Umat Non Muslim Ada yang Terpapar Radikalisme, Bergabung dengan Organisasi Terlarang NII

Ternyata tak hanya umat muslim saja yang rentan terpapar radikalisme. Namun, terdapat kasus kalangan non muslim juga bergabung dengan organisasi

Editor: Fifi Suryani
Tribunjambi/Rifani
Ilustrasi: Polres Sarolangun Apel Siaga Tindakan dan Radikalisme 

TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Ternyata tak hanya umat muslim saja yang rentan terpapar radikalisme. Namun, terdapat kasus kalangan non muslim juga bergabung dengan organisasi terlarang Negara Islam Indonesia (NII).

Hal tersebut diungkap oleh Pendiri NII Center, Ken Setiawan. Awalnya, Ken bercerita dirinya memang kerap membuka posko pengaduan bagi masyarakat yang keluarganya terpapar radikalisme. Dari sekian banyak laporan, ternyata ada orang tua korban yang beragama non muslim juga mengalami hal serupa. Dia mengadu sembari menangis karena putrinya ternyata telah bergabung dengan NII.

"Kami banyak mendapatkan laporan dari masyarakat dan ternyata laporannya bukan hanya muslim saja. Minggu ini kami mendapatkan laporan bahkan yang non muslim bergabung dan orang tuanya sampai histeris karena tidak dipercaya kalau putrinya tiba tiba sudah bergabung di kelompok NII," kata Ken di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (20/6).

Namun, dia tak menjelaskan secara rinci kronologis perihal anak tersebut bisa bergabung dengan NII. Dia hanya menjelaskan bahwa NII memang kerap menyebarkan paham ideologinya di Indonesia.

Dijelaskan Ken, salah satu jaringan NII merupakan Khilafatul Muslimin yang belakangan ramai karena konvoi kebangkitan khilafah. "Pada dasarnya memang yang kami dapatkan semuanya latar belakangnya dari NII. Karena doktrinya mereka pada dasarnya akar batang buah, iman hijrah jihad mereka katakan masuklah ke dalam Islam secara kafah. Jadi orang Islam harus tinggal di negara Islam menggunakan hukum Islam," ungkap dia.

Karena itu, kata Ken, pihaknya turut aktif untuk melakukan proses rehabilitasi bagi anak yang terpapar radikalisme NII. Caranya dengan kembali menanamkan kembali konsep ideologi pancasila bagi para korban.

"Kami investigasi sejauh mana jaringan dia semasih dalam kelompok tersebut dia masih baru atau yang lama. Ini untuk menentukan bagaimana pola nanti rehabilitasi. Karena kami sedikit kewalahan karena cukup banyak angka yang bergabung (NII)," jelas dia.

"Kita dapatkan datanya ini mohon maaf sudah menggunakan senjata api dan mereka legal bergabung kepada organisasi Perbakin. Nah ini juga menurut saya menjadi evaluasi agar penerimaan anggota-anggota nanti bisa dicegah," sambungnya.

Ken Setiawan juga mengungkap bahwa paham radikalisme yang mengatasnamakan khilafahisme belum bisa ditindak. Pasalnya, belum ada regulasi yang mengatur untuk menindak penyebar paham tersebut.

Ken meminta agar negara segera membuat regulasi yang bisa menindak seluruh paham yang dianggap bertentangan dengan ideologi pancasila. Mereka semua harus bisa dihukum secara pidana.

"Paham yang faktual hari ini radikalisme yang mengatasnamakan agama khilafahisme ini belum bisa ditindak, maka kami merasa urgensi penting sekali ada sebuah regulasi yang bisa menindak semua paham yang bertentangan dengan ideologi Pancasila dengan hukum pidana," kata Ken.

Dijelaskan Ken, hal tersebut menjadi tantangan bagi negara untuk segera membuat regulasi yang lebih jelas. Dengan begitu, aparat penegak hukum tidak dilematis menindak masyarakat yang dinilai menyebar paham bertentangan pancasila."Ini juga menjadi dilematis pada masyarakat karena memang dianggap aparat dan pemerintah tidak bergerak. Padahal memang faktanya belum ada regulasi yang bisa menindak. Makanya kami juga berharap kepada negara agar hadir juga," ungkap dia.

Menurutnya, para pelaku penyebar paham ideologi yang bertentangan pancasila itu selalu berlindung di balik kebebasan berpendapat. Karena itu, pengaturan regulasi nantinya dapat menjadi dasar penindakan bagi aparat. "Karena kalau tidak mereka selalu bicara atas kebebasan berpendapat, berbicara demokrasi. Kita bisa melihat tapi tidak bisa bertindak. Kalau cuma dimonitor mungkin suatu saat dia dari intoleran merasa paling benar yang lain salah menjadi radikal bergabung berbaiat ngerekrut yang selangkah lagi mereka bisa berpotensi menjadi terorisme. Itu hal yang tentunya tidak kita inginkan bersama karena ini menjadi tantangan kita bersama," pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhammad Syauqillah berbicara soal islamophobia yang dinilai terjadi di Indonesia. Dia membantah anggapan tersebut. Menurut Syauqillah, anggapan Islamophobia yang disebut terjadi di Indonesia dinilai tidak relevan. Apalagi, mayoritas agama di tanah air merupakan umat muslim.

Halaman
12
Sumber: Tribunnews
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved