Karhutla Jambi

Walhi Jambi: Kekeringan di Lahan Gambut Ulah Perusahaan

Walhi Jambi menyorot tindakan dari perusahaan yang membuat kanal raksasa. Contohnya di areal Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) Sunga Batanghari-Kumpeh

Penulis: Suang Sitanggang | Editor: Suang Sitanggang
Tribunjambi.com/Muzakkir
Lahan yang berada di Desa Talang Duku, Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi, terbakar pada 9 Agustus 2023. 

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mulai terjadi di Provinsi Jambi. Pada 9 Agustus 2023, telah melalap lahan gambut di Desa Talang Duku, Muarojambi.

Dwinanto, Manager Kajian dan Pembelaan Hukum Walhi Jambi mengungkapkan, potensi karhutla di hari yang akan datang masih sangat besar.

Menurutnya, dalam kasus karhutla, pemerintah hanya melihat dari aspek adanya pelaku pembakaran. Padahal, aspek yang lebih penting dari karhutla ini adalah tata kelola gambut.

Soal tata kelola ini, Walhi Jambi menyorot tindakan dari perusahaan yang membuat kanal raksasa. Contohnya di areal Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) Sunga Batanghari-Kumpeh.

Sejumlah Kanal yang dibuat oleh perusahaan ini, kata Dwi, telah membuat kekeringan di wilayah sekitarnya pada musim kemarau. 

"Dalam investigasi kami, ada yang hingga kedalaman 10 meter pun tidak juga ketemu air. Itu akibat pembangunan kanal oleh perusahaan. Kekeringan di lahan gambut ulah perusahaan," kata Dwinanto, dalam konfrensi pers yang diadakan di Kota Jambi, Jumat (18/8/2023).

Walhi Jambi menyoroti peristiwa dan potensi karhutla serta tata kelola gambut, dalam refleksi 78 tahun Indonesia merdeka.
Walhi Jambi menyoroti peristiwa dan potensi karhutla serta tata kelola gambut, dalam refleksi 78 tahun Indonesia merdeka. (Tribunjambi/Danang)

Adapun pembuatan kanal ini dilakukan oleh perusahaan untuk mengeringkan lahannya. Tujuan perusahaan, kata Dwi, supaya tanaman yang jadi komoditi perusahaan bisa tumbuh.

Ulah perusahaan itu, ucapnya, telah juga secara langsung membuat lahan masyarakat ikut kering, seperti yang terjadi di Talang Duku dan juga daerah lainnya.

Dalam satu kesatuan hidrologis gambut, tindakan pengeringan di satu titik akan berdampak langsung dengan sekitarnya.

Di PP No 57 Tahun 2017 menyebutkan, tinggi muka air tanah yang lebih dari 40 cm dibawah permukaan gambut akan bisa menyebabkan kerusakan fungsi budidaya. 

"Gambut itu harus basah. Regulasi telah mensyaratkan bahwa dalam kedalaman 40 cm harusnya sudah ditemukan air. Tapi di lapangan, ada yang sampai 10 meter baru ditemukan air. Ini dampak pembangunan kanal oleh perusahaan," ujarnya.

Pada konteks karhutla, kata Dwi, seharusnya pemerintah tidak lagi hanya melihat soal adanya orang yang membakar. 

"Tapi pemerintah saat ini sudah harus melihat, siapa yang melakukan pengeringan ini? Kalau tidak ada pengeringan, maka kebakaran di lahan gambut mudah diatasi," ucapnya.

Di Talang Duku yang jadi lokasi karhutla baru-baru ini, kata Dwi, masuk dalam KHG Sungai Batanghari-Kumpeh. Di sana ada 9 perusahaan yang beroperasi, dan membangun kanal.

"Wilayah KHG itu dikuasai pengelolaannya oleh 8 perusahaan perkebunan sawit dan 1 perusahaan HTI," jelasnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved