MA Putuskan Tolak Gugatan Pembatalan Kenaikan Tarif BPJS, Pemohon Tagih Janji DPR

Mahkamah Agung ( MA) menolak permohonan uji materi terhadap Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Kenaikan Tarif BPJS Kesehatan.

Editor: Rahimin
ISTIMEWA
Pegawai melayani peserta BPJS Kesehatan di Cikokol, Kota Tangerang, Banten, Rabu (1/7). 

TRIBUNJAMBI.COM - Mahkamah Agung ( MA) menolak permohonan uji materi terhadap Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Kenaikan Tarif BPJS Kesehatan.

Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menyayangkan putusan Mahkamah Agung ( MA) tersebut.

Menurut Sekretaris Jenderal KPCDI Petrus Hariyanto, dengan ditolaknya permohonan ini, tertutup kemungkinan untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Akibatnya, banyak rakyat yang ekonominya semakin terbebani, apalagi dalam situasi pandemi seperti sekarang ini. "Kami menyanyangkan putusan tersebut," kata Petrus kepada Kompas.com, Senin (10/8/2020).

Panembahan Al Nahyan Nasution Nama Cucu Presiden Joko Widodo, Ini Arti Nama Tersebut

Menpan Sentil Lima Gubernur Yang Sudah Buat Kebijakan Untuk Investasi Maju di Pilpres 2024

Kedok Dukun Palsu Terbongkar, Bukannya Mengobati Malah Cium Pipi Dan Meraba-raba Tubuh Korban

"Kami harus menyatakan putusan MA tidak memperhatikan situasi rakyat yang sedang tercekik hidupnya. Akan semakin berat menjalani situasi dalam pandemi Covid-19 ini," ucap dia.

Menurut Petrus, tarif BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Perpres 64/2020 masih terlalu mahal dan tak jauh beda dengan iuran yang ditetapkan dalam Perppres Nomor 75 Tahun 2019.

Padahal, Perpres 75/2019 sebelumnya telah dibatalkan MA melalui putusan uji materi yang juga dimohonkan oleh KPCDI.

ILUSTRASI Rincian Perubahan Iuran BPJS Kesehatan
ILUSTRASI Rincian Perubahan Iuran BPJS Kesehatan (KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo)

Melalui putusannya saat itu, MA juga meminta BPJS Kesehatan melakukan pembenahan internal dan eksternal. Namun, menurut Petrus, hal itu belum dilaksanakan.

"Jumlah iuran sangat tinggi sekali. Saya rasa tak terlalu beda Perpres 75 dan 64, sama-sama memberatkan masyarakat," ujar dia. Secara spesifik, kenaikan tarif BPJS Kesehatan itu juga dinilai memberatkan pasien cuci darah.

Bagi pasien miskin, membayar tarif BPJS Kesehatan yang lama sebelum dinaikkan pun sudah sulit. Padahal, pasien cuci darah sangat membutuhkan BPJS Kesehatan demi kelangsungan hidup mereka.

Sah! Daftar Lengkap Calon Kepada Daerah PDIP Diumumkan Hari Ini, Cek Nama-nama

Buntut Ledakan Beirut, Para Pejabat di Pemerintahan Lebanon Pilih Mundur, Rakyat: Jatuhkan Rezim!

PA 212 Tolak Mentah-mentah Dukung Prabowo di Pilpres 2024, Sindir Soal Etika Politik

"Kalau orang sehat gagal bayar iuran atau telat atau kartu BPJS tidak aktif bisa menunda berobat, bahkan kalau sehat kan tidak perlu berobat," ujar Petrus.

"Kami (pasien cuci daerah), kalau kartu tidak aktif, maka tdk bisa cuci darah, atau bayar sendiri. Absen dua kali cuci darah sudah banyak bukti akhirnya pasien meninggal," ucap dia.

Dengan tertutupnya langkah hukum akibat Putusan MA ini, menurut Petrus, ke depan pihaknya bakal menagih janji Komisi IX DPR RI yang kala itu sempat berjanji untuk meminta Kementerian Sosial memasukan pasien cuci darah sebagai penerima bantuan iuran (PBI) BPJS. KPCDI juga akan menggalang dukungan dari komunitas-komunitas lain yang terdampak untuk mendorong pemerintah menerbitkan Perpres yang menurunkan iuran BPJS Kesehatan.

"Pelayanan kesehatan adalah hak, dan negara wajib memenuhi, ketentuan itu ada dalam konstitusi kita. Negara berkewajiban menyelenggarakan satu sistem jaminan sosial," kata Petrus.

Sebelumnya diberitakan, Mahkamah Agung (MA) menolak gugatan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) atas uji materi Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang tarif baru BPJS Kesehatan.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved