Rocky Gerung Rela Mandi Minyak hingga Tidur di Kotoran Hewan Demi Bertahan Hidup di Gunung Himalaya
Sebelum Covid-19, Rocky Gerung mengaku ia sedang berada di Gunung Himalaya ketinggian 6000, suhunya mencapai -20 derajat.
TRIBUNJAMBI.COM - Pengalaman pahit diceritakan Rocky Gerung saat nekat mendaki Gunung Himalaya sebelum pandemi Covid-19 terjadi.
Ditengah mendaki, Rocky Gerung memilih untuk tidur di atas kotoran hewan dan mandi minyak demi bertahan hidup saat mendaki Gunung Himalaya.
Hal itu terungkap saat pengamat politik Rocky Gerung bercerita di seminar Nasional di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Rabu (16/6/2021).
Dalam ceritanya Rocky Gerung mengaku jika mendaki gunung memang hobinya sejak lama.
"hobi utamanya naik gunung,"ungkap Rocky Gerung.
Sebelum Covid-19, Rocky Gerung mengaku ia sedang berada di Gunung Himalaya ketinggian 6000, suhunya mencapai -20 derajat.
Baca juga: Wijin Berani Buka Suara Soal Isu Gisel Rujuk dengan Gading Marten kian Hangat: Pastinya Buat Gempi
Baca juga: Teddy Mati Kutu Nyaris Dipenjarakan Rizky Febian, Kini Minta Maaf dan Akan Kembalikan Harta Lina
Baca juga: Kisah Jenderal M Jusuf Terpaksa Harus Latihan Berbaris Sebelum Ditunjuk Soeharto Jadi Panglima ABRI
"kalau mandi pakai minyak tanah karena aernya beku,"ujar Rocky Gerung.
Kemudian Rocky Gerung juga menceritakan jika membutuhkan waktu selama 20 hari untuk sampai di lokasi dengan jalan kaki.
Untuk mengatasi hawa dingin, Rocky Gerung juga tidur di atas kotoran binatang yak, hewan sejenis banteng yang hidup di wilayah Himalaya.
"tidur di atas kotoran yak supaya menjaga suhu tubuh supaya panas dan tidak beku," ungkap Rocky Gerung.
Dari pengalamannya tersebut, Rocky Gerung memperlihatkan bahwa pada saat tertentu tidak ada bedanya antara manusia dan binatang karena dikepung oleh alam.
Siapa sebenarnya sosok Rocky Gerung?
Banyak orang belum mengetahui, sebenarnya Rocky Gerung dahulu merupakan dosen di Universitas Indonesia.
Namun yang menarik adalah kisah cinta sang fenomenal ini.
Banyak yang belum tahu mengapa Rocky Gerung belum menikah hingga usia 62 tahun.
Diketahui sosok Rocky Gerung merupakan pengamat politik sekaligus pemerhati filsafat.
Ia pernah mengajar filsafat di Universitas Indonesia.
Komentarnya kerap memicu berbagai kontroversi.
Di acara televisi dan beberapa forum lain, komentarnya seakan menjadi cabai merah pedas.
Sebagai pengamat, ia memposisikan diri pengkritik pemerintah, termasuk saat pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.
Sejak mendekat Pilpres 2019, wajahnya semakin kerap muncul di layar kaca.
sebenarnya sejak zaman mahasiswa, Rocky Gerung sudah mengkritik pemerintah.

Fakta asmara dan unik
Di usianya yang sudah mengincak 62 tahun, ada fakta unik tentang Rocky Gerung.
Selain masalah filsafat politik, tak banyak yang tahu soal Rocky Gerung.
Saat ini, Rocky Gerung ternyata masih betah sendiri alias jomblo.
Hal itu terungkap setelah Rocky mengaku kerap digoda emak-emak.
"Minta qoute tentang hal yang kita sama-sama suka, wanita," ucap wahyu menantang Rocky.
Jawab Rocky, "Wanita itu indah sebagai fiksi dan berbahaya sebagai fakta".
Di Youtube, pernyataan Rocky inilah yang dianggap menjadi alasan dirinya tidak berumah tangga hingga sekarang.
Misteri Rocky Gerung
Berikut sederet fakta tentang Rocky Gerung.
* Lahir di Manado
Rocky lahir di Manado pada 20 Januari 1959.
Saat ini ia sudah genap berusia 59 tahun.
* Lulusan Universitas Indonesia (UI)
Rocky menempuh pendidikan S1 di UI pada 1986.
Ia kemudian memperoleh gelar sarjana sastra dari universitas tersebut.
* Pernah Jadi Dosen
Saat ini, Rocky menjadi dosen di Departemen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
Ia juga merupakan peneliti di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D).
Namun Kepala Humas Universitas Indonesia Rifelly Dewi Astuti mengatakan status Rocky di UI juga sebagai dosen tidak tetap.
"Beliau sudah lama tidak mengajar di UI, sehingga status beliau tidak aktif menjadi dosen UI," katanya.
* Rektor UI sebut Hoax
"Gimana jadi dosen? Orang jadi dosen itu kan, syaratnya harus S2. (Jadi) Pecat gimana? Itu hoax," kata Rektor UI, Prof. Muhammad Annis.
Karena itu, ia mengharapkan, tidak ada yang mengkaitkan antara UI dengan Rocky Gerung.
Meski demikian, UI tetap mengakui Rocky merupakan salah satu alumni.
"Ya enggak lah (dosen). Alumni UI, ya jelas, Kapan pun dia alumni," ujar.
* Aktivis Sejak Zaman Orde Baru
Saat Pilkada DKI Jakarta berlangsung pada tahun 2017 lalu, Rocky pernah mendapat surat terbuka dari perancang desain sepatu Niluh Djelantik.
Di surat yang ditulis di Facebook itu Niluh mengungkapkan kekecewaannya terhadap Rocky dan beberapa aktivis lain, karena membiarkan kampanye bernuansa sektarian terjadi.
Padahal, Niluh dan Rocky merupakan aktivis satu generasi sejak zaman Orde Baru, yang memperjuangkan nilai-nilai sama, yakni Hak Asasi Manusia (HAM), non-diskriminasi, non-sektarianisme, antikekerasan, sensitif gender, serta tata pemerintahan yang baik.
Namun kini, para aktivis itu sudah memihak pada kelompok tertentu.
* Kritis Terhadap Pemerintahan Jokowi
Selama ini, Rocky sering berkomentar kritis terhadap Presiden Joko Widodo.
Rocky pernah menyebut tangan dan otak Jokowi tidak sinkron saat Presiden mengungkapkan pendapatnya, tentang pidato Prabowo, tuduhan PKI, dan hal bernuansa SARA lainnya.
Namun, Rocky kemudian menghapus kicauan itu.
Perjalanan Hidup Rocky
Mengutip wikipedia, Rocky berkuliah di Universitas Indonesia pada 1979.
Ia pertama kali masuk ke jurusan ilmu politik, yang saat itu tergabung dalam fakultas ilmu-ilmu sosial, sebelum memutuskan pindah ke jurusan ilmu filsafat dan lulus pada 1986.
Saat berkuliah, Rocky dekat dengan aktivis berhaluan kiri, seperti Marsillam Simanjuntak, Hariman Siregar, dan lain-lain.
Setelah lulus, Rocky Gerung kembali ke UI dan mengajar di departemen ilmu filsafat, hingga awal 2015.
Rocky berhenti mengajar lantaran keluarnya UU No. 14 tahun 2005 yang mensyaratkan seorang dosen harus minimal bergelar magister.
Rocky hanya menyandang gelar sarjana.
Bersama tokoh-tokoh, seperti Abdurrahman Wahid dan Azyumardi Azra, Rocky merupakan ikut mendirikan Institut Setara, sebuah wadah pemikir di bidang demokrasi dan hak asasi manusia, pada 2005.