Keluarga 6 Laskar FPI Ternyata Punya Bukti Adanya Pelanggaran HAM Berat, Hari Ini Datangi Komnas HAM
Keluarga 6 Laskar FPI dengan membawa bukti adanya pelanggaran HAM berat akan mendatangi Komnas HAM Senin (21/12/2020) hari ini.
TRIBUNJAMBI.COM, SEMANGGI - Perwakilan keluarga 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) yang ditembak mati polisi, di Jalan Tol Jakarta-Cikampek, KM 50 Senin (7/12/2020) dini hari pukul 00.30 lalu, akan mendatangi Kantor Komnas HAM di Jalan Lauharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (21/12/2020).
Mereka akan didampingi tim kuasa hukum dari Bantuan Hukum Front (BHF) DPP FPI. Bahkan rencananya sejumlah tokoh nasional juga akan menemani para keluarga korban tersebut.
Video: Rekonstruksi Penembakan Enam Laskar FPI Sungguh Dramatis
Anggota tim kuasa hukum dari BHF DPP FPI Aziz Yanuar mengatakan, kedatangan mereka ke Komnas HAM, sambil membawa sejumlah bukti adanya pelanggaran HAM berat terhadap 6 laskar FPI yang ditembak mati polisi itu.
"Kedatangan kami untuk memberikan bukti dan penjelasan versi kami ke Komnas HAM," kata Aziz kepada Warta Kota, Minggu (20/12/2020) malam.
Baca juga: TERNYATA ini Sosok Pembacok Polisi saat Aksi 1812, Ketua PA 212 Yakin Bukan Anggota FPI
Untuk selanjutnya, kata Aziz, pihaknya bersama para keluarga 6 laskar FPI, sejumlah tokoh nasional dan para pecinta serta pendamba tegaknya keadilan dan kebenaran, akan siap selalu mendukung dan mengawal Komnas HAM RI dalam kasus ini.
"Kami siap selalu mengawal Komnas HAM untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta mengungkap tuntas dan jelas soal dugaan kekejian dan pelanggaran HAM berat yang dilakukan polisi terhadap ke 6 syuhada tersebut," papar Aziz.
Pada akhirnya kata Aziz, para keluarga serta pihaknya berharap pelaku dan otak pelanggaran HAM berat atau pihak yang bertanggung jawab dalam kasus ini terungkap secara terang benderang.
"Agar kebenaran dan keadilan ditegakkan kembali," katanya.
Seperti diketahui, dalam kasus penembakan terhadap 6 laskar khusus FPI di Jalan Tol Jakarta-Cikampek, pihak FPI dan Polri khususnya Polda Metro Jaya, memiliki versi berbeda dan bahkan bertentangan.
Baca juga: GEGER 2 Polisi Terkapar Ditikam Massa Aksi 1812, Ketua PA 212: Kami Yakin 100% Mereka Bukan dari FPI
Sebelumnya Munarman selaku kuasa hukum dari keluarga 6 laskar FPI yang ditembak mati polisi, menilai perkembangan penanganan kasus penembakan 6 laskar FPI oleh Bareskrim, makin ngawur dan bak drama komedi.
"Mencermati perkembangan penanganan kasus pembantaian 6 syuhada warga negara Indonesia, yang makin menunjukkan rangkaian drama komedi yang garing, maka kami menyampaikan beberapa hal sebagai berikut," kata Munarman yang juga Sekretaris Umum DPP FPI, dalam keterangannya kepada Warta Kota, Rabu (16/12/2020).
Alasannya, kata Munarman, pertama, pihaknya menolak penanganan perkara dan rekontruksi atau reka ulang atas tragedi pembunuhan dan pembantaian terhadap 6 anggota Laskar FPI, yang dilakukan oleh pihak Kepolisian.
Baca juga: INI Hasil Otopsi Jenazah 6 Laskar FPI, Bareskrim Sebut 18 Luka Tembak, Tidak Ada Tanda Kekerasan
"Kedua, kami meminta kepada Komnas HAM untuk menjadi leading sector untuk mengungkap tragedi pembunuhan dan pembantaian terhadap 6 syuhada anggota Laskar FPI karena merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat," ujar Munarman.
Ketiga kata dia, bahwa penanganan perkara yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dengan menggunakan ketentuan Pasal 170 KUHP Jo. Pasal 1 (1) dan (2) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan atau Pasal 214 KUHP dan atau Pasal 216 KUHP adalah tidak tepat.
"Karena justru menjadikan 6 syuhada anggota Lakskar FPI tersebut adalah sebagai pelaku, yang sejatinya mereka adalah sebagai korban," katanya.
Baca juga: Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran Siap Temui Perwakilan FPI untuk Dialog, Asal Batal Unjuk Rasa
Lagi pula, tambah Munarman, secara hukum acara pidana, dengan mengikuti alur logika pihak kepolisian, maka penanganan perkara yang tersangkanya sudah meninggal tidak bisa lagi dijalankan.
"Janganlah kita bodohi rakyat Indonesia dengan drama komedi yang tidak lucu lagi," kata Munarman.
Keempat, katanya, pihaknya meminta kepada semua pihak untuk menghentikan spiral kekerasan terhadap 6 syuhada anggota Lakskar Pembela Islam.
Baca juga: Pesawat Lion Air dari Batam Tergelincir di Bandara Radin Inten II Lampung, Seluruh Penumpang Selamat
"Mereka keenam korban hanya para pemuda lugu yang mengabdi kepada gurunya, menjaga keselamatan gurunya dan berkhidmat untuk agama," ujar Munarman.
Jadi tambahnya jangan sampai keenam laskar FPI tersebut menjadi korban dari spiral kekerasan.
"Yaitu secara berulang ulang dan terus menerus menjadi korban kekerasan, mulai dari kekerasan fisik dgn terbunuhnya mereka, berlanjut dengan kekerasan verbal berupa fitnah yang memposisikan mereka seolah pelaku dan berlanjut lagi dengan kekerasan struktural yaitu berupa berbagai upaya rekayasa terhadap kasus mereka," papar Munarman.
Baca juga: Pesan Tak Biasa Amien Rais untuk FPI yang Gelar 1812, Sindir Jokowi Berat Sebelah: Jangan Takut!
Kelima, kata dia, pihaknya mengecam atas sikap dan ucapan dari Presiden Republik Indonesia yang justru memberikan justifikasi terhadap tindak kekerasan negara terhadap warga negar sendiri.
"Ini adalah merupakan bukti kekerasan struktural yang paling nyata, yang dilakukan oleh penguasa dan akan melanjutkan tembok impunitas terus berlanjut terhadap aparat negara yang melakukan berbagai pelanggaran HAM terhadap rakyatnya sendiri," katanya.
Apalagi tambahnya dunia saat ini sedang dalam moment memperingati Hari HAM sedunia.
Baca juga: Detik-detik Pesawat Lion Air Berpenumpang 128 Orang Tergelincir di Radin Inten II Saat Hujan Deras
"Jangan sampai Indonesia dikenal di dunia sebagai bangsa tidak beradab, karena menjadikan nyawa rakyat sebagai permainan drama komedi yang tidak lucu," ujarnya.
Kuasa Hukum Sebut Penanganan Kasus Penembakan 6 Laskar FPI Bak Drama Komedi, Ini Alasannya
Sementara itu, kuasa hukum 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) yang ditembak mati polisi, Munarman menilai perkembangan penanganan kasus penembakan 6 laskar FPI oleh Bareskrim makin ngawur dan bak drama komedi.
"Mencermati perkembangan penanganan kasus pembantaian 6 syuhada warga negara Indonesia, yang makin menunjukkan rangkaian drama komedi yang garing, maka kami menyampaikan beberapa hal sebagai berikut," kata Munarman yang juga Sekertaris Umum DPP FPI, dalam keterangannya kepada Warta Kota, Rabu (16/12/2020).
Pertama, kata Munarman, pihaknya menolak penangangan perkara dan rekontruksi atau reka ulang atas tragedi pembunuhan dan pembantaian terhadap 6 anggota Laskar FPI yang dilakukan oleh pihak Kepolisian.
"Kedua, kami meminta kepada Komnas HAM untuk menjadi leading sector untuk mengungkap tragedi pembunuhan dan pembantaian terhadap 6 syuhada anggota Laskar FPI karena merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat," ujar Munarman.
Ketiga kata dia, bahwa penanganan perkara yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dengan menggunakan ketentuan Pasal 170 KUHP Jo. Pasal 1 (1) dan (2) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan atau Pasal 214 KUHP dan atau Pasal 216 KUHP adalah tidak tepat.
"Karena justru menjadikan 6 syuhada anggota Lakskar FPI tersebut adalah sebagai pelaku, yang sejatinya mereka adalah sebagai korban," katanya.
Baca juga: Emosi Dihina Bagian Intimnya Bau Ikan Asin, Vernita Syabilla Laporkan Netizen IG: Katanya Aku PSK!
Lagi pula, tambah Munarman, secara hukum acara pidana, dengan mengikuti alur logika pihak kepolisian, maka penanganan perkara yang tersangkanya sudah meninggal tidak bisa lagi dijalankan.
"Janganlah kita bodohi rakyat Indonesia dengan drama komedi yang tidak lucu lagi," kata Munarman.
Keempat, katanya, pihaknya meminta kepada semua pihak untuk menghentikan spiral kekerasan terhadap 6 syuhada anggota Lakskar Pembela Islam.
Baca juga: HEBOH, Muncul Mutasi Baru Virus Corona di Inggris, Menyebar Jauh Lebih Cepat dan Tak Terkendali
"Mereka keenam korban hanya para pemuda lugu yang mengabdi kepada gurunya, menjaga keselamatan gurunya dan berkhidmat untuk agama," ujar Munarman.
Jadi tambahnya jangan sampai keenam laskar FPI tersebut menjadi korban dari spiral kekerasan.
"Yaitu secara berulang ulang dan terus menerus menjadi korban kekerasan, mulai dari kekerasan fisik dgn terbunuhnya mereka, berlanjut dengan kekerasan verbal berupa fitnah yang memposisikan mereka seolah pelaku dan berlanjut lagi dengan kekerasan struktural yaitu berupa berbagai upaya rekayasa terhadap kasus mereka," papar Munarman.
Baca juga: Nikita Mirzani Akui Makin Terangsang Jika Adegan Seksnya Ditonton Karyawannya: Sama Orang Dekat Aja!
Kelima, kata dia, pihaknya mengecam atas sikap dan ucapan dari Presiden Republik Indonesia yang justru memberikan justifikasi terhadap tindak kekerasan negara terhadap warga negar sendiri.
"Ini adalah merupakan bukti kekerasan struktural yang paling nyata, yang dilakukan oleh penguasa dan akan melanjutkan tembok impunitas terus berlanjut terhadap aparat negara yang melakukan berbagai pelanggaran HAM terhadap rakyatnya sendiri," katanya.
Apalagi tambahnya dunia saat ini sedang dalam moment memperingati Hari HAM sedunia.
Baca juga: Detik-detik Pesawat Lion Air Berpenumpang 128 Orang Tergelincir di Radin Inten II Saat Hujan Deras
"Jangan sampai Indonesia dikenal di dunia sebagai bangsa tidak beradab, karena menjadikan nyawa rakyat sebagai permainan drama komedi yang tidak lucu," ujarnya.
Habib Rizieq Nilai Penetapan Dirinya Sebagai Tersangka Tak Sah dan Tak Berdasar Hukum, Ini Dasarnya
Habib Rizieq menilai penetapan dirinya sebagai tersangka tidak sah dan tak berdasar hukum, ini dasarnya
Habib Rizieq Shihab secara resmi telah mendaftarkan permohonan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka dan penahanan dirinya dalam kasus kerumunan di Petamburan, oleh penyidik Polda Metro Jaya, ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/12/2020).
Pendaftaran gugatan praperadilan dilakukan oleh Tim Advokasi Habib Rizieq.
Anggota Tim Advokasi Habib Rizieq, Aziz Yanuar, mengatakan dalam permohonan praperadilan tersebut pihaknya meminta agar hakim praperadilan menyatakan penetapan tersangka terhadap Imam Besar Muhammad Rizieq Shihab yang dilakukan pihak penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya beserta jajarannya adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum.
Baca juga: Asrama Mako Brimob Kelapa Dua Terbakar, Water Canon Dikerahkan Padamkan Api, 16 KK Terdampak
"Dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, yang berimplikasi segala penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut yang berkaitan dengan penetapan tersangka tersebut -
termasuk penangkapan dan penahanan- juga tidak sah," kata Aziz dalam siaran pers Tim Advokasi Habub Rizieq Shihab kepada Warta Kota, Selasa (15/12/2020) malam.
Dan oleh karenanya, kata Aziz, penetapan itu tidak mempunyai kekuatan mengikat, serta penyidikan atas perkara a quo juga harus dihentikan atau di SP3.
"Bahwa secara garis besar penetapan tersangka tersebut kami rasa mengada-ngada, dan tidak berdasarkan hukum," katanya.
Alasannya menurut dia, antara lain dikarenakan hal sebagai berikut :
1. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 telah mengubah Pasal 160 KUHP yang dikenakan terhadap klien kami sebagai delik materiil, sehingga penerapannya harus pula disandarkan pada bukti materiil, bukan semata-mata berdasarkan selera penyidik, harus jelas siapa yang menghasut, dan siapa yang terhasut sehingga melakukan tindak pidana dan telah terbukti bersalah di pengadilan. Misalnya adanya suatu hasutan sehingga menyebabkan orang terhasut membuat kerusuhan, atau
anarkisme, lalu diputus bersalah oleh pengadilan, dan telah berkuatan tetap.
"Bukti tersebut tidak mungkin ada, karena sebelum ditetapkannya klien kami sebagai tersangka, tidak ada didapati bukti materiil itu," katanya.
Oleh karenanya kata Aziz, pihaknya berpendapat bahwa Pasal 160 KUHP tersebut semata-semata digunakan agar dapat menahan kliennya, sebagai orang yang kritis menyuarakan kebenaran.
2. Bahwa Bahwa Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juga salah jika disangkakan kepada pemohon. "Unsur terpenting dari Pasal tersebut adalah 'menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat'.
Namun faktanya tidak adanya bukti penetapan karantina wilayah, juga tidak mengakibatkan adanya penetapan kedaruratan kesehatan dalam hal ini Karantina Wilayah dan PSBB yang diumumkan oleh pemerintah pusat cq menteri kesehatan yang diakibatkan langsung oleh perbuatan Klien kami.
Sebagaimana itu disyaratkan dalam Pasal 49 ayat (3) UU Nomor 6 Tahun 2018 Kekarantinaan
Kesehatan : “Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri”.
"Maka penggunan pasal tersebut oleh pihak kepolisian kepada klien kami jelas salah, dan mengada-ngada, serta tidak disandarkan pada bukti materiil," katanya.
3. Bahwa hubungan sebab-akibat tersebut di atas harus didukung dengan adanya minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 184 KUHAP, dan karena delik materiil haruslah didukung oleh bukti materiil pula.
"Oleh karena tidak adanya bukti materiil yang mendasari penggunaan Pasal 93 UU
Kekarantinaan Kesehatan sebagai “predicate crime”, dan Pasal 160 KUHP, maka secara otomatis penggunaan Pasal 216 KUHP gugur karena pasal tersebut tidak dapat berdiri sendiri atau harus berkaitan dengan predicatencrime-nya," ujarnya.
Seperti diketahui Habib Rizieq Shihab secara resmi telah mendaftarkan permohonan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka dan penahanan dirinya dalam kasus kerumunan di Petamburan, oleh penyidik Polda Metro Jaya, ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/12/2020).
Pendaftaran gugatan praperadilan dilakukan oleh Tim Advokasi Habib Rizieq.
Anggota Tim Advokasi Habib Rizieq, Aziz Yanuar, menjelaskan pihaknya selaku pemohon ada 3 pihak yang dipraperadilankan atau selaku termohon.
Pertama kata Aziz adalah penyidik perkara laporan polisi Nomor: LP/1304/XI/YAN.2.5/2020/SPKT.PMJ cq Kepala Subditkamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya cq Direktur Direktorat Reskrimum Pold Metro Jaya, yang berlamat di Jalan Jenderal Sudirman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. "Mereka disebut sebagai Termohon I," kata Aziz.
Sementara dua pihak lainnya sebagai termohon II dan termohon III kata Aziz, adalah Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran dan Kapolri Jenderal Idham Azis "Jadi Kapolda dan Kapolri juga termasuk yang kami praperadilankan sebagai termohon," kata Aziz.
Seperti diketahui Habib Rizieq ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dalam dugaan penghasutan untuk melanggar protokol kesehatan saat acara akad nikah putrinya di Petamburan, Jakarta Pusat.
Aziz Yanuar mengatakan pihaknya resmi mendaftarkan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian kepada Habib Rizieq di PN Jakarta Selatan.
"Alhamdulillah, hari ini Selasa 15 Desember 2020, Tim Advokasi HRS resmi mendaftarkan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian kepada IB HRS dengan nomor register 150/Pid.Pra/2020/PN.Jkt.Sel," kata Aziz kepada Warta Kota, Selasa (15/12/2020).
Upaya hukum ini kata AzIz, adalah upaya pihaknya untuk menegakkan keadilan dan memberantas dugaan kriminalisasi ulama.
"Dan meruntuhkan dugaan diskriminasi hukum yang terus menerus diduga terjadi kepada masyarakat, terutama jika berlainan pendapat dengan pemerintah," kata Aziz.
"Ini adalah upaya elegan dan salah satu ikhtiar kami untuk membela kepentingan hukum Ulama Habaib dan Imam Besar kita IB HRS," tambahnya.
Atas upaya hukum yang dilakukannya Aziz memohon doa dan dukungan para pecinta kebenaran dan tegaknya keadilan untuk mendukung.
"Kami juga sangat berharap kepada Allah SWT agar upaya ini didukung oleh Institusi Peradilan sebagai gerbang terakhir harapan masyarakat yang rindu keadilan tegak, tanpa pandang bulu.
Dan dihentikannya segala dugaan bentuk diskriminasi hukum serta dugaan kriminalisasi ulama," kata Aziz. (bum)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Keluarga 6 Laskar FPI Bawa Bukti Adanya Pelanggaran HAM Berat Akan Datangi Komnas HAM Hari Ini
Penulis: Budi Sam Law Malau