Hukum Menikahi Perempuan yang Tak Perawan Karena Berzina dengan Pria Lain, Begini Menurut Islam

Bagaimana hukumnya dalam Islam jika ternyata perempuan yang dinikahi tak lagi perawan karena berzina dengan pria lain?

Editor: Teguh Suprayitno
PEXELS.COM
Ilustrasi pernikahan 

TRIBUNJAMBI.COM - Dalam ajaran Islam juga diatur soal pernikahan. Lalu bagaimana hukumnya jika ternyata perempuan yang dinikahi tak lagi perawan karena berzina dengan pria lain?

Banyak pria yang mendambakan untuk bisa menikahi perempuan yang masih perawan.

Namun bagaimana jika setelah menikah, si pria baru mengetahui jika istrinya sudah tidak perawan lagi. Bolehkah, suami membatalkan pernikahan dan menarik mahar yang telah diberikannya?

Jumhur ulama memang membolehkan pasangan yang menikah untuk melakukan fasakh (pembatalan) nikah akibat penyakit akut, seperti lepra, tunagrahita, impotensi, cacat kemaluan si istri karena tertutup daging atau tulang, dan sebagainya.

Namun, mereka berbeda pendapat mengenai keperawanan seorang perempuan.

Apakah ketidakperawanannya, baik karena perzinaan atau sebab lain, dianggap sebuah cacat atau bukan.

Ilustrasi
Ilustrasi (pixabay)

Imam al-Syafi‘i sendiri mengemukakan dalam al-Umm bahwa ketidakkeperawanan perempuan bukan satu cacat yang membolehkah seorang suami menarik mahar atau membatalkan perkawinannya (khiyar fasakh).

Hanya saja, secara tidak langsung, ia memberikan khiyar lain, di mana suami boleh memilih, antara melanjutkan pernikahan atau mengakhirinya dengan talak.

لَوْ نَكَحَ امْرَأَةً لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهَا زَنَتْ فَعَلِمَ قَبْلَ دُخُولِهَا عَلَيْهِ أَنَّهَا زَنَتْ قَبْلَ نِكَاحِهِ أَوْ بَعْدَهُ لَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَخْذُ صَدَاقِهِ مِنْهَا وَلَا فَسْخُ نِكَاحِهَا وَكَانَ لَهُ إنْ شَاءَ أَنْ يُمْسِكَ وَإِنْ شَاءَ أَنْ يُطَلِّقَ

Artinya, “Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang tidak diketahui bahwa perempuan itu sudah pernah berzina, tapi belakangan sebelum bergaul, sang suami tahu bahwa ia telah berzina sebelum atau setelah menikah, maka perempuan tersebut tidak haram baginya. Selain itu si suami juga tidak ada hak untuk mengambil mahar darinya, tidak pula ada hak fasakh baginya. Hanya saja, jika mau, si suami boleh meneruskan pernikahan, atau mencerainya,” (Al-Syafi‘i, al-Umm, [Beirut: Darul Ma‘rifah], 1990, cetakan pertama, jilid 5, hal. 13).

Sementara Ibnu Shalah, salah seorang ulama Syafi‘iyah, dalam Fatâwâ-nya menganggap hilangnya keperawanan sebelum akad dianggap sebuah cacat yang membolehkan suami membatalkan pernikahannya (fasakh).

إِذا تزوج امْرَأَة على أَنَّهَا بكر فَلم يكن فَفِي صِحَة النِّكَاح قَولَانِ أصَحهمَا أَنه يَصح وَللزَّوْج الْخِيَار

Artinya, “Jika ada laki-laki menikahi seorang perempuan karena perempuan itu masih perawan, tapi ternyata sudah tidak, maka mengenai keabsahan pernikahannya ada dua pendapat.

Namun, menurut pendapat yang paling kuat, pernikahannya tetap sah. Hanya saja, si suami memiliki hak khiyar fasakh.” (Lihat: Fatâwâ Ibn al-Shalah, [Maktabah al-‘Ulum: Beirut], cetakan pertama, 1407 H, jilid 2, hal. 660).

Pendapat Ibnu Shalah ini sejalan dengan pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal yang dikutip Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu.

Halaman
123
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved