Kisah Penjaga Rimba Terakhir Dalam Buku, Berkat Sepotong Ubi Rebus dan Jasa Gus Dur Bagi Orang Rimba

Sandra Moniaga bersemangat sangat mengulas buku 'Menjaga Rimba Terakhir' yang ditulis Mardiyah Charmin diterbitkan KKI Warsi.

Penulis: Suang Sitanggang | Editor: Suang Sitanggang
IST/KKI WARSI
Anak-anak Orang Rimba tengah belajar 

Permintaan disanggupi Gus Dur dengan memerintahkap jajaran kehutanan menghentikan pembalakan liar di TNBD, setelah sebelumnya dilakukan pencabutan izin HTI yang beroperasi di kawasan itu.

Keputusan Gus Dur yang pro kemanusiaan ini kemudian hendak dibelokkan tahun 2005. Saat itu pemerintah menggunakan jasa konsultan membuat rancangan pengelolaan taman nasional.

Rupanya konsultan mengalokasikan kawasan di zona inti yang berarti tidak boleh ada manusia di dalamnya. Rencana itu mendapatkan penolakan, termasuk dari KKI Warsi.

Bagaimana Warsi bisa masuk ke Orang Rimba, dan menjadi begitu menyatu dengan komunitas yang mayoritas hidup dari berburu dan meramu hasil hutan ini? Kisah ini pun terekam dalam buku ini, kembali diceritakan Mardiyah saat grand launching.

Robert Aritonang merupakan antropolog yang pertama datang ke komunitas Orang Rimba. Saat itu istilahnya masih coba ketok pintu awal, sebab Orang Rimba masih sulit menerima kedatangan orang lain.

“Robert Aritongan terbangun kaget. Pagi itu orang-orang rimba baku teriak. Perempuan dan laki-laki saling bertukar makian yang tidak jelas. Samar-samar terdengar ada kata sidang adat dan pembunuhan,” kata Mardiyah membacakan isi buku itu.

Robert berjarak beberapa ratus meter dari tenda-tenda yang dihuni Orang Rimba. Ia saat itu belum diperbolehkan terlalu dekat. Ia berdiri memandangi ke arah pemukiman Orang Rimba.

Lalu seorang remaja tanggung mendantanginya, meminta gula dan kopi kepada Robert, dan si remaja itu juga menyebut akan ada pembunuhan sesaat lagi.

Robert memenuhi permintaan remaja itu, tapi dengan syarat ia harus ikut sidang adat. Segera robert ambil gula kopi lalu ikuti remaja itu ke lokasi sidang adat.

Setelah berjam-jam ditunggu, ternyata pembunuhan itu bukan bunuh-bunuhan, seperti yang ada di pikiran Robert.

Pembunuhan yang dimaksud adalah bertukar argumen.

“Jadi saling ngomong sambil mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Robert kecele, dikira pembunuhan (seperti umumnya) ternyata bertukar kata-kata,” kata Mardiyah lalu tertawa.

Pembunuhan yang terjadi versi Orang Rimba itu adalah, ada tumenggung yang dituduh telah memandangi seorang perempuan denan tidak pantas, yakni kelamaan lihat seorang perempuan.

“Itu tabu bagi Orang Rimba. Cuma memandang aja sudah harus sidang adat. Setelah bertukar kata-kata berjam-jam, beres persoalannya. Konflik diselesaikan dengan pembicaraan,” katanya.

Hari semakin siang. Robert lapar, apalagi ia tidak sempat sarapan, karena mendengar kalimat pembunuhan di pagi saat ia bangun. Di depannya, dalam kelompok Orang Rimba yang sedang “pembunuhan’ itu ada ubi yang direbus. Aroma ubi itu menggoda perutnya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved