Pelabuhan Rakyat Muara Sabak Hilang Tinggal Cerita

Pelabuhan Syahbandar di Muara Sabak, Tanjabtim memliki peran penting dalam transportasi dalam skala lokal hingga internasional.

Penulis: Rifani Halim | Editor: Teguh Suprayitno
Ist
Pelabuhan Syahbandar di Muara Sabak, Tanjabtim memliki peran penting dalam transportasi dalam skala lokal hingga internasional. 

TRIBUNJAMBI.COM, SABAK - Pelabuhan Muara Sabak sudah tak akrab lagi bagi masyarakat. Pada tahun 70 hingga 2000-an pelabuhan Muara Sabak dahulu terletak di depan kantor KSOP Muara Sabak. Kala itu pelabuhan yang disebut pelabuhan Syahbandar yang memliki peran penting dalam transportasi dalam skala lokal hingga internasional, baik orang maupun barang. 

Kejayaan Muara Sabak kala itu, tentulah ditunjang dengan alat transportasi air kapal-kapal hingga pompong yang pasti harus memilik pelabuhan. Karena Muara Sabak kala itu jarang sekali memiliki alat transportasi darat. 

Pemilihan lokasi pelabuhan sangat tepat kalau itu, karena pusat ekonomi perdagangan wilayah sekitar seperti Kampung Laut, Lambur, Dendang dan sejumlah daerah lainnya terpusat di Muara Sabak. Yang kini menjadi pusat kecamatan Muara Sabak Timur, terletak di Kelurahan Muara Sabak Ilir. 

Saat itu, Muara Sabak masih tergabung dalam Kabupaten Tanjung Jabung yang sangat jauh dari pusat kabupaten dan Muara Sabak menjadi pusat perekonomian dan perdagangan yang juga disuport oleh pelabuhan Muara Sabak menjadi tempat transit bagi masyarakat dari Kota Jambi yang ingin ke Kuala Tungkal, Singkep dan beberapa daerah di Kepulauan Riau. 

Pedagang yang hanya mengandalkan jalur air kala itu sangat berkembang, karena permintaan masyarakat sangat tinggi untuk masyarakat yang bermacam-macam suku mulai beranak pinak di Muara Sabak mencari penghidupan. 

Hamid (76) salah satu tetua di Muara Sabak yang bekerja sebagai kuli Panggul barang-barang dari kapal kala itu, menjadi pelaku sejarah di kawasan Melayu kuno tersebut. 

Dia menceritakan, seusai tamat dari Sekolah Rakyat pada sekira berusia 13 tahun, langsung bekerja menjadi "Tukang Pikul" membawa barang-barang dari kapal ke toko-toko yang mesan barang dari kapal Jambi yang membawa berbagai macam barang pecah bela, pakaian, sembako dan lainnya ke pasar Baena Muara Sabak. 

Pelabuhan Syahbandar yang dikenal masyarakat setempat tersebut, kala itu berbahan dari kayu Bulian dengan ukuran yang sangat besar. Tentu kayu-kayu tersebut tidak dapat lagi ditemui pada massa ini. 

"Tiang-tiang pancang pelabuhan semua dari kayu Bulian, tidak ada satupun tiang dari bahan besi dan kapal-kapal harus bergantian untuk menurunkan barang," kata Hamid kepala pekerja panggul di pelabuhan. 

Walau tak berukuran besar, kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan Muara Sabak ini bermuatan yang cukup besar. Kapal motor yang masuk kadang membawa muatan hingga 100 ton,  paling kecil bermuatan 50 ton. 

"Kalau kapal mau bongkar harus mengantri, karena massa itu kapal sangat banyak. Kami kerja siang malam tidak ada libur, kalau jam 2 pagi kapal masuk anak buah panggil sayo untuk bongkar muatan kapal, " cerita Hamid. 

Ia menerangkan, pelabuhan Muara Sabak tidak hanya menjadi tempat pembongkaran barang-barang dari Jambi saja. Namun, pelabuhan ini juga menjadi tempat muat beras ratusan ton milik masyarakat setempat. 

"Sangking banyaknya beras dari Muara Sabak ini yang dikirim ke luar ataupun ke Jambi, presiden RI ke 2 Suharto datang ke Sabak untuk panen raya, " ujarnya. 

Tidak hanya beras, Tauke setempat yang sudah memiliki koneksi dan jaringan keluar daerah, bahkan sampai Singapura memasukkan kapal yang lebih besar lagi untuk membawa karet, rotan dan lainnya sekira pada tahun 70-an.

"Saat itu mungkin pelabuhan kita paling aman tidak ada kriminalitas, kemalingan dan kejahatan lainya karena kehidupan cukup makmur, " sebut pria yang malang melintang di pelabuhan tersebut. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved