Mengungkap Perdagangan Lada Tempo Dulu di Jambi, dari Abad ke-16 hingga ke-18

Tahun 1720, di dataran tinggi Jambi, masyarakat beralih menanam kapas dan padi. Petani meninggalkan tanaman

Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Nani Rachmaini
Istimewa
Sungai Batanghari Jambi (1893) menjadi jalur distribusi lada tempo dulu Sumber: troppenmuseum, dipotret dari buku Dari Hulu ke Hilir Batanghari: Aktivitas Perdagangan Lada di Jambi Abad XVI-XVIII 

Akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 Portugis secara aktif Berdagang di pelabuhan Jambi menggunakan kapal-kapal kecil.

Pada abad ke-15, impor Eropa meningkat pesat. Tahun 1500, impor mencapai 1200 ton per tahun. Di mata Portugis, Jambi telah dikenal sebagai penghasil lada sejak tahun 1545. Pada 1568, Portugis menyebutkan daerah ini dalam instruksi untuk gagasan baru guna meningkatkan akses Portugis terhadap persediaan lada.

Belakangan, terjadi persaingan antara Portugis, Cina, Belanda, dan Inggris.

Portugis sangat pintar dalam berbisnis lada mereka enggan membeberkan mengenai Jambi sebagai salah satu daerah pusat perdagangan lada ke bangsa Eropa lainnya. Kondisi ini didukung dengan kondisi alam Selat Malaka bagian selatan yang menjadi kuburan bagi kapal-kapal bangsa Eropa. Garis pantai Jambi juga amat menipu, tidak banyak petunjuk untuk masuk ke sungai Jambi. Satu-satunya petunjuk bagi pelaut adalah pulau di lepas pantai yang tidak berpenghuni, yaitu Pulau Berhala. Sedangkan Batanghari punya banyak cabang dan jalur masuk ke sungai utama sangatlah sulit.

Bangsa Portugis dan Eropa acap memanfaatkan orang-orang laut sebagai pemandu. Mereka memiliki peran penting dalam perdagangan lada.

Abad ke-17, jung-jung dari Cina masuk sebagai pesaing Portugis. Di sisi lain, Belanda dengan VOC dan Inggris dengan IEC juga masuk sebagai pesaing dalam memperebutkan lada di Jambi.

Pada 1616 Pelabuhan Jambi sudah digadang-gadangkan sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh. Perdagangan lada berdampak pada peningkatan kesejahteraan istana. Namun, kerja sama sultan dengan Belanda tak disenangi rakyat Jambi. Rakyat marah karena Belanda terlalu memonopoli perdagangan lada di Jambi. Tahun 1690, pos dagang Belanda di Muara Jumpeh diserbu rakyat Jambi.

Menjelang akhir abad ke-17 keseganan untuk menanam lada sangat jelas muncul dalam tulisan-tulisan Melayu. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari istana yang terancam oleh tidak stabilnya perekonomian. Tahun 1680, Jambi kehilangan posisinya sebagai pelabuhan lada utama di pesisir timur Sumatera telah bentrok dengan Johor. Hal ini diperparah pergolakan internal dalam bidang perdagangan.

Ada dua faktor yang menyebabkan perdagangan lada di Jambi mengalami kemunduran, yaitu turunnya harga lada di pasaran Eropa dan daerah hulu yang jauh dari pusat kekuasaan kesultanan.

Tahun 1720, di dataran tinggi Jambi, masyarakat beralih menanam kapas dan padi. Petani meninggalkan tanaman lada karena harganya terus anjlok. Masyarakat, khususnya di hulu, beralih ke tanaman lain, juga mulai menggeluti pekerjaan lain seperti mencari emas. Meski begitu, sejarah pernah mencatat bahwa Jambi pernah menjadi satu di antara pusat perdagangan lada di Indonesia.

Baca juga: Harga Motor Sport Fairing 250cc - Kawasaki Ninja 250, KTM RC, Yamaha New YZF R25, Honda CBR250RR

Baca juga: Formasi PPPK Kemenag 2021 - Guru Agama Guru Madrasah Dosen Penghulu Penyuluh Agama, Tenaga Kesehatan

Baca juga: Komunitas BSJ Menjadi Wadah Bagi Anak-anak di Jambi Menyalurkan dan Mengeksplor Bakat

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved