Foto Anies Baswedan Pancing Keributan, Fahri Hamzah, Fadli Zon, DPR Sampai Istana Lansung Bereaksi
Sosok Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terus jadi perbincangan dan perhatian publik.
Foto Anies Baswedan Pancing Keributan, Fahri Hamzah, Fadli Zon, DPR Sampai Istana Lansung Bereaksi
TRIBUNJAMBI.COM - Sosok Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terus jadi perbincangan dan perhatian publik.
Setelah namanya heboh karena sejumlah acara Rizieq Shihab yang dianggap melanggar protokol kesehatan, kini Anies Baswedan kembali ramai diperbincangkan warganet karena unggahan fotonya di media sosial Instagram.
Unggahan foto Anies Baswedan yang menunjukkan dirinya sedang bersantai menui banyak komentar, bahkan memancing keributan di media sosial. Banyak yang mengkritik tapi ada juga yang mendukung.
Postingan tersebut diunggah pada hari Minggu 22, November 2020.
Dalam unggahannya, Anies menuliskan caption berupa "Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi."
Baca juga: Balai Kota Digeruduk Demonstran, Pertemanan Anies dengan Habib Rizieq Jangan Korbankan Warga DKI
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu terlihat sedang duduk di kursi dengan latar belakang lemari buku kayu dan beberapa furnitur.

Satu hal yang menjadi sorotan warganet adalah buku yang ia baca pada postingan tersebut.
Anies menunjukkan dirinya sedang membaca buku "How Democracies Die".
Perlu diketahui, buku tersebut ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Sejumlah figur publik pun turut mengomentari foto ini, berikut rangkumannya:
Politikus PPP Arwani Thomafi
"Terkait dengan unggahan Pak Anies sedang membaca buku 'How Democracies Die', karena ini sudah diunggah di publik media sosial jadi sah-sah saja netizen mau menafsirkan seperti apa."
"Bahwa Pak Anies sedang memikirkan negara ini seperti apa," ujar politikus PPP Arwani Thomafi, Senin (23/11/2020).
Politikus PAN Saleh Daulay
Saleh mengatakan, sah-sah saja publik menafsirkan seperti itu.
"Bisa saja mereka mengatakan foto Anies Baswedan yang sedang membaca buku itu sebagai kritikan kepada pemerintah, karena kita tahu kasus belakangan ini."
"Tetap satu hal yang penting pemerintah pusat dan daerah harus sama-sama sinergi untuk memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat," katanya.
Politikus Partai Golkar Ace Hasan
Sementara politikus Partai Golkar Ace Hasan cukup senang dengan buku yang dibaca Anies.
Menurutnya itu merupakan kekayaan intelektual yang harus dimiliki kepala daerah.
Tapi, menurut Ace, hal itu harus diterjemahkan secara konkret dalam praktiknya.
Baca juga: Karang Taruna se-DKI Siap Pasang Badan Bela Anies Baswedan: Jangan Ganggu Gubernur DKI Jakarta!
"Kita harus komitmen dalam menegakkan demokrasi seperti kelembagaan."
"Perlu didukung juga democratic value atau nilai-nilai demokrasi yang menopang tumbuhkan demokrasi."
"Salah satunya bangun toleransi, nilai kebajikan," kata Ace.
Selain itu, sambung Ace, jangan melakukan politisasi SARA yang dapat mengganggu pluralisme yang ada di Indonesia.
Kita harus konsisten tidak hanya kelembagaan, tapi juga menegakkan nilai-nilai demokrasi.
"Menebar kekerasan baik fisik dan verbal, ingin menang sendiri, itu sikap yang bertentangan dengan nilai demokrasi."
"Demokrasi akan tumbuh tidak hanya lembaga, tapi nilai demokrasi," imbuhnya.
Jadi menurut Ace, unggahan Anies tidak memiliki masalah baginya.
Namun dia berharap unggahan itu bukan gimmick untuk menunjukkan demokrasi secara kelembagaan, tapi juga ditunjukkan dengan sikap dan perilaku tidak menebar politisasi SARA.
"Membiarkan untuk tidak tegas dalam penegakan aturan protokol kesehatan."
"Itu yang dimungkinkan dalam konteks," pungkasnya.
Fadli Zon

Fadli Zon menirukan gaya Anies Baswedan.
Namun dirinya membaca buku dengan berjudul berbeda, meski masih tentang demokrasi.
Dirinya mengunggah foto dengan membaca buku 'Demokrasi Kita' tulisan dari Wakil Presiden pertama, Mohammad Hatta.
Disebutnya bahwa buku terbitan 1960 itu masih relevan untuk menggambarkan kondisi yang terjadi saat ini, khususnya berkaitan dengan demokrasi yang bersifat otoritarian.
"Sy baca ulang buku “Demokrasi Kita” karya Mohammad Hatta yg terbit 1 Mei 1960, 60 thn lalu. Kok masih relevan dengann keadaannya hampir sama dg skrg. Hatta kritik tajam pemerintahan Demokrasi Terpimpin yg otoritarian di bwh Presiden Soekarno. Buku kecil ini kemudian dilarang," tulis Fadli Zon.
Fahri Hamzah

Sementara itu mantan rekannya sebagai wakil ketua DPR, Fahri Hamzah justru mengatakan bahwa dirinya sudah lama mempersoalkan buku tersebut, yakni setahun yang lalu.
Hal itu dibuktikan dengan cuittan dari Fahri Hamzah pada tahun 2019 yang sudah membahas buku 'How Democracy Die' tersebut.
Dalam cuittan setahun lalu itu, Fahri Hamzah mengatakan nasib demokrasi ditentukan oleh kudeta militer dan sistem pemilihan umum.
"Sebetulnya itu adalah kesimpulan 2 guru besar universitas Harvard: Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Dalam buku mereka yang terkenal “How Democracy Die”, mereka menuturkan bagaimana demokrasi bisa mati oleh kudeta militer atau oleh pemilu yang menaikkan para pemimpin curang," kata Fahri Hamzah.
Budiman Sudjatmiko

Budiman Sudjatmiko juga turut memberikan komentarnya.
Dirinya mengakui lebih memilih orang yang membaca satu buku namun mendapatkan banyak pikiran, ketimbang banyak buku namun hanya sebatas menjadi kutipan belaka.
"Saya tak pernah terkesan dgn orang yg membaca buku sampai saya berdiskusi membedah isi dengannya.
Lebih baik orang membaca 1 buku & dia keluarkan banyak pikirannya sendiri ketimbang dia membaca banyak buku tp isi perkataannya cuma hasil kutipan buku yg dibaca," ucapnya.
Jubir Fadjroel Rachman

Selanjutnya ada juru Bicara Presiden Joko Widodo (Jokowi), Fadjroel Rachman.
Dirinya mengunggah sebuah foto buku berjudul Democracy Without the Democrats.
Buku tersebut rupanya karya dari Fadjroel sendiri yang ditulis ketika dalam tahanan di Nusakambangan dan Sukamiskin.
"Perjuangan demokratisasi demokrasi itu perjuangan tanpa akhir. Perjuangan demokrasi sejak kemerdekaan, dihadang tahapan antidemokrasi hingga #Reformasi21Mei1998 dan sekarang terus membongkar lembaga, regulasi dan orang2 yang memanfaatkan demokrasi utk menghancurkan demokrasi ~ FR," tulis Fadjroel.
Yunarto Wijaya

Lebih lanjut, ada juga tanggapan Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi.
Yunarto Wijaya kali ini justru memberikan sindiran kepada Anies.
Dirinya mengingatkan Anies terkait musibah banjir di musim hujan.
Baca juga: Cuma Gus Dur yang Berani, Yunarto Wijaya Kecewa Sampai Tulis: Anis, Jokowi, Doni Monardo Sami Mawon
Oleh karenanya, ia meminta kepada Anies supaya lebih baik mengurusi pengerukan sungai.
"Pakgub lagi belajar cara membuat demokrasi mati? Mending urusin pengerukan sungai pak, mulai hujan mulu...," tulis Yunarto Wijaya.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad menilai unggahan foto Anies Baswedan di Instagram adalah biasa saja.
Dasco berpandangan terlalu jauh jika dikaitkan dengan demokrasi di Indonesia.
"Saya pikir yg diupload pak Anies biasa saja karena upload di hari minggu. kalo mengaitkan dengan sistem demokrasi di Indonesia terlalu jauh,"ujar Dasco.
Namun, Dasco menilai terlalu jauh jika buku itu dikaitkan dengan sistem demokrasi di Indonesia.
"Karena sistem Demokrasi di Indonesia punya sistem sendiri, konstitusi sendiri, UU sendiri sehingga terlalu jauh dikaitkan dengan buku yang dibaca pada hari minggu itu,"lanjut Dasco.
Perlu diketahui, buku tersebut juga tersedia dalam versi terjemahan di Google Books.
Dalam sinopsinya, buku tersebut menceritakan kematian demokrasi dengan terplihnya banyak pemimpin otoriter.
Kepemimpinan otoriter dinilai akan menyalahgunakan kekuasaan pemerintahan, dan penindasan total atas oposisi.
Gejala-gejala kematian demokrasi dinilai sedang terjadi di seluruh dunia dan pembaca diajak untuk mengerti untuk cara menghentikan kematian demokrasi ini.
Dua penulis merupakan profesor dari Harvard yang menerangkan sejarah dan kerusakan rezim selama abad ke-20 dan ke 21 dan menunjukan bahayanya pemimpin otoriter ketika menghadapi krisis besar.
"Berdasarkan riset bertahun-tahun keduanya menyajikan pemahaman mendalam mengenai mengapa dan bagaimana demokrasi mati," tulis sinopsis dalam Google Books.
Buku tersebut memuat analisis pemicu kewaspadaan bagaimana demokrasi didesak oleh kekuasaan yang otoriter dan mengancam pemerintah, partai politik, dan individu.
"Kita bisa melindungi demokrasi kita dengan belajar dari sejarah, sebelum terlambat," tulis sinopsis buku tersebut.
Buku berjudul "Bagaimana Demokrasi Mati" ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama 2019 dengan tebal 288 halaman. (TribunNewsmaker/ Irsan Yamananda)
Artikel ini telah tayang di Tribunnewsmaker.com dengan judul Anies Baswedan Unggah Foto Baca Buku Bagaimana Demokrasi Mati, Ini Komentar Sejumlah Politikus & DPR.