VIDEO: Pembuat Perahu di Kondisi Pendemi di Seberang Kota Jambi, Masih Bertahan
Terlebih keadaan pandemi seperti sekarang ini membuat pendapatan mereka semakin terpuruk.
Penulis: Monang Widyoko | Editor: Nani Rachmaini
Dibuat Sawerigading
Menurut naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad ke 14, Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.
Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok dan memperisteri Puteri We Cudai.
Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali ke kampung halamannya dengan menggunakan Pinisinya ke Luwu.
Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Lemo dan Bira.
Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Pinisi.
Orang Ara dan Orang Bira
Orang Ara adalah pembuat badan kapal, di Tana Lemo kapal tersebut dirakit dan orang Bira yang merancang kapal tersebut menjadi Pinisi dan ketujuh layar tersebut lahir dari pemikiran orang-orang Bira.
Konon, nama Pinisi ini diambil dari nama seseorang yang bernama Pinisi itu sendiri.
Suatu ketika dia berlayar melewati pesisir pantai Bira. Dia melihat rentetan kapal sekitar laut sana, dia kemudian menegur salah seorang nahkoda kapal tersebut bahwasanya layar yang digunakannya masih perlu diperbaiki.
Sejak saat itu orang Bira berfikir dan mendesain layar sedemikian rupa dan akhirnya berbentuk layar Pinisi yang seperti sekarang ini.
Atas teguran orang tersebut maka orang-orang Bira memberi layar itu dengan nama Pinisi.
Pekerja menyelesaikan lambung perahu Phinisi di depan Benteng Rotterdam, Pantai Losari Makassar, Rabu (1/4/2015). (TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR)
Ritual Khusus
Kapal ini, tidak dibuat begitu saja. Harus ada ritual khusus saat ingin membuat kapal ini.
Upacara kurban untuk pembuatan perahu pinisi adalah salah satu dimana kemegahan pinisi dilahirkan.Para pembuat perahu tradisional ini, yakni orang-orang Ara, Tana Lemo dan Bira, yang secara turun temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya.