Bom Waktu Kredit Macet, Imbas Kenaikan Suku Bunga The Fed. Bankir Mulai Lakukan Kajian

The Federal Reserve (The Fed) mengumumkan kenaikan suku bunga terbesar dalam 28 tahun terakhir. Bank Sentral AS atau The Fed menaikkan

Editor: Fifi Suryani
KONTAN/BAIHAKI
Ilustrasi bunga bank 

TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - The Federal Reserve (The Fed) mengumumkan kenaikan suku bunga terbesar dalam 28 tahun terakhir. Bank Sentral AS atau The Fed menaikkan suku bunga dari 0,75 persen menjadi 1,75 persen pada Rabu(15/6).

Langkah tersebut dilakukan demi menekan harga barang yang terus meroket. Kenaikan suku bunga bank sentral AS ini tentu akan memberikan dampak berat bagi ekonomi Indonesia.

"Peningkatan 75 basis poin hari ini adalah peningkatan yang luar biasa besar, imbas dari kenaikan inflasi," kata Jerome Powell, Kepala The Fed.

Pengamat Ekonomi Rahma Gafmi melihat saat ini ketakutan akan hard landing meningkat di AS. Bank Dunia telah memangkas perkiraan pertumbuhan global menjadi 2,9 % tahun ini. 

"Tentu ini akan menyakiti semua masyarakat, karena mereka akan kehilangan pekerjaan dan pendapatan," ujar Rahma saat dihubungi, Kamis (16/6).

Rahma meyakini bahwa resesi di Amerika Serikat, Eropa, Kanada, Jepang, dan Amerika Latin tidak dapat dihindari. Tetapi, lanjut dia, resesi juga merupakan peluang untuk membeli aset yang dijual dengan diskon besar-besaran.

"Yang sangat membahayakan untuk kenaikan suku Fed ini pasti berdampak juga pada suku bunga kita. Pastinya ini suka tidak suka BI akan menaikkan juga suku bunga acuannya," kata Rahma.

Rahma menerangkan, kenaikan suku bunga The Fed berdampak kenaikan suku bunga global. Berpotensi membuat beban masyarakat Indonesia meningkat. Bunga kredit rumah (KPR), kredit kendaraan bermotor dan pinjaman modal usaha bakalan naik.

"Kredit macet adalah bom waktu di negara kita saatnya nanti. Tahun ini perekonomian kita sepertinya relatif resilient," tutur Rahma.

Namun, ucap Rahma, pemerintah juga masih punya ruang untuk menahan gejolak. Sehingga pasar saham dan pasar obligasi tidak terlalu bergejolak.

"Yang mengkhawatirkan itu tahun depan dengan berakhirnya SBDK POJK ketika ekonomi global baru mengalami kontraksi yang lebih dalam," imbuh Rahma.

Rahma melihat, Indonesia bermasalah di kredit macet karena pemerintah masih melihat bank bank yang membukukan profitnya jadi masih dianggap aman. "Padahal di balik itu, ampun deh Non Performing Loan (NPL) nya. Kita lihat saja Maret tahun depan dimana POJK berakhir," kata Rahma.

Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad mengatakan, kenaikan suku bunga The Fed cenderung akan diikuti kenaikan suku bunga kredit perbankan nasional. "Tapi saya melihat saat ini Bank Indonesia tidak perlu terburu-buru menaikkan suku bunga acuan," ujar Kamrussamad. Menurutnya, Bank Indonesia saat ini bisa mempertahankan suku bunga acuannya, karena kinerja ekspor yang positif selama 25 bulan berturut-turut mampu mendorong ketahanan eksternal perekonomian Indonesia."Surplus perdagangan saat ini, mampu mendorong surplus pada transaksi berjalan," paparnya.

Namun, Kamrussamad menilai Bank Indonesia(BI) harus memastikan makroprudensial tetap akomodatif dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Sehingga, kata Kamrussamad, dalam kondisi seperti ini Bank Indonesia juga harus terus memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah, dan otoritas kebijakan terkait untuk meningkatkan ketahanan eksternal serta mendukung pemulihan ekonomi nasional

"Sekalipun terpaksa menaikkan suku bunga acuan, Bank Indonesia harus menyertai dengan kebijakan relaksasi. Seperti kebijakan LTV atau Loan to Value, agar pertumbuhan kredit tetap terjaga," ucap politikus partai Gerindra itu.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved