Tribun Wiki
WIKI JAMBI Catatan Perjuangan Dua Pahlawan Asal Jambi, Sultan Thaha Syaifuddin dan Raden Mattaher
Sebelum ini, nama Sultan Thaha Syaifuddin menjadi satu-satunya tokoh Jambi yang mendapat gelar pahlawan nasional.
Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Rian Aidilfi Afriandi
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Pada peringatan Hari Pahlawan 2020 ini, Pemerintah RI menganugerahkan gelar pahlawan kepada Raden Mattaher.
Raden Mattaher merupakan tokoh kedua asal Jambi yang dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Sebelum ini, nama Sultan Thaha Syaifuddin menjadi satu-satunya tokoh Jambi yang mendapat gelar pahlawan nasional.
Siapa kedua sosok pahlawan tersebut?
Baca juga: Imbas Kepulangan Rizieq Shihab, Lion Air Group Bebaskan Biaya Reschedule, Begini Caranya
Baca juga: Pilot Gagal Terbang dan Harus Bayar Ojek Rp 300.000, Akibat Pendukung Rizieq Shihab Padati Jalan
Baca juga: DAFTAR Presiden AS Yang Cuma Menjabat Satu Periode, Termasuk Donald Trump Yang Tidak Terpilih Lagi
Sultan Thaha Syaifuddin
Nama Sultan Thaha Syaifuddin sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Provinsi Jambi.
Dia telah diangkat sebagai pahlawan nasional yang telah membumi dari negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, melalui Keputusan Presiden Rapublik Indonesia (Kepres RI) no 079 TK/ 1977.
Dia adalah keturunan ke-17 dari Ahmad Salim (Datuk Paduko Berhalo) dan Putri Selaras Pinang Masak.
Sultan Thaha dilahirkan pada 1816, di Keraton Tanah Pilih Jambi.
Ayahnya adalah seorang Raja di Kejaraan Melayu Jambi, bernama Sultan Muhammad Fachrudin.
Pahlawan yang dikenal dengan kegigihannya berjuang di Tanah Jambi itu memiliki nama kecil Raden Thaha Jayadiningrat.
Menginjak usia remaja, Raden Thaha sudah menonjolkan karakter sebagai seorang pemimpin.
Anak Raja Kerajaan Melayu Jambi itu merupakan sosok yang berpendirian teguh dan tegas dalam mengambil keputusan, bersikap terbuka, lapang dada, berjiwa kerakyatan, dan taat menjalankan agama Islam.
Baca juga: Syarat Beli Tiket Pesawat Promo Sriwijaya Air Seharga Rp 170 Ribu ke Berbagai Rute, Hanya Hari Ini!
Raden Thaha juga sempat menuntut ilmu agama di Kesultanan Aceh selama dua tahun.
Selain mendapatkan ilmu agama, dia juga mendapatkan pendidikan tentang kebangsaan.
Semangat juang untuk menegakkan Islam dan tekad untuk menentang imperialisme Belanda selalu tertanam dalam jiwanya.
Dengan semangat dan tekad itu, Sultan Aceh kemudian menyematkan nama imbuhan padanya, yakni Syaifuddin yang berarti pedang agama.
Sejak saat itulah, Raden Thaha mulai dikenal dengan nama Raden Thaha Saifuddin.
Kembali dari perantauannya, dia diberi kepercayaan sebagai duta keliling yang tugasnya mempererat hubungan persahabatan dan ukhuwah Islamiyah dengan kerajaan-kerajaan sahabat di Malaya, Tumasik (Singapura), juga di Patani (Siam). Pada tahun 1841, ayahnya wafat.
Tahtanya diserahkan kepada pamannya, Abdurrahman Zainuddin.
Raden Thaha Saifuddin diangkat sebagai Pangeran Ratu (putra mahkota) dengan gelar Pangeran Ratu Jayadiningrat sekaligus Perdana Menteri.
Raden Thaha naik tahta ketika Sultan Abdurrahman Zainuddin wafat. Dia dinobatkan sebagai raja Kerajaan Melayu Jambi.
Dalam pidato pengukuhannya, dia menyatakan rasa tidak senang terhadap Belanda. Itu pula yang menjadi alasan Sultan Thaha Saifuddin membatalkan semua perjanjian yang telah dibuat sultan-sultan terdahulu.
Dia menganggap perjanjian itu tidak adil, juga sangat merugikan rakyat dan Kesultanan Jambi.
Baca juga: Hari Pahlawan 2020 di Jambi, Kapolda Pimpin Tabur Bunga di Taman Makam Pahlawan (TMP) Satria Bhakti
Mendengar pernyataan itu, pemerintah Belanda memberi wewenang kepada residen yang berkedudukan di Palembang untuk berunding, agar Kesultanan Jambi mau mengakui pemerintahan Belanda.
Dalam rundingan itu disebutkan, Sultan Thaha Saifuddin tetap berkuasa, namun wilayah kekuasaannya diakui sebagai pinjaman dari pemerintahan Belanda.
Dengan tegas, Sultan Thaha Saifuddin menentang.
Bahkan, dia menyatakan kerajaan Jambi adalah hak rakyat Jambi dan akan dipertahankan hingga tetes darah penghabisan.
Pertempuran tak dapat dielakkan dan pecah sejak 1858.
Pertempuran terus meluas hingga ke daerah-daerah di wilayah Jambi.
Dalam peperangan panjang itu, Sultan Thaha Saifuddin beserta pasukannya melakukan gerilya ke daerah Uluan, guna menghindari kepungan musuh.
Berbagai taktik dilakukan dalam pertempuran itu.
Dalam pertempuran sengit itu, Sultan Thaha dan pasukannya sempat melumpuhkan pertahanan Belanda di Batang Asai.
Selain itu, bersama pasukannya, dia juga berhasil menenggelamkan kapal perang Hotman milik Belanda bersama Raden Mattaher.
Selama menjabat, Sultan Thaha Saifuddin melakukan banyak hubungan diplomasi dengan beberapa negara, seperti Turki, Inggris, dan Amerika.
Tujuannya, untuk memperoleh bantuan persenjataan dan amunisi, guna menghadapi pertempuran dengan Belanda.
Masa perlawanan terhadap Belanda di bawah kepemimpinan Sultan Thaha berlangsung sekitar 46 tahun.
Sultan Thaha gugur pada 27 April 1904 di Betung Bedarah dalam usia 88 tahun. Dia dimakamkan di Tebo.
Sepeninggal Sultan Thaha Saifuddin, perjuangan melawan Belanda tidak sampai di situ.
Satu di antara pengikut setianya, Muhammad Thahir, yang lebih dikenal dengan Raden Mattaher melanjutkan perjuangannya, memegang panji Kerajaan Melayu dan rakyat Jambi.
Baca juga: Bansos Rp 300 Ribu Cair Bulan November 2020, Cara Cek di cekbansos.siks.kemsos.go.id
Raden Mattaher
Pada 10 November 2020, Pemerintah RI menganugerahi gelar pahlawan pada Raden Mattaher.
Raden Mattaher terlahir dengan nama Raden Mohammad Tahir. Dia dilahirkan di Dusun Sekamis, Kasau Melintang Pauh, Air Hitam, Bathin VI, Jambi, pada 1871.
Ayahnya bernama Pangeran Kusin, sedangkan ibunya bernama Ratumas Esa (Ratumas Tija), seorang perempuan kelahiran Mentawak Air Hitam Pauh.
Dalam silsilahnya, Raden Mattaher bin Raden Kusin gelar Pangeran Jayoninggrat bin Pangeran Adi bin Raden Mochamad gelar Sultan Mochammad Fachruddin tidak jauh dari pahlawan nasional asal Jambi, Sultan Thaha Syaifuddin.
Raden Mattaher merupakan cucu Sultan Thaha Syaifuddin.
Tali keluarga Raden Mattaher dan Sultan Thaha Syaifuddin karena kakek Raden Mattaher bernama Pangeran Adi merupakan saudara kandung Sultan Thaha Syaifuddin.
Sosok Raden Mattaher punya peran sentral dalam menumpas penjajahan Belanda pada masa kolonialisme di wilayah Jambi.
Dia dikenal dengan taktik gerilyanya. Pada 1858, bersama Sultan Thaha Syaifuddin dan para pasukan, dia ikut menenggelamkan kapal Belanda di Sungai Kumpeh.
Dari keberanian dan perjuangan itulah Raden Mattaher mendapat julukan Singo Kumpeh.
Raden Mattaher wafat pada 10 September 1907.
Raden Mattaher termasuk satu di antara yang memegang tampuk perjuangan pascagugurnya Sultan Thaha Syaifuddin.
Kamis, 10 September 1907 dini hari, Raden Mattaher mengembuskan napas terakhirnya.
Kematian syahid menjemputnya. Peluru Belanda menembus kulitnya.
Pusaranya terletak di pemakaman raja-raja, di tepi Danau Sipin.
Sementara itu, kelingkingnya ditanam di Desa Muaro Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muarojambi.