Siapa Patih Serunai dan Bukhori? Peraih 'Lokal Heroes' Dari Tribun Network & Tribun Institute

Siapa Patih Serunai dan Bukhori? Peraih 'Local Heroes' Dari Tribun Network & Tribun Institute

Editor: Heri Prihartono
tribunjambi/darwin sijabat
Tribun Network dan Tribun Institute berikan penghargaan kepada Patih Serunai dan Bukhori sebagai lokal heroes 

Perusahaan restorasi mendapatkan izin yang dikeluarkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Nomor: 7/1/IUPHHK- HA/PMDN/2015. Hutan areal konsesinya seluas 38.655 hektar di Tebo, kawasan hutan hujan tropis dataran rendah.

Patih Serunai dan Bukhori serta masyarakat adat Talang Mamak tidak mengerti mengapa wilayah adat mereka bisa masuk dalam konsesi perusahaan. Padahal mereka sudah sekitar dua abad tinggal dan menetap di sana. Wilayah tersebut mereka tempati turun-temurun, sebelum republik ini berdiri.

“Apakah kami ini sebenarnya masih dianggap sebagai manusia?” nada bicara Serunai meninggi. Dia tak habis pikir mengapa kebijakan seperti itu bisa keluar. Padahal juga, selama ini wilayah adatnya masih sangat bagus dari sisi tutupan hutan dan ekosistemnya. Hutan tak rusak, sungai pun begitu.

Mereka selama ini menjaga supaya jangan sampai ada penebangan pohon sembarangan. Pohon yang ada di hutan itu hanya ditebang mereka untuk kepentingan pembuatan rumah dan fasilitas umum di dusunnya. Tidak boleh asal tebang, ada ritual khusus, tidak semua pohon bisa dibabat.

“Kami percaya ada malaikat yang menjaga pohon-pohon itu. Jadi harus dilihat dulu mana yang bisa ditebang dan mana yang tidak bisa. Kalau ada yang ditebang, diganti dengan menanam bibit pohon yang baru. Makanya pohon di hutan kami tidak berkurang, malahan nambah,” Bukhori menimpali.

Demikian juga dengan sungai. Ia mengatakan sungai di sana airnya masih tetap bersih. Mereka terus menjaganya agar tidak rusak, sebab sebagian bekal hidupnya ada di sana. Rumah juga dibangun di dekat sungai, sebagai bentuk kedekatan mereka dengan sumber air itu. Makanya, hingga kini suku Talang Mamak masih dengan mudah mendapatkan ikan di sungai.

Tidak ada kerakusan untuk mendapatkan sumber pangan dari dalam sungai tersebut. Mereka tidak membenarkan menangkap ikan dalam jumlah besar-besaran, apalagi sampai menggunakan setrum dan racun. Bila melihat orang dari luar datang dengan peralatan menyetrum, akan langsung diusir.

“Kami juga selama ini tidak memburu binatang-binatang yang dilindungi seperti harimau dan gajah,” ujar Patih Serunai. Ia pun berujar, bahwa sukunya sangat dekat dengan harimau. Tidak ada cerita harimau mengganggu mereka. Harimau punya tempat tersendiri dalam kehidupan mereka, dan juga kerap mereka beri makan. “Tidak ada cerita suku kami mati karena harimau,” tambahnya.

Hal inilah yang membuat Patih Serunai dan Bukhori serta masyarakat adat Talang Mamak mengkritisi masuknya wilayah mereka dalam areal restorasi. Bagi mereka, memasukkan wilayahnya dalam areal konsesi perusahaan, adalah sikap negara yang hingga kini belum mengakui keberadaan mereka.

Ini juga dipertegas dengan kondisi pembangunan infrastruktur di dusunnya. Mereka masih harus lewat jalan tanah tak beraspal untuk bisa sampai ke Desa Suo-Suo. Ada kalanya harus jalan kaki. Pada saat musim hujan, jalan tanah itu nyaris tak bisa dilewati kendaraan. Bakal lebih lama naik motor dibandingkan jalan kaki. Jaraknya tempuhnya ke desa Suo-Suko sekitar tujuh kilometer.

Baca juga: Patih Serunai, Satu di Antara 21 Local Heroes Dapat Penghargaan Dari Tribun Network, Ini Harapannya

Kondisi seperti ini pula yang membuat mereka sejak dulu tidak sekolah. Jarak sekolah ke dusunnya terlalu jauh, sulit dijangkau. Generasi di bawah merekalah yang baru mengenal sekolah. Warganya yang paling tinggi pendidikannya adalah SMA, yang saat ini masih sekolah. Belum ada sarjana.

Di dusun ini baru berdiri TK yang dibangun yayasan dan sebuah sekolah dasar. Ruang kelas SD ini hanya dua lokal. Satu lokal untuk kelas 1-3, dan satu lokal lagi untuk kelas 4-6. Siswanya memang tak banyak. Sementara secara keseluruhan, jumlah warga Dusun Semerantihan ini sekitar 300 orang.

Satu di antara anak yang sedang menimba ilmu di SMA itu adalah anak dari Patih Serunai. Dia bilang akan memperjuangkan anaknya hingga batas kemampuan akhirnya. Selama anaknya mau sekolah, ia akan berusaha memenuhinya. Tujuannya satu, anaknya bisa mengubah nasib kaumnya di dusun itu.

“Kami selama ini dengan mudah dipeloloi (diperdaya) orang-orang dari luar karena kami ini tidak tahu huruf. Makanya saya sangat berjuang agar ada sekolah di dusun kami, dan menyekolahkan anak-anak dusun kami, supaya jangan lagi ada yang mempeloloi kami,” tutur Serunai.

Abdullah, pengurus Walhi Eksekutif Daerah Jambi, yang juga turut dalam pertemuan itu mengatakan faktor pendidikan ini telah turut serta membuat suku ini semakin termarginalkan. Banyak orang luar yang masuk dengan kepentingan masing-msing, dan dengan mudah memperdaya kelompok ini.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved