Dr Irma Sagala: Jambi Miliki Pelabuhan Paling Makmur Pada Abad 16-17

Dari Manuskrip yang diteliti Dr. Irma Sagala M.Si didapati kesimpulan Jambi memiliki pelabuhan paling makmur pada abad 16 dan 17 .

Penulis: Fitri Amalia | Editor: Tommy Kurniawan
Tribunjambi/Fitri
Dialog Kebudayaan Kejayaan Kesultanan Jambi di Museum Siginjei Jambi, Senin (10/1/2022). 

TRIBUNJAMBI.COM - Kegiatan dialog kebudayaan Kejayaan Kesultanan Jambi ini berlangsung di Museum Siginjei Jambi dan mengundang narasumber Drs. Ujang Hariadi Pamong Budaya Museum Perjuangan, Dr. Agus Widiatmoko Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi, dan Dr. Irma Sagala M.Si Akademisi UIN Sultan Thaha Jambi.

Dihadiri juga oleh Asyhadi Mufsi Sadzali, S.S MA Ketua IAAI Komda Sumbagsel 2031-2024, Lembaga adat Melayu Provinsi Jambi, Dr. Anastasia Wiwik Swastiwi M.A Akademisi Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Irma Sagala memaparkan pada manuskrip dari abad ke 16 dan 17 yang dia pelajari, didapat kesimpulan pada masa kesultanan ekonomi dan perdagangan di Jambi saat itu sedang jaya.

"Dokumen resmi yang telah menggunakan gelar Sultan memang tidak ditemukan seperti yang saya sampaikan tadi, yang ditemukan yakni cap atau stempel yang telah menggunakan gelar atau identitas kesultanan Islam pada masa Sultan Abdul Jalil," jelasnya Senin (10/1/2022).

"Kalo versi tahun berkuasa ada yang tahun 1630 ada yang ada tahun 1640-an, bisa kita bilang masa kejayaan dalam perdagangan rempah-rempah dan emas itu Jambi sudah berada dalam wilayah kesultanan, tapi walaupun kesultanan idealnya antara ekonomi dan politik itu pasti sejalan. Jika ekonomi baik maka biasanya kekuatan politiknya kuat," tambahnya.

Dia mengatakan kekuatan politik kesultanan Jambi pada tahun 1600-an tidak menonjol tetapi lebih mirip pada VOC, perusahaan dagang tapi juga bermain politik. Tetapi memang peta politik kesultanan Jambi juga tidak banyak referensi yang menjelaskan.

"Contohnya Aceh pada masa itu juga masuk masa kejayaan Aceh Darussalam, itu kelihatan bahwa model hubungan-hubungan internasional dengan Turki Usmani itu sudah jauh dijalin sebelumnya tapi untuk kesultanan Jambi, belum mungkin karena memang dia baru mulai bercorak kesultanan, makanya kemudian saya menyatakannya pada abad ke 16-17 memang kejayaan ekonomi atau perdagangan," jelasnya.

Sementara nuansa kemajuan dalam bidang sosial politik diperkirakan pada masa pertengahan 1800-an, khususnya pada masa Sultan Thaha, dimana Kesultanan Jambi yang sempat terpuruk pada akhir 1700-an sampai awal 1800-an karena banyaknya masalah, termasuk masalah opium dan masalah perempuan

"Masalah-masalah ekonomi yang menurun yang diwariskan pada periode sebelumnya, konflik internal juga maka masuknya pemerintahan mulai dari Muhammad Fakhruddin mulai menstabilkan keadaan politik, tapi puncaknya pada kekuasaan Sultan Thaha kalau kita lihat dia berani mendobrak, yang pertama dia berani mendobrak kondisi yang sebelumnya Jambi mengaku sebagai daerah jajahannya Belanda tapi Sultan Thaha mendobrak itu, kemudian dia melakukan banyak terobosan- terobosan dalam dalam segi sosial politik," ujarnya.

Irma mengatakan pada masa Sultan Thaha masih berkuasa, dia juga berusaha membawa Jambi sampai ke tingkat internasional. Dan di akhir masa hidupnya, ketika sudah tidak berkuasa sebagai sultan, Sultan Thaha pada masa itu menulis undang-undang Jambi. Kemudian sejarah Jambi direkonstruksi kembali dalam bentuk penulisan manuskrip.

"Di situ saya melihat bahwa pertengahan 1800-an sampai 1900 itu masa kejayaan sosial politik Jambi setelah lama terpuruk ada sekitar 2 abad, kejayaan sosial politik Jambi kenapa bisa berakhir di Sultan Thaha, kalau kita lihat jatuhnya Sultan Thaha itu lebih kepada kemampuan untuk bertahan dan juga karena ekspedisi ilmiah Belanda yang dimulai pada akhir 1800-an," jelasnya.

"Orang Eropa ketika mau menaklukkan suatu daerah biasanya melakukan ekspedisi, kalo di Jambi pernah ada apa ekspedisi Medan Sumatera tengah termasuk wilayah Jambi, kemudian yang ekspedisi militer tahun 1900 itu sudah dimulai, dari sanalah mereka (Belanda) memang bisa mengkaji apa yang bisa merusak menghancurkan Jambi, termasuk juga menghitung kekuatan militer Jambi, mereka buat jadi dari ekspedisi, Belanda memang benar-benar menguasai dimana titik kelemahan Jambi," paparnya.

Dia melihat Belanda menguasai titik-titik kelemahan Jambi dan menurunnya kenapa kemudian Jambi kalah, karena salah satu faktor yakni kondisi ekonomi Jambi pada masa itu memang sangat lemah sekali dan tidak banyak sumber daya yang bisa dikerahkan oleh Sultan Thaha.

"Termasuk kelemahannya adalah Sultan Thaha adalah tokoh kharismatik tetapi memimpin di huluan, kemampuan menggerakkan sumber daya umumnya berada di kota itu lemah karena dia di huluan, sementara yang di tanah pilih sendiri itu tidak ada yang mampu menggerakkan karena tidak adanya tokoh kharismatik yang bisa menggerakkan ibukota,".

Jika dilihat kembali sultan-sultan yang sempat diangkat Belanda untuk menggantikan kekuasaan Sultan Thaha di pusat kekuasaan juga banyak yang menarik diri. Hal tersebut karena mereka lebih banyak tinggal di daerah bukan di tanah pilih.

"Sementara yang berdiam di tanah pilih putra mahkota dan itu pun kekuatan politiknya tidak banyak, tokoh yang menonjol yaitu satu satunya Pangeran Wirokesumo yang makamnya ada di seberang, selebihnya enggak banyak, dan dia pun lebih mengedepankan politik kalo istilahnya sekarang kehumasan," sebut Irma.

"Ketika ibukota dan sumber-sumber daya sosial dan ekonomi dikuasai Belanda, pihaknya Jambi akan sulit bertahan karena dia berada di pedalaman," tambahnya.

Irma juga turut memberi saran jika ingin tahta kesultanan kembali didirikan. Menurutnya menyerahkan tahta pewaris sultan harus dilakukan dengan proses adat dan sebisanya memang mengikuti prosedur-prosedur yang masih bisa dilacak keberadaan prosedur itu sesuai dengan sumber ilmiah.

"Jadi di sumber-sumber tahun 1800-an ke atas sampai 1900-an selalu disebut bahwa penobatan Sultan Jambi disebutkan harus melalui musyawarah adat. Walaupun pernah terjadi pada tahun 1700 Sultan Jambi dipilih oleh Raja Minangkabau, itupun karena orang-orang Jambi meminta petuah, jadi ketika diminta Raja Minangkabau memilih. Kemudian juga ada penobatan Sultan Muhammad Fahrudin sebagai pangeran ratu atau putra mahkota kemudian menjadi Sultan, itu juga terjadi semacam pengingkaran janji oleh ayahnya yang menjanjikan anak sepupunya yang akan menjadi putra mahkota. Tetapi kemudian diingkari, tapi juga tidak jelaskan apakah pembatalan perjanjian itu secara sepihak lalu mengangkat pangeran ratu atau putra mahkota atau juga melalui proses adat itu juga tidak dijelaskan dalam manuskrip, hanya memang terjadi pengingkaran janji semacam itu," jelasnya.

Dia mengatakan selebihnya dari beberapa sumber yang masih dapat ditemukan penobatan Sultan Jambi memang harus ada musyawarah suku bangsawan Jambi.

"Jadi saya sebagai akademisi ingin menegakkan itu jadi tidak bisa kemudian ujug-ujug ada yang muncul mengaku, itu justru akan menjadi konflik yang tidak akan pernah selesai, jika memang Pemerintah Daerah serius ingin kembali mendirikan kesultanan bentuklah panitia yang membuat sejarah Jambi secara komprehensif historiografinya, nanti dari sana ketahuan bagaimana semestinya prosedur pengangkatan itu," tegasnya.

Tetapi menurutnya saat ini lebih penting untuk merevisi sejarah Jambi.

"Saya pikir untuk menobatkan Sultan secara simbolis penting bagaimanapun kita tidak menampik simbol-simbol seperti itu tetap berlaku, tapi kan ada yang lebih penting dan mendesak, itu penting tapi untuk kondisi Jambi saat ini belum mendesak, Yang mendesak ini bagaimana kita membangun histografi yang utuh dari Jambi ini. Banyak tulisan-tulisan sejarah Jambi yang harus kita revisi, berdasarkan sumber-sumber mungkin pada periode tersebut sumber mereka terbatas jadi oke tapi banyak yang harus kita revisi, jadi yang penting dan mendesak itu dulu menurut saya, tetapi mungkin ada yang lain punya pendapat yang berbeda," pungkasnya.

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved