Sejarah dan Makna Hari Raya galungan, Umat Hindu Merayakan Setiap 6 Bulan
Hari ini, Rabu 14 April 2021, umat Hindu merayakan hari raya Galungan. Galungan merupakan hari raya suci agama Hindu. Berikut ini sejarah dan makna
TRIBUNJAMBI.COM - Hari ini, Rabu 14 April 2021, umat Hindu merayakan hari raya Galungan.
Galungan merupakan hari raya suci agama Hindu.
Berikut ini sejarah dan makna hari raya Galungan.
Dikutip dari dentim.denpasarkota.go.id, Galungan merupakan Hari Raya Suci Agama Hindu yang jatuh setiap 6 bulan sekali atau berdasarkan pawukon Buda Kliwon Dungulan.

Hari Raya Galungan adalah hari kemenangan Dharma melawan Adharma.
Para Umat Hindu juga biasanya memasang Penjor sehari sebelum Galungan atau tepatnya pada Penampahan Galungan.
Penjor adalah simbol dari Naga Basukih, di mana Basukih berarti kemakmuran atau kesejahteraan.
Memasang Penjor pada Hari Raya Galungan yang berarti sebagai wujud rasa Bakti dan rasa terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala kemakmuran dan kesejahteraan yang telah diberikanNya.
Setelah Hari Raya Galungan, umat Hindu juga merayakan Hari Raya Kuningan 10 hari setelah Galungan, tepatnya pada hari Saniscara Kliwon Kuningan.
Di Hari Raya Kuningan ini, kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan harus bisa berintropeksi dan berjanji untuk menjadikan diri kita lebih baik dan juga bisa mengalahkan sifat Adharma yang ada pada diri kita, Svaha.
Baca juga: Ini Daftar Nama Menteri yang Berpeluang Didepak dari Kabinet Jokowi Menurut Survei, Ada Nama Luhut
Baca juga: Promo Indomaret Terbaru 14-20 April 2021 Harga Spesial Diapers Rp 33 Ribuan dan Tebus Murah Rp 500
Makna Hari Raya Galungan
Dikutip dari Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Hari Raya Galungan mempunyai makna memperingati kemenangan Dharma melawan Adharma.
Secara rohani, manusia mengendalikan hawa nafsu yang sifatnya mengganggu ketentraman batin yang nantinya berekpresi dalam kegiatan sehari-hari, baik secara individu maupun kelompok.
Hawa nafsu dalam diri kita dikenal dengan nama Kalatiga, yakni tiga macam kala secara bersama-sama dimulai sejak hari Minggu sehari sebelum penyajaan, hari Senin dan berakhir hari Selasa (Penampahan Galungan).
Maksud dari tiga kala yakni:
1. Kala Amangkurat, yakni nafsu yang selalu ingin berkuasa, ingin menguasai segala keinginan secara batiniah dan nafsu ingin memerintah bila tidak terkendali tumbuh menjadi nafsu serakah untuk mempertahankan kekuasaan sekalipun menyimpang dari kebenaran.
2. Kala Dungulan yang berarti segala nafsu untuk mengalahkan semua yang dikuasai oleh teman kita atau orang lain.
3. Kala Galungan, yakni nafsu untuk menang dengan berbagai dalih dan cara yang tidak sesuai dengan norma maupun etika agama.
Hari Raya Galungan memang dirayakan sebagai hari raya kemenangan Dharma melawan Adharma, kalahnya keangkaramurkaan yang oleh Mpu Sedah disebut sebagai "Kadung gulaning parangmuka", lebih jauh dijelaskan musuh yang dimaksud adalah musuh-musuh yang ada pada diri manusia yang terlebih dahulu harus dikalahkan.
Musuh dimaksud adalah: kenafsuan (kama), kemarahan (kroda), keserakahan (mada),'irihati (irsya) atau semua tergolong dalam sadripu maupun Satpa Timira.
Baca juga: Posisi Yanonna Laoly Terancam, Ali Ngabalin Bocorkan Rencana Jokowi Reshuffle Kabinet Minggu Ini
Baca juga: Resufle Kabinet Pekan Ini, Siapa Saja Diganti?

Sejarah Hari Raya Galungan
Sebagaimana kita ketahui, kisah tersebut telah tertuang dalam Kitab Mahabharata yang termasuk Itihasa sangat utama dalam sastra Hindu.
Dalam kitab tersebut tertulis betapa perjuangan Pandawa dalam memerangi Adharma untuk menegakkan dharma.
Sang Darma Wangsa adalah keluarga yang selalu menegakkan dharma, beliau bekerja, berjuang dan berkeyakinan bahwa kebenaran akan selalu menang (Satyam eva Jayanti).
Lain halnya dengan Maha Kawi Danghyang Nirartha, beliau melahirkan sebuah karya kekawin Maya Danawan-taka.
Dalam ceritanya, dikisahkan seorang pertapa yang teguh melaksanakan tapa di punggung Gunung Ksiti-pogra dan pusat pemerintahannya diseputaran danau Batur daerah Kinta-mani, Bangli di Bali.
Setelah dia mendapat anugrah dalam pertapaannya, ternyata kelobaannya menjadi-jadi, sehingga rakyatnya di wilayah pemerintahannya menjadi ketakutan.
Si Mayadanawa tidak hanya mengumpulkan emas, kekayaan, dia melarang melakukan yadnya, bersama tentaranya merusak, mengacau, menyakiti, menghina sastra dan ajaran agama.
Oleh karena kejahatannya, diutuslah Dewa Siwa untuk memeranginya.
Maka terjadilah pertempuran yang sangat hebat antara pasukan Dewa Siwa dengan Mayadenawa.
Karena kesaktiannya Mayadanawa menciptakan tirte cetik, sehingga pasukan Desa Siwa yang sedang kehausan meminumnya, semua pasukan Dewa Siwa mati.
Singkat cerita, Dewa Siwa mengetahui kejadian tersebut sehingga Ia menciptakan tirta empul (pengurip) yang sekarang disebut tirta empul, diperciki pasukan yang mati hidup kembali.
Peperangan harus berlanjut sehingga Mayadanawa terkepung tentaranya mati, dia lari tunggang langgang segala macam taktik tipu muslihat dipergunakan.
Mayadanawa lari agar tapak kakinya tidak dilihat, dia lari dengan tungkai yang miring namun tetap diketahui oleh Pasukan Dewa Siwa, sehingga sebagai bukti tempat itu sampai sekarang disebut desa Tapak Siring asal kata dari telapak kaki miring.
Kemudian, Maya Danawa lari bersembunyi di pohon kelapa pada kuncup/pada busung kelapa, namun tetap dapat dilacak oleh pasukan Dewa Siwa sampai sekarang tempat itu dinamakan Desa Blusung.
Akhir cerita, karena Mayadenawa dipihak yang salah, peperangan dimenangkan oleh Pasukan Dewa Siwa dan Mayadenawa mati.
Sumber: Tribunnews.com