Guru Honor Diperbatasan Tak Pernah Terima Upah Selama 2 Tahun, Sebulan Hanya Terima Rp 250 Ribu
Pasalnya, suami tersebut mengaku mempunyai istri yang hanya dibayarkan Rp 250 ribu per bulan.
TRIBUNJAMBI.COM - Kisah tersebut bermula dari unggahan seorang suami yang menuntut pemerintah memperhatikan guru di perbatasan.
Pasalnya, suami tersebut mengaku mempunyai istri yang hanya dibayarkan Rp 250 ribu per bulan.
Sang suami yang mengunggah kisah tersebut mempertanyakan sikap pemerintah daerah yang dianggap mengabaikan kondisi istrinya.
Adjie mengatakan, Elin telah lima tahun mengabdi menjadi guru di sekolah itu, tanpa pernah menerima gaji layaknya guru honorer lain.
"Sering saya suruh berhenti dia, tapi dia hanya menjawab kasihan anak-anak di sekolah, tidak ada yang mengajar, bagaimana kalau mau ujian? Itu saja jawabnya," imbuh Yudha Adjie.
Saat ini Elin tengah hamil muda sehingga kerap pusing dan mual.
Bekerja untuk mencerdaskan siswa perbatasan
Bagi pribadi Elin, persoalan tak mengundurkan semangat pengabdiannya untuk mencerdaskan generasi bangsa di perbatasan RI-Malaysia.
Elin cuma mau melihat anak anak perbatasan menjadi terdidik dan memiliki daya saing tanpa harus menjadikan keterbatasan dan geografis perbatasan yang serba minim sebagai alasan dari ketertinggalan mereka.
"Dia selalu bilang kasihan, kan tidak ada gurunya di sekolah ini, kebetulan rumah kami dekat sekolah," terang Yudha Adjie.
Elin masih menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ibnu Khaldun di Pulau Sebatik.
Dua tahun belakangan, guru di SMP Budi Luhur yang merupakan sekolah filial dan menginduk pada SMPN PGRI Nunukan ini tersisa dua orang saja, hanya Elin dan kepala sekolah bernama Sugeng.
Gedung sekolah terbuat dari papan juga terlihat rusak di banyak bagian, plafon banyak yang bolong, tiang penyangga lapuk dan banyak kayu sudah lapuk dimakan usia.
Elin akan memberikan materi untuk kelas VII, lalu berpindah ke kelas VIII dan begitu juga untuk kelas IX.
"Dulu pernah ada 8 orang guru, cuma karena masalah pembayaran makanya mereka pindah, itu juga kalau Elin sedang ada kegiatan kampus atau ujian, dia harus menginap sepekan di Sebatik dan tidak ada yang mengajar, sambil ujian dia buatkan materi, catat-catat dan dikirimkan ke muridnya, seperti itu terus,’’lanjutnya.
Yudha mengaku kasihan kepada Elin, tapi ia tak bisa memaksa istri berhenti mengajar karena Elin memang seakan menemukan dunianya bersama para anak didik.
Tidak jarang nasihat dan saran suaminya untuk berhenti mengajar selalu saja mampir di telinganya, namun Elin hanya bisa memberi pengertian akan arti pengabdian.

Yudha hanya mampu mendukung tekad istrinya dengan semakin giat berdagang. Hasil jualan sembako itulah yang menghidupi mereka, termasuk untuk biaya kuliah Elin.
"Ia terima gaji terakhir sekitar 2018, jadi gajinya dibayar per tahun, itu sekitar dua juta, itu gaji setahun, dan sampai sekarang tidak ada lagi dia dapat," terang Yudha.
Kesal dengan kondisi Elin tersebut, Yudha menumpahkan unek-uneknya lewat media social Facebook yang ia bagikan ke grup Peduli Nunukan, di sana ia menuliskan keluh kesahnya karena istrinya tak mau mendengar sarannya berhenti mengajar meski tengah hamil.
Klarifikasi Kepala Sekolah
Kepala Sekolah SMP Budi Luhur Sebakis Sugeng Yuniarso mengklarifikasi terkait pihaknya tidak pernah memberikan gaji selama dua tahun terhadap guru Elin (28).
"Ada miss komunikasi, jadi bukan gajinya tidak dibayarkan, dibayarkan hanya saja memang tidak tentu waktunya, dan besarannya tidak selalu sama," tegas Sugeng.
Menurut Sugeng, sekolah yang dipimpinnya itu sangat bergantung Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) yang dibayarkan siswa.
"Kita tarik iuran SPP itu Rp 50.000 per siswa, itulah yang kami gunakan untuk membayar gaji Elin, dan setiap bulan tidak semua pelajar membayar SPP, untuk Alat Tulis Kantor (ATK) ada dibantu sama sekolah induk SMP PGRI," terang Sugeng.
Respon Dinas Pendidikan Nunukan
Kepala Bidang Pembinaan Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan (Disdik) Nunukan Widodo mengatakan, ada beberapa informasi yang harus diklarifikasi.
Yang pertama, pemerintah daerah Nunukan tidak abai akan masalah ini. Persoalan yang terjadi di sekolah filial yang berdiri sejak 2012 lalu ini ditegaskannya, berdiri atas inisiasi Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi.
‘’Itu adalah wilayah kekuasaan Kementerian Transmigrasi, jadi pemerintah daerah pada waktu itu belum bisa masuk, memang pada 2019 akhir, ada penyerahan pengelolaan dan perencanaan akan diapakan disana? tapi pengelolaan itu belum termasuk penyerahan aset, sehingga pemda belum bisa bergerak di sana,’’jawabnya.
Widodo mengakui, kurangnya koordinasi pihak kementerian ke Disdik membuat pelajar di SMP Budi Asih Sebakis yang ikut Ujian Nasional (UN) pernah tidak terdata dalam Dapodik karena perizinannya belum ada.
Kasus tersebut membuat Disdik berupaya mengkoneksikan sekolah yang sudah meluluskan 3 angkatan tersebut dengan SMPN PGRI Nunukan.
Disdik juga tengah melakukan koordinasi ke pemerintah provinsi dan pemerintah pusat berkaitan dengan masalah ini.
‘’Bagaimana penyerahan aset di sana sehingga kita punya kewenangan membangun dan memberikan pembelajaran yang dikelola oleh Pemda, kita masih upayakan itu,’’tambahnya.
Menjawab permasalahan gaji bagi guru Elin, Widodo kembali mengakui hal tersebut butuh proses.
Sebab, untuk membayarkan dana BOS APBN ataupun BOSDA, ada beberapa persyaratan tertentu termasuk harus terdaftar dalam Dapodik.
• Dinas Pendidikan Muaro Jambi Dapat DAK Rp 14 Miliar, Fasilitas SDN 59 Banyak Rusak
• Dua Penambang Minyak Ilegal di Sarolangun Positif Narkoba, Sebut Pemodal dari Kota Jambi
• Ramalan Zodiak Besok, Cancer Akan Membuat Semua Orang Terkesan dengan Keterampilannya
‘’Mungkin ada honor yang belum terbayar dan seterusnya, itu memang persoalan serius di sana, untuk mendapat honor kan ada syarat, misalnya dia masuk Dapodik dan seterusnya, itu yang membuat kesulitan, karena dana BOS boleh dipakai membayar honor asalkan yang bersangkutan memenuhi sarat tersebut," jelasnya.