Kasus Pemerkosaan Tiga Anak di Luwu Timur, Mabes Polri Diminta Bertindak

Abdul Azis Dumpa berharap, Mabes Polri menangani kasus pemerkosaan tiga anak di bawah umur yang diduga dilakukan ayah kandungnya di Luwu Timur.

Editor: Teguh Suprayitno
Kolase/Tribunjambi.com
Ilustrasi-tiga anak di bawah umur diperkosa ayah kandungnya sendiri. 

TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA- Tiga anak Lydia (nama samaran) diduga diperkosa oleh ayah kandungnya sendiri, tetapi kasusnya ditutup polisi.

Tim kuasa hukum Lydia, Abdul Azis Dumpa berharap, Mabes Polri turun tangan menangani kasus pemerkosaan tiga anak di bawah umur di Luwu Timur, Sulawesi Selatan itu.

Lydia merupakan ibu kandung dari ketiga anak itu.

“Sebab proses penyelidikan sebelumnya banyak yang tidak sesuai prosedur, jika ingin memperbaiki proses hukumnya harusnya bukan oleh Polres Luwu Timur lagi,” kata Azis dikonfirmasi Kompas.com, Sabtu (9/10/2021).

Azis mengatakan perkara yang dihadapi Lydia dan ketiga anaknya saat ini telah jadi perhatian  masyarakat Indonesia. Sehingga, menurutnya Mabes Polri perlu turun tangan untuk mengambil alih penanganannya.

“Perkara ini sudah menjadi perhatian nasional, jadi harusnya (ditangani) Mabes Polri ini, agar publik percaya pada institusi Polri bisa memberikan perlindungan,” kata Azis.

Baca juga: Gadis 15 Tahun di Sarolangun Empat Kali Dirudapaksa Kakek-kakek, Bermula dari MInta Uang

Baca juga: Empat Siswi di Papua Diperkosa, KPAI: Perkosaan Anak Adalah Pidana Berat

 

Azis pun memaparkan sejumlah kejanggalan penyelidikan yang sebelumnya dilkukan oleh Polres Luwu Timur atas perkara tersebut.

Pertama, hasil visum yang digunakan penyelidik disebut tidak menunjukan adanya tanda kekerasan pada korban. Padahal, pada foto yang diambil Lydia pada 2019, sangat jelas menunjukan adanya tanda kekerasan.

Bahkan ketika Lydia melakukan pemeriksaan ke Puskesmas Malili, dokter memberikan surat rujukan untuk berobat dengan diagnosa terjadi kerusakan pada organ vital dan kekerasan pada anak.

“Bahkan anak mengeluhkan sakit pada area-area vital tersebut,” kata.

Kemudian dalam gelar perkara di Polda Sulsel tahun 2020, lanjut Azis, dokumen visum et psychiatricum (VeP) diabaikan penyidik.

“Padahal dalam dokumen itu para korban menceritakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh terlapor,” kata Azis.

Azis juga mencatat bahwa pihak kepolisian menggunakan hasil asesmen psikologis dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Luwu Timur.

Hasil dari P2TP2A itu menyatakan bahwa anak-anak Lydia tidak mengalami trauma karena bisa berinteraksi dengan ayahnya sebagai terlapor.

Tim kuasa hukum menilai, P2TP2A lebih condong pada ayah korban sebagai terlapor karena petugas yang menerima laporan Lydia terlibat konflik kepentingan.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved