Wawancara Eksklusif

Pengakuan Tersangka Jual Beli Hewan Langka, Saya Mohon Kasus Ini Diungkap Tuntas

Tim Penegak Hukum KLHK bersama Polda Jambi mengungkap dua kasus dugaan jual beli offset harimau dan gading gajah

Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Deddy Rachmawan
TRIBUN JAMBI/MAREZA SUTAN AJ
Tersangka penjual offset harimau (kanan) 

Tindakan jual beli bagian tubuh hewan langka dan dilindungi masih terjadi di Provinsi Jambi. Maret lalu, Tim Penegak Hukum KLHK bersama Polda Jambi mengungkap dua kasus dugaan jual beli hewan langka atau persisnya jual beli bagian tubuh hewan langka yang dilindungi, yaitu offset harimau pada tanggal 23 Maret dan gading gajah pada 24 Maret 2021 lalu.

Tribun Jambi berhasil mewawancarai tiga tersangka yang diduga terlibat dalam tindakan melanggar hukum tersebut, yaitu AW yang diduga terlibat dalam jual beli offset harimau, serta HL dan JAG yang diduga terlibat dalam jual beli gading gajah. Berikut petikannya.

Offset Harimau

Tribun: Ditangkap 23 Maret, bagaimana Anda tertangkap dengan membawa offset harimau sumatera?

AW: Pada hari itu ada satu kesepakatan dengan yang katanya mau membeli offset harimau tersebut, itulah ada rencana datang di suatu tempat. Tempat itu yang ditunjukkan oleh teman saya sendiri, tapi kami sama-sama perantara. Ada yang mau beli membuat janji dengan saya, teman saya membuat janji dengan pemilik.

Ada A sebagai pemilik barang, B perantara pemilik barang, C yaitu saya sebagai perantara pembeli dan D pembeli.

Terjadi kesepakatan transaksi, dan barang itu pun sudah dibawa oleh teman saya itu, diambil pakai mobil saya. Itu sebenarnya mobil pinjaman, tapi saya akui mobil saya. Dari pihak pembeli, katanya juga mau bawa mobil box.

Tapi setelah kami datang di lokasi yang disepakati, pembeli itu ternyata tidak membawa mobil box. Dia bawa mobil biasa. Kami jumpa di Bangko. Dia bawa mobil, tapi katanya mobilnya di luar, tidak mau dimasukkan ke halaman. Dia bilang mobil box masih isi minyak.

Dia melihat barang pun tidak serius. Artinya tengok-tengok sebentar langsung, itu tunggu mobil box. Tapi yang datang kemudian bukan mobil box. Yang datang malah petugas. Kami tidak tahu permasalahan ini kok seperti itu.

Tribun: Ke mana orang yang mengaku hendak membeli offset harimau?
AW: Pembeli itu sebenarnya pas petugas datang sebenarnya masih ada di situ. Tapi tidak tahu, kok tidak bisa ketangkap.

Yang ketangkap cuma saya. Kami juga heran kedua kalinya.
Dari beberapa orang yang mengaku pembeli. Saya, tiga orang sebagai perantara. Ada si A, temannya si A juga ada, kemudian saya. Setelah petugas datang dua mobil, yang ketangkap kok cuma saya?

Tribun: Orang perantara yang punya barang, yang Anda bilang sebagai teman, sudah kenal cukup dekat?
AW: Belum, belum. Belum begitu kenal. Saya baru kenal beberapa hari sebelumnya, hari Kamis (18/3) kalau tidak salah. Itu yang temannya menemui saya, tanya ada pembeli atau tidak. Saya tidak tahu, saya tidak pernah komunikasi seperti itu, masalah seperti itu. Jadi saya telepon dulu teman saya di Pekanbaru (menanyakan ada tidak pembeli/peminat offset).

Tribun: Apa Anda turut terlibat aktif dalam mencari pembeli?
AW: Pembeli itu, saya tidak ada gambaran. Makanya saya telepon sama kawan di Pekanbaru.

Tribun: Anda dan perantara pemilik barang baru kenal. Kenapa bisa akhirnya mereka bisa menemukan Anda?
AW: Itu karena temannya perantara tadi, yang kenalnya baru hari Kamis itu. Kalau yang teman satunya, pernah ketemu pada waktu-waktu yang lalu.

Tribun: Anda pernah menjadi datuk rio (kepala desa) di Bungo, tahukah kalau ini melanggar hukum?
AW: Memang saya tahu, tapi hanya sebatas larangan. Secara persisnya aturan hukum itu saya tidak paham. Lalu kenapa saya masih melakukan itu? Karena kondisi kebutuhan ekonomi, termasuk kebutuhan anak saya yang tanggal 4 April kemarin seharusnya membayar separuh dari Rp24,5 juta.

Di tanggal muda bulan Juni besok, harus bayar lagi setengahnya. Jadi artinya, butuh duit tidak sedikit bagi kami. Kebutuhan untuk di pondok di Yogyakarta.

Ditreskrimsus Polda Jambi dan tim dari Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera saat melakukan pers rilis kasus penjualan Offset Harimau Sumatera & Gading Gajah Sumatera.
Ditreskrimsus Polda Jambi dan tim dari Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera saat melakukan pers rilis kasus penjualan Offset Harimau Sumatera & Gading Gajah Sumatera. (tribunjambi/aryo tondang)

Tribun: Berapa jumlah yang dijanjikan untuk Anda, jika berhasil menjual offset harimau itu?
AW: Dari modal atau pokoknya Rp60 juta, saya dijanjikan akan dibeli Rp150 juta. Nanti setelah deal baru rembuk di antara kami bertiga. Itu pun termasuk pembeli itu juga istilahnya bukan asli yang punya duit, tapi juga akan kasih bagian ke kawan di Pekanbaru, sama orang yang mengaku pembeli, juga sama saya. Jadi soal pembagian berapa persisnya, kami juga belum ada satu keputusan.

Tapi di Jambi, kepercayaan yang punya duit itu datang dua orang untuk menge-deal-kan.

Baca Berita Jambi lainnya

klik:

Baca juga: Truk Batubara Terjebak di Tengah Jalan, Sebabkan Kemacetan Panjang di Simpang Niam Tebo

Baca juga: Awas Jual Beli Rekening Bisa Masuk Aktivitas Ilegal

Baca juga: Marak Jual Beli Rekening di Media Sosial, Awas Disalahgunakan untuk Judi Online Hingga Penipuan

Baca juga: Putri Bupati Brebes Hampir jadi Korban Kejahatan, Pelaku Ditembak saat Melawan Polisi

Tribun: Apa yang Anda harapkan dari pengungkapan kasus ini?
AW: Saya mohon, agar kasus ini diungkapkan secara tuntas. Kami tidak tahu apa-apa, hanya sebatas perantara.

Saya bukan pembunuh, saya bukan pemburu, dan offset harimau itu pun yang saya lihat sudah lama banget, sudah bentuk patung. Katanya, itu sudah puluhan tahun dibuat. Karena itulah saya menemui nasib seperti ini. Kami sangat terpukul dan nurani yang ada ini, walau benar-benar salah, seakan-akan tidak terima dengan kondisi itu. Tapi apa boleh buat.

Gading Gajah

Tribun: Sebelum terlibat jual beli gading gajah ini, profesi Anda sebagai apa?
HL: Lantara saya kena strok, saya jadi kuli bangunan. Sebelumnya saya sebagai sopir travel.
JAG: Saya karyawan di toko.

Tribun: Bagaimana bisa terlibat dalam perkara ini?
HL: JAG meminta saya mencarikan gading. Selang waktu tiga bulan, tidak dapat. Tidak ketemu, saya telepon, "tidak bisa, tidak dapat lagi barang itu. Sudahlah."

Tidak lama kemudian, datang ke rumah saya seorang mengaku bernama Ismail. Saya tidak kenal, dapat alamat saya pun tidak tahu dari mana, diajak ke rumah pun tidak mau. Akhirnya, kami ngobrol di warung. Pertama-tama dia menawarkan bambu petuk, kemudian dia menawarkan gading. Ini yang positif. "Barangnyo ado dengan sayo, di Tebo." Saya bilang telepon dulu ke Jambi, apa (JAG) masih cari atau tidak. Rupanya masih.

Dia datang ke rumah. Jelang hari tertangkap, ada empat kali dia datang ke rumah, siang terus. Dia datang naik ojek, bukan bawa motor sendiri. Itu belum membawa gading.

Setelah ada kesepakatan harga, kami baru mau ketemu. Dia datang pagi, tapi orangnya belum datang, dia ke pasar dulu. Setelah itu dia datang lagi, jam 10. Dia bilang nunggu di Pasar Atas Muara Bungo. Jam 12 lewat, saya susul memang ada Ismail tunggu di situ. Barangnya ada dalam tas. Dia tanya orangnya mana, orangnya di Simpang Jambi, menunggu di pecal lele. Orang itu sudah menyiapkan duit, Rp60 juta.

Jadi perjanjiannya, pas sudah sampai sana, barang itu diambilnya, dia beri duit dalam sangkek asoi. Ternyata Ismail tidak mau membawa tas ini. Jadi, kami tolak-tolakan, waktu habis juga. Akhirnya saya mau bawa tas itu, saya masukkan ke jok motor.

Barangnya (gading) kecil, kira-kira 35 cm. Kami berangkat, iring-iringan.
Saya ajak naik motor saya, tapi dia tidak mau. Kata dia, ojek ini sudah dibayar, tidak mungkin ditinggal. Begitu sampai di Simpang Jambi, saya lihat spion, si Mail ini di mana? Padahal jarak dari Simpang Jambi ke pecal lele itu dekat. Saya tunggu di pecal lele.

Barang saya keluarkan, saya tunjukkan barangnya. Tapi saya tengok Ismail ini tidak muncul-muncul, padahal yang menerima uang ini kan Ismail. Saya dan JAG cuma perantara yang punya barang.

Tidak sampai lima menit tegak di situ, saya dikepung oleh petugas. Saya belum sempat duduk, sudah dikepung. Di situ ada pembeli, ada perantara pembeli, tidak juga diapa-apain. Yang diborgol cuma kami berdua. Mereka yang sama-sama dari Jambi itu, namanya Ari, entah ke mana perginya.

Tribun: Apa Anda pernah terlibat dalam jual-beli gading sebelumnya?
HL: Belum pernah sama sekali dengan yang namanya gading. Tapi kalau bambu petuk, merah delima, itu sering karena saya pencari barang antik.

Tribun: Dari keterangan Pak HL, JAG adalah orang yang meminta gading, itu bagaimana kejadiannya?
JAG: Kami disuruh sama orang yang sering main ke rumah. Kami kan buka manisan, jual burung juga. Orang itu ke rumah tiap hari, empat kali. Kami bilang tidak tahu, karena kami kan tidak main itu. Tapi kami usahakan, kalau ada. Kami carilah informasi dengan bapak-bapak (termasuk HL) ini, kalau misalnya ada tersimpan barang-barang kayak begitu, barang klasik.

Tribun: Tidak terpikir bahwa itu melanggar hukum?
JAG: Tidak tahu. Sebelumnya kami tidak tahu.

Tribun: Terpikir menghubungi HL, bagaimana ceritanya?
JAG: Kami tanyai bukan ke satu orang, ada tiga orang yang kami tanya kalau ada simpan barang antik, barang lama. Setelah lama, dari oom ini (HL) baru ada kabar. Baru kami kabari ke Ari tadi. Ari di Bungo, katanya mau beli.

Tribun: Apa pelajaran yang bisa dipetik dari kasus ini?
JAG: Kalau kami tau, kami dak mau jugo. Kami jemput ke Bungo bae diongkosi. Kami kan di Jambi. Padahal baru kenal. Kalau kami tau ini barang dilindungi, kami dak mau ngulang lagi. (are)

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved