Benarkah Pejabat Korupsi Gara-gara Ongkos Politik Sangat Mahal? Berikut Ini Penjelasan Lengkapnya
Publik kerapkali bertanya-tanya mengenai apa penyebab sebenarnya pejabat nekat melakukan korupsi.
TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Baru-baru ini Jajaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dua menteri yang terlibat kasus korupsi.
KPK terus menangkap pejabat korupsi di Indonesia, khususnya di masa pandemi virus corona atau Covid-19.
Namun, publik kerapkali bertanya-tanya mengenai apa penyebab sebenarnya pejabat nekat melakukan korupsi.
Lalu sebenarnya, apa penyebab pejabat korupsi? Benarkah gara-gara ongkos politik sangat mahal sehingga para pejabat korupsi?
Baca juga: Gasak Uang Rp 14 Juta Milik Pengusaha Telur, Dua Warga Kota Jambi Ini Diringkus Polisi
Edhy ditetapkan sebai tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait perizinan tambak, usaha, atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejanis lainnya tahun 2020.
Kedua, Menteri Sosial Juliari P Batubara yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sebagai tindak lanjut atas OTT pada Jumat (5/12/2020) dini hari.
Juliari menyerahkan diri di Gedung KPK pada Minggu (6/12/2020) pukul 02.45 WIB.

Ilustrasi korupsi(SHUTTERSTOCK/ATSTOCK PRODUCTIONS)
Dia diduga terlibat dalam kasus korupsi dana bantuan sosial penanganan Covid-19.
Baca juga: Beredar, Sprindik KPK Soal Pengadaan Alat Rapid Test Erick Thohir, Ali Bantah KPK Mengeluarkan
Ongkos politik sangat mahal
Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan, penangkapan dua menteri dalam waktu berdekatan oleh KPK menandakan perlunya pembenahan sistem politik di Indonesia.
Salah satu hal yang perlu dibenahi, menurut dia, penataan ulang ongkos politik di Indonesia yang saat ini sangat mahal (high cost politic).
"High cost politic memaksa para politisi untuk menempel secara simbiosis-mutualisme dengan para pengusaha," kata Halili saat dihubungi Kompas.com, Minggu (6/12/2020).
Dia menyebutkan, pendanaan politik di Indonesia bersifat "liar".
Artinya, setiap politisi diduga dipaksa untuk mencari sumber-sumber pendanaan bagi kegiatan politiknya secara mandiri.
"Sehingga bagi para politisi yang tidak punya uang, mereka cari sumber-sumber (dana) yang kemudian imbalannya adalah proyek pasca kemenangan," kata dia.
Menurut dia, hal ini menjadi peluang besar terjadinya korupsi.
Baca juga: Hari Antikorupsi Dunia, Novel Baswedan Sebut Korupsi di Masa Covid-19 hingga Upaya Pelemahan KPK
Kebanyakan politisi adalah pengusaha
Halili mengatakan, hal lain yang perlu dikritisi dari dinamika politik Tanah Air saat ini adalah kenyataan bahwa sebagian besar politisi berasal dari kalangan pengusaha.
"Itu kan bukti bahwa uang sesungguhnya menentukan kepolitikan kita. Bukan gagasan, bukan kompetensi, bukan idealisme," ujar dia.
Halili mengungkapkan, hal seperti itu tidak ditemui di ranah politik negara-negara maju.
Menurut Halili, di negara-negara semacam itu, idealisme dan kompetensi menjadi faktor utama agar seorang politisi bisa duduk di pemerintahan.
"Kalau kita lihat negara-negara maju, yang membuat seorang politisi itu bisa duduk dalam sebuah jabatan publik yang menentukan hajat hidup orang banyak, menentukan konversi dari aspirasi menjadi political policy"
"itu kan hanya mungkin jika mereka punya idealisme, hanya mungkin jika mereka punya kompetensi. Enggak bisa kalau hanya punya uang," kata Halili.
Sebaliknya, Halili mengatakan, praktik yang umum dijumpai di Indonesia adalah politisi yang menjalin hubungan saling menguntungkan dengan pengusaha, atau pengusaha yang kemudian terjun ke dunia politik.
"Akibatnya, korupsi yang hari-hari ini kita saksikan, itu salah satu dampak simptom patogenik. Jadi memang penyakit yang agak sulit disembuhkan," kata Halili.
Baca juga: Sebelum Jadi Tersangka Suap, Mensos Juliari P Batubara Pernah Bahas Pencegahan Korupsi Bersama KPK
Apa solusinya?
Halili memaparkan, salah satu cara untuk membenahi ongkos politik Indonesia yang saat ini sangat mahal adalah pendanaan dari negara untuk membiayai proses-proses politik, terutama yang bersifat reguler seperti Pemilihan Umum atau kepartaian.
"Saya sangat yakin jika pendanaan partai politik, kemudian ongkos politik, terutama pemilu, pencalonan, dilakukan oleh negara itu akan lebih mudah mendeteksi"
"sekaligus mengantisipasi adanya tindakan korupsi atau penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh para politisi," kata Halili.
"Hanya memang catatannya, apakah kita mampu membangun sistem akuntabilitas untuk pembiayaan politik oleh negara itu? Itu sesungguhnya pertanyaannya," ujar dia.
Namun, Halili yakin, pembiayaan politik oleh negara itu lebih memiliki daya paksa agar para politisi tidak main-main.
Apalagi sampai mencari uang dari sumber-sumber yang tidak dibenarkan.
"Kalau sistem akuntabilitas itu kan sebenarnya gampang. Misalnya, ASN yang jumlahnya sebegitu banyaknya di seluruh kementerian dan lembaga itu bisa kok "ditertibkan""
"melalui, salah satunya, LHKASN (Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara) kemudian yang pejabat itu LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara)," ujar Halili.
Menurut Halili, pembiayaan politik oleh negara bukan hal yang mustahil.
Hal itu bisa dicapai dengan memperkuat aspek pengawasan atas sistem pembiayaan politik itu. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ongkos Politik Mahal, Inikah Penyebab Pejabat Korup?"