Tantangan Menjaga Hutan di Jambi, dari Konflik, Penguasaan, hingga Penerapan Perhutanan Sosial
"Sekitar 92 persen kawasan hutan, itu dikelola korporasi. Masyarakat paling hanya bisa mengelola sekitar 8 persen saja," katanya, belum lama ini.
Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Rian Aidilfi Afriandi
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Konflik di kawasan hutan di Provinsi Jambi masih menjadi tantangan yang dihadapi untuk menjaga kelestarian hutan.
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Rudiansyah, hal itu disebabkan karena tidak berimbangnya luas hutan yang bisa dimanfaatkan masyarakat dan perusahaan.
"Sekitar 92 persen kawasan hutan, itu dikelola korporasi. Masyarakat paling hanya bisa mengelola sekitar 8 persen saja," katanya, belum lama ini.
Saat ini, pemerintah berupaya meredam konflik dengan merangkul masyarakat melalui perhutanan sosial. Di sana, kata dia, telah diatur kawasan hutan yang masuk zona pemanfaatan mau pun zona lindung.
• Upaya Guru Siswa Tunagrahita saat Pandemi, Haniva Pratami Harus Home Visit
• 6 Pertanda Penyakit Diabetes, Deretan Gejala Diabetes yang Mudah Dideteksi, Cara Mencegah Diabetes
• Daftar 11 Buah-buahan Pencegah Diabetes, Turunkan Berat Badan karena Rendah Kalori & Tinggi Serat
Kawasan zona pemanfaatan bisa dikelola dengan sistem yang ramah kehutanan, sedangkan zona lindung memiliki fungsi esensial yang tidak bisa diabaikan.
Merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 83, masyarakat yang diberi izin mengelola kawasan hutan adalah yang sudah mendiami kawasan tersebut sejak lama.
Masalahnya, berdasarkan yang ditemui di lapangan, ulas Rudiansyah, ada sekelompok massa yang dimobilosasi untuk kebutuhan bisnis dan masuk di kawasan hutan.
"Padahal, hutan di Jambi fungsinya sebagian besar masuk ke dalam fungsi lindung," selanya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Ahmad Bestari mengungkapkan, saat ini ada sekitar 20 konflik lahan yang terjadi di kawasan hutan, baik di taman nasional mau pun di area konsesi.
Penguasaan masyarakat di kawasan hutan tersebut, menurutnya, disebabkan beberapa faktor.
"Kita tidak bisa menyebut itu perambahan seluruhnya. Tapi, itu konflik yang terjadi di kawasan hutan, yang disebabkan adanya penguasaan lahan oleh masyarakat di sana," jelas Bestari, ketika dijumpai di ruang kerjanya, Kamis (10/9/2020) lalu.
Faktor yang dimaksud, di antaranya hutan tersebut sudah dikuasai masyarakat sebelum menjadi area konsesi. Namun, dia tidak menampik adanya pendatang baru yang datang untuk merambah hutan.
Untuk area hutan yang sudah dikuasi masyarakat, pihaknya menerapkan sistem perhutanan sosial yang termaktub dalam Peraturan Menteri LHK nomor 83 tahun 2016.
Namun, tidak semua masyarakat di area hutan mau mengikuti aturan tersebut. Alasannya, ulas Bestari, sebagian masyarakat ingin menguasai hutan seutuhnya, tanpa mengindahkan aturan yang ada.
Dia menyadari, butuh sinergisitas semua pihak untuk menyelesaikan hal tersebut. Konflik akan terus berjalan karena tanah yang diolah terbatas, sementara jumlah penduduk terus bertambah.
Di Jambi, dari keseluruhan luas wilayahnya, sekitar 42 persen masih merupakan hutan. Dalam perhutanan sosial tersebut, masyarakat diberi izin untuk mengelola hutan di kawasan terbatas.
Selanjutnya, ke depan diharapkan masyarakat juga ikut membantu menanam tanaman hutan, sehingga dapat menjaga kondisi hutan yang mereka tempati.
Meski begitu, pihaknya tetap mengantisipasi adanya masyarakat baru yang masuk ke hutan, guna mengantisipasi kerusakan hutan yang lebih luas.
Belum lama ini, Tim Operasi Gabungan (OpsGab) Gakkum KLHK, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Korem 042 Garuda Putih, Polda Jambi dan Balai TN Berbak Sembilang, juga melakukan operasi penindakan pembalakan kayu ilegal (illegal logging) di Kawasan Hutan Sungai Gelam, Kabupaten Muarojambi, yang berbatasan dengan wilayah Provinsi Sumatera Selatan.
"Dalam operasi itu, kami mengamankan tiga pelaku. Setelah kami periksa, bukan orang Jambi. Mereka dari Sumsel, berarti pendatang," ujarnya.
Selain masyarakat setempat yang sudah tinggal lama di sana, Bestari yakin ada pihak yang 'bermain' untuk memasukkan 'orang baru' ke sana.
"Dari data intelijen yang kami terima, di dalam sana sudah ratusan. Sampai hari ini kami masih melakukan penghimpunan data," jelasnya.
Meski begitu, informasi yang diperoleh, semuanya masih melakukan praktik ilegal logging.
Bestari mengatakan, untuk menangani hal ini, perlu adanya solusi permanen. Upaya pemberian revitalisasi ekonomi pada masyarakat pun hingga kini masih terbatas. Apa lagi, mengingat peningkatan populasi terus-menerus dan adanya pemilik modal yang bermain.
"Kalau terus dibiarkan seperti ini, semakin lama bisa semakin parah," tandasnya.