Editorial
Operasi Pasar Langsung ke Masyarakat
Namun, minyak goreng sebagai produk olahan terbanyak dikonsumsi masyarakat harganya justru melambung tinggi.
SEBAGAI penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia sedianya dapat menyediakan produk turunan kelapa sawit yang mencukupi dan harga terjangkau bagi penduduknya.
Namun, minyak goreng sebagai produk olahan terbanyak dikonsumsi masyarakat harganya justru melambung tinggi. Kebijakan pemerintah menyubsidi minyak goreng dengan menggunakan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) merealisasikan harga minyak goreng kemasan di harga Rp14 ribu per liternya.
Kebijakan ini kemudian ditindaklanjuti dengan harga baru minyak curah di harga Rp11.500/liter, Rp13.500 untuk kemasan dan Rp14 ribu untuk yang premium. Harga tersebut berlaku mulai 1 Februari lalu.
Namun di lapangan hingga saat ini belum semua elemen masyarakat mendapatkan harga transaksi sejumlah angka tersebut.
Masyarakat yang terbiasa berbelanja di pasar tradisional masih harus menebus seharga Rp18 ribu perliter atau Rp10 ribu per-500 mililiter.
Di pasar modern dan swalayan ketersediaannya juga terbatas. Hanya hitungan setengah jam stok sejak swalayan itu dibuka, minyak goreng subsidi yang tersedia langsung ludes.
Alhasil, mereka yang berbelanja di atas jam itu tidak mendapatkannya lagi.
Karena minyak goreng merupakan bahan masakan yang vital kepentingannya di dapur masyarakat, mau tak mau pembeli harus mencari ke warung atau pasar tradisional yang masih memberi harga lama.
Dalam konteks sederhana ini, diduga ada pembeli yang memang sengaja mengantre di pagi hari untuk mendapatkan harga subsidi setiap hari.
Baca juga: Sempat Naik, Minggu Ini Harga TBS Kelapa Sawit di Jambi Turun
Dugaan kedua, pihak swalayan hanya menjual dalam jumlah terbatas. Apakah memang ada pembatasan untuk ini, atau ada kemungkinan lain?
‘Dihajar’ oleh harga minyak goreng yang melambung selama berbulan-bulan, diduga konsumen melakukan penimbunan untuk kepentingan pribadi. Mereka menganggap kebijakan harga subsidi ini hanya sementara, dan akan kembali melambung sehingga harus menyimpan stok dalam jumlah banyak.
Akibatnya stok di pasaran tetap terbatas, sehingga pembeli lainnya tetap membeli dengan harga tinggi.
Baca juga: KABAR BAIK, Ini 5 Minyak Goreng Terbaik Pengganti Minyak Goreng Kelapa Sawit
Baca juga: Diserbu Emak-emak, PTPN Group Gelar Operasi Pasar Minyak Goreng di Perumnas Kota Jambi
Operasi Pasar (OP) langsung ke pasar-pasar tradisional atau langsung ke lingkungan domisili warga setidaknya dapat meminimalisir terjadinya penimbunan ini. Karena kebijakan ini diberlakukan selama enam bulan ke depan dengan menggelontorkan subsidi senilai Rp7,6 triliun untuk 1,2 miliar liter minyak goreng.
Logikanya, jika distribusi lancar maka program ini tidak akan ada kendala di lapangan. Dengan begitu, mereka yang diduga melakukan penimbunan secara sengaja untuk memperkaya diri sendiri mau tak mau akan melepas stok yang tersimpan.(*)