

Hal itu sebagaimana diamanatkan Pasal 22E UUD 1945.

Sebab, ia mengatakan, pejabat negara (presiden, menteri, kepala-kepala daerah), akan bisa mempengaruhi keadilan Pemilu melalui dua hal.

Yaitu fasilitas, seperti kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi serta protokoler pejabat serta pengaruh sebagai pemegang kekuasaan akan memengaruhi netralitas birokrasi dan mengarahkan pemilih.

Bivitri menilai, keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

"Perlu dibedakan antara 'berpolitik' dan 'berkampanye'. Presiden berhak berpolitik, tetapi ia tidak diperbolehkan untuk berkampanye," ungkapnya.

Baca juga: Jokowi Menuai Kritik Soal Pernyataan Presiden Boleh Kampanye

Menurutnya, perdebatan bisa dilakukan terhadap bunyi norma pasal-pasal dalam pemilu. Namun, UU Pemilu harus pertama-tama diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945, yaitu Luber Jurdil dengan penekanan pada aspek keadilan.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved