Lawan Covid 19
Indonesia tak Mau Latah, Penetapan Status Endemi Covid-19 Dilakukan Bertahap
Koordinator PPKM Jawa-Bali sekaligus Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap skenario yang akan digunakan pemeri
TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Koordinator PPKM Jawa-Bali sekaligus Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap skenario yang akan digunakan pemerintah dalam menetapkan status dari pandemi ke endemi Covid-19.
Menurut Luhut, meski banyak negara saat ini mulai melakukan pelonggaran terhadap pembatasan sosial, Indonesia tak akan latah mengikuti hal itu.
Penetapan status endemi Covid-19 di Indonesia kata Luhut akan dilakukan bertahap sesuai data indikator kesehatan, ekonomi, hingga sosial budaya.
"Meskipun beberapa negara mulai pelonggaran transisi endemik seperti Inggris, Denmark, Singapura, kita tidak perlu latah atau ikut ikutan negara tersebut," kata dia dalam jumpa pers di YouTube Sekretariat Presiden, Senin (21/2).
Luhut menerangkan, pemerintah telah melakukan diskusi para ahli kesehatan dan epidemiolog terkait rencana penetapan status Covid-19 dari pandemi ke endemi. Berdasarkan diskusi itu, maka ada beberapa hal atau prakondisi yang akan digunakan sebagai indikator penetapan status endemi Covid-19.
Pertama, kata Luhut, penetapan status endemi harus diukur berdasarkan tingkat kekebalan masyarakat yang tinggi, lonjakan kasus yang rendah, hingga kapasitas fasilitas kesehatan yang memadai.
Selain itu, menurut prakondisi tersebut harus terjadi dalam rentan waktu yang lama, stabil, dan konsisten. Meski begitu, indikator tersebut akan terus diperbaharui akan terus disempurnakan menurut pakar dan ahli. "Prakondisi ini harus terjadi dalam rentang waktu panjang dan sudah stabil ataupun konsisten," kata dia.
Secara spesifik Luhut menjabarkan transisi dari pandemi ke endemi harus memenuhi target tingkat vaksinasi dosis dua dan ketiga, terutama kepada lansia. Untuk memenuhi target vaksinasi tersebut, pemerintah pusat akan terus mendorong pemerintah daerah. Dia juga mengimbau masyarakat yang telah mendapat tiket booster vaksin untuk mendatangi sentra-sentra vaksin terdekat.
"Yang sudah punya tiket vaksin ketiga, saya juga minta masyarakat yang sudah dapat tiket vaksin ketiga dapat langsung datang gerai vaksin yang disiapkan," katanya.
Luhut sendiri mengklaim perkembangan kasus Covid-19 masih terkendali. Pasalnya, kasus kematian dan rawat inap masih rendah jika dibandingkan gelombang dua pandemi atau varian Delta. "Meskipun penambahan kasus sudah melebihi trend Delta, kondisi rawat inap dan kematian jauh lebih rendah dibandingkan varian Delta beberapa waktu lalu," kata Luhut.
Ia mengatakan sejumlah provinsi di Jawa-Bali juga sudah mengalami tren penurunan kasus konfirmasi Covid-19 harian. Di antaranya yakni DKI Jakarta, Banten dan Bali. "Tren angka hospitalisasi juga terlihat menurun di DKI Jakarta dan Bali," katanya. Jumlah keterisian rawat inap di rumah sakit seluruh provinsi Jawa dan Bali juga masih jauh di bawah keterisian varian Delta. Oleh karenanya kata Luhut, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menambahkan, yang terjadi saat ini justru ada pergeseran kasus Covid-19 ke luar Jawa-Bali. Kini 28 persen dari total kasus nasional disumbang oleh kasus yang terjadi di luar Jawa-Bali. "Tadinya perbandingannya 97 persen Jawa-Bali, 3 persen di luar Jawa-Bali. Sekarang sudah jadi 72 persen di Jawa-Bali, 28 persen di luar Jawa-Bali," terangnya.
Budi menerangkan, ada 13 provinsi yang sudah melampaui puncak Delta yaitu: Banten, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Papua, Sulut, Lampung, Sulsel, Sumut NTB dan Sumsel. "Itu semua sudah lebih tinggi dari puncak Delta dan 5 di antaranya sudah menunjukan tren yang menurun yaitu DKI Jakarta, Bali, Banten, Maluku dan NTB," jelas mantan dirut Bank Mandiri ini. Sementara, 8 provinsi lain sedang ada di puncak atau dalam perjalanan mencapai puncak sana. "Kami juga sudah melihat karena proporsinya Jawa Bali sudah menurun. Sehingga di luar Jawa Bali naik," jelas dia.
Adapun puncak kematian di masa Omicron diprediksi akan terjadi 15-20 hari setelah lonjakan kasus. Hal ini terjadi berdasarkan perbandingan dengan negara-negara lain. "Biasanya puncak dari yang wafat itu akan terjadi di 15 sampai 20 hari sesudah puncak kasus," katanya.
Budi memaparkan, sebagian besar yang meninggal adalah kategori orang yang belum vaksinasi, vaksinasi baru satu dosis, serta memiliki komorbid. Berdasarkan data yang dimiliki pemerintah, dari 2.484 pasien meninggal sejak Omicron masuk ke Indonesia, 73 persen di antaranya belum melakukan vaksinasi dosis lengkap. Selain itu 53 persen lansia dan 46 persen memiliki penyakit penyerta atau komorbid. "Pasien komorbid tersebut rata-rata meninggal 5 hari sejak masuk ke dalam rumah sakit. Di mana komorbid terbanyak ialah diabetes melitus," ujarnya.