RJ Lino Divonis 4 Tahun Penjara, Ketua Majelis hakim Sebut Lino Layak Dibebaskan
Mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino atau RJ Lino divonis 4 Tahun Penjara atas kasus yang menjeratnya
TRIBUNJAMBI.COM - Ketua Majelis hakim Rosmina menunjukan pendapat yang berbeda atau dissenting opinion terkait vonis
Mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, Richard Joost Lino atau RJ Lino divonis 4 Tahun Penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Namun, Ketua Majelis Hakim Rosmina memberikan pendapat berbeda dari putusan tersebut.
Hakim Rosmina bilang, RJ Lino tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
Pandangan ini juga berbeda dengan penilaian hakim anggota I dan hakim anggota II.
“Menimbang sebagaimana pertimbangan pada diri terdakwa tidak ditemukan adanya niat jahat dalam pengadaan 3 unit quay container crane (QCC) twinlift kapasitas 61 ton untuk Pelabuhan Panjang, Pontianak, Palembang,” kata hakim Rosmina pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (14/12/2021).
“Maka beralasan hukum untuk membebaskan terdakwa dari segala tuntutan sebagaimana dakwaan pertama dan dakwaan kedua,” sambung hakim Rosmina.
Hakim Rosmina memandang, pengadaan QCC yang dilakukan RJ Lino bertujuan menambah produktivitas PT Pelindo II di tiga pelabuhan tersebut.
“Meskipun melanggar prosedur pengadaan, namun pengadaan dilakukan untuk kepentingan perusahaan di masa depan agar lebih produktif,” katanya.
Hakim Rosmina juga memberi alasan, nilai penghitungan kerugian negara tidak cermat.
Sebab, bukti dari perusahaan pengada QCC yaitu Wuxi Hua Dong Heavy Machinery (HDHM) asal China tidak didapatkan.
“Karena bukti real pengeluaran HDHM atas pembangunan dan pengiriman 3 unit QCC tidak diperoleh,” kata hakim Rosmina.
Hakim Rosmina juga mengkritisi penghitungan Unit Forensik Akunting Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK.
Dalam pandangannya, BPK tidak menghitung keuntungan dari HDHM terkait pengadaan dan perawatan QCC, sementara KPK menghitung keuntungan tersebut.
“Penghitungan Unit Forensik Akunting Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK dilakukan secara tidak cermat dan melanggar asas penghitungan kerugian negara,” pungkas Rosmina.