Siapa Patih Serunai dan Bukhori? Peraih 'Lokal Heroes' Dari Tribun Network & Tribun Institute
Siapa Patih Serunai dan Bukhori? Peraih 'Local Heroes' Dari Tribun Network & Tribun Institute
TRIBUNJAMBI.COM, MUARA TEBO - Dinilai memiliki kontribusi bagi masyarakat sekitar dan sebagai pahlawan lokal, Tribun Network dan Tribun Institute berikan penghargaan kepada Patih Serunai dan Bukhori sebagai lokal heroes.
Patih Serunai dan Bukhori merupakan Tokoh Adat Suku Talang Mamak yang aktif dalam perjuangan Suku Talang Mamak di Jambi.
Baca juga: Semakin Keji, KKB Papua Selfie dengan Mayat Korbannya Demi Tujuan Jahat Ini!
Baca juga: Daftar Harga HP Samsung Galaxy Lengkap Harian 17 Desember 2020, Low-end A01 Core hingga Note 20
Baca juga: Puluhan Anggota Brimob Dirawat di RS H.A.Thalib Kerinci, Wakapolda Jambi Jenguk BKO Polda Sumsel
Suku Talang Mamak sudah hidup dan berpenghidupan di Dusun Semerantihan Kabupaten Tebo Provinsi Jambi
sejak berabad – abad lalu.
Suku Talang Mamak yang bermukim di Dusun Semerantihan, Desa Suo-Suo, Kabupaten Tebo, mengharapkan pengakuan terhadap wilayah adat mereka.
Sejak tahun 2015, wilayah adatnya, yang juga ruang hidup mereka yakni seluas 7.000 hektare telah masuk dalam izin konsesi perusahaan.
Masyarakat adat ini sedang berjuang supaya mereka bisa diakui wilayah adatnya
demi keberlangsungan hidup dan kehidupan mereka dan anak cucunya.
Hingga berita ini dinaikkan, pemberian penghargaan 'Reinventing Local Heroes' masih berlangsung diikuti 21 lokal heroes di seluruh Indonesia.
Curahan Hati Suku Talang Mamak
Benteng Hutan Mendekati Keruntuhan
Dua pria sedang duduk bersila di atas tikar plastik. Mereka mengenakan batik. Saat berbicara, suaranya mengalir lembut. Senyum dihadirkan kepada orang-orang yang menyapa mereka.
PRIA tersebut merupakan tokoh sentral Suku Talang Mamak, yang bermukim di Dusun Semerantihan, Desa Suo-Suo, Kabupaten Tebo. Mereka bernama Patih Serunai dan Bukhori. Serunai adalah Ketua Adat Suku Talang Mamak. Patih merupakan gelar bagi Serunai. Bukhori adalah wakilnya.
Mereka berdua ditemui Tribun di sekretariat AJI Kota Jambi, pada Jumat (20/11).
Sebelumnya, pada hari yang sama, mereka menjadi narasumber di sebuah webinar, mengangkat isu urgensi pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Provinsi Jambi, diadakan Walhi Jambi.
Sinyal di tempat mereka tidak bagus.
Keduanya juga tak bisa mengoperasikan aplikasi zoom meeting. Akhirnya mereka memutuskan ke Kota Jambi, agar bisa tampil di acara yang dilakukan secara daring tersebut. Selama dua jam acara berlangsung, dan mereka memberi gambaran situasi di dusunnya.
“Kami ini buta huruf, tidak paham yang begini (webinar), makanya kami ke Kota Jambi,” kata Patih Serunai mengulas kegiatan itu. Walau menempuh perjalanan panjang, sekitar 10 jam dari dusunnya, ia merasa senang dan puas, sebab ia bisa mengisahkan kondisi mereka terkini ke masyarakat luas.
Kisah yang ia sampaikan dalam webinar itu pun dia sampaikan lagi dalam wawancara dengan Tribun. Patih Serunai mengungkapkan keresahan yang mereka alami dalam lima tahun terakhir ini. Menurut dia, kini mereka sedang dalam posisi yang sulit, akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak.
Wilayah adat yang juga areal kehidupannya, yakni Dusun Semerantihan, seluas 7000 hektare, telah masuk dalam izin konsesi areal restorasi ekosistem.
Perusahaan restorasi mendapatkan izin yang dikeluarkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Nomor: 7/1/IUPHHK- HA/PMDN/2015. Hutan areal konsesinya seluas 38.655 hektar di Tebo, kawasan hutan hujan tropis dataran rendah.
Patih Serunai dan Bukhori serta masyarakat adat Talang Mamak tidak mengerti mengapa wilayah adat mereka bisa masuk dalam konsesi perusahaan. Padahal mereka sudah sekitar dua abad tinggal dan menetap di sana. Wilayah tersebut mereka tempati turun-temurun, sebelum republik ini berdiri.
“Apakah kami ini sebenarnya masih dianggap sebagai manusia?” nada bicara Serunai meninggi. Dia tak habis pikir mengapa kebijakan seperti itu bisa keluar. Padahal juga, selama ini wilayah adatnya masih sangat bagus dari sisi tutupan hutan dan ekosistemnya. Hutan tak rusak, sungai pun begitu.
Mereka selama ini menjaga supaya jangan sampai ada penebangan pohon sembarangan. Pohon yang ada di hutan itu hanya ditebang mereka untuk kepentingan pembuatan rumah dan fasilitas umum di dusunnya. Tidak boleh asal tebang, ada ritual khusus, tidak semua pohon bisa dibabat.
“Kami percaya ada malaikat yang menjaga pohon-pohon itu. Jadi harus dilihat dulu mana yang bisa ditebang dan mana yang tidak bisa. Kalau ada yang ditebang, diganti dengan menanam bibit pohon yang baru. Makanya pohon di hutan kami tidak berkurang, malahan nambah,” Bukhori menimpali.
Demikian juga dengan sungai. Ia mengatakan sungai di sana airnya masih tetap bersih. Mereka terus menjaganya agar tidak rusak, sebab sebagian bekal hidupnya ada di sana. Rumah juga dibangun di dekat sungai, sebagai bentuk kedekatan mereka dengan sumber air itu. Makanya, hingga kini suku Talang Mamak masih dengan mudah mendapatkan ikan di sungai.
Tidak ada kerakusan untuk mendapatkan sumber pangan dari dalam sungai tersebut. Mereka tidak membenarkan menangkap ikan dalam jumlah besar-besaran, apalagi sampai menggunakan setrum dan racun. Bila melihat orang dari luar datang dengan peralatan menyetrum, akan langsung diusir.
“Kami juga selama ini tidak memburu binatang-binatang yang dilindungi seperti harimau dan gajah,” ujar Patih Serunai. Ia pun berujar, bahwa sukunya sangat dekat dengan harimau. Tidak ada cerita harimau mengganggu mereka. Harimau punya tempat tersendiri dalam kehidupan mereka, dan juga kerap mereka beri makan. “Tidak ada cerita suku kami mati karena harimau,” tambahnya.
Hal inilah yang membuat Patih Serunai dan Bukhori serta masyarakat adat Talang Mamak mengkritisi masuknya wilayah mereka dalam areal restorasi. Bagi mereka, memasukkan wilayahnya dalam areal konsesi perusahaan, adalah sikap negara yang hingga kini belum mengakui keberadaan mereka.
Ini juga dipertegas dengan kondisi pembangunan infrastruktur di dusunnya. Mereka masih harus lewat jalan tanah tak beraspal untuk bisa sampai ke Desa Suo-Suo. Ada kalanya harus jalan kaki. Pada saat musim hujan, jalan tanah itu nyaris tak bisa dilewati kendaraan. Bakal lebih lama naik motor dibandingkan jalan kaki. Jaraknya tempuhnya ke desa Suo-Suko sekitar tujuh kilometer.
Baca juga: Patih Serunai, Satu di Antara 21 Local Heroes Dapat Penghargaan Dari Tribun Network, Ini Harapannya
Kondisi seperti ini pula yang membuat mereka sejak dulu tidak sekolah. Jarak sekolah ke dusunnya terlalu jauh, sulit dijangkau. Generasi di bawah merekalah yang baru mengenal sekolah. Warganya yang paling tinggi pendidikannya adalah SMA, yang saat ini masih sekolah. Belum ada sarjana.
Di dusun ini baru berdiri TK yang dibangun yayasan dan sebuah sekolah dasar. Ruang kelas SD ini hanya dua lokal. Satu lokal untuk kelas 1-3, dan satu lokal lagi untuk kelas 4-6. Siswanya memang tak banyak. Sementara secara keseluruhan, jumlah warga Dusun Semerantihan ini sekitar 300 orang.
Satu di antara anak yang sedang menimba ilmu di SMA itu adalah anak dari Patih Serunai. Dia bilang akan memperjuangkan anaknya hingga batas kemampuan akhirnya. Selama anaknya mau sekolah, ia akan berusaha memenuhinya. Tujuannya satu, anaknya bisa mengubah nasib kaumnya di dusun itu.
“Kami selama ini dengan mudah dipeloloi (diperdaya) orang-orang dari luar karena kami ini tidak tahu huruf. Makanya saya sangat berjuang agar ada sekolah di dusun kami, dan menyekolahkan anak-anak dusun kami, supaya jangan lagi ada yang mempeloloi kami,” tutur Serunai.
Abdullah, pengurus Walhi Eksekutif Daerah Jambi, yang juga turut dalam pertemuan itu mengatakan faktor pendidikan ini telah turut serta membuat suku ini semakin termarginalkan. Banyak orang luar yang masuk dengan kepentingan masing-msing, dan dengan mudah memperdaya kelompok ini.
“Mereka sering menyetujui di atas kertas sesuatu yang tak mereka tahu, membubuhkan cap jempol di kertas, ganti tanda tangan. Mereka tidak bisa baca tulis. Banyak orang pintar yang datang, tega untk memperdaya mereka,” tutur Abdullah. Ia menyebut satu di antara solusi terhadap persoalan Suku Talang Mamak ini adalah menghadirkan regulasi pengakuan masyarakat adat. (suang sitanggang)
(Tribunjambi.com/ Darwin Sijabat/Suang Sitanggang)
Baca juga: Inilah Penampakan 7 Jenis Ikan Cupang Termahal dan Banyak Dicari, Halfmoon hingga Kachen Worchai