Penyakit di Ketinggian Sering Menyerang Para Pendaki Gunung, Begini Gejala dan Cara Mencegahnya

Sempat ditutup karena pandemi Covid-19, kegiatan pendakian gunung kembali dibuka di era "New Normal".

Editor: Deni Satria Budi
Tribun Jambi/Nurlailis
Ilustrasi. Ibu muda yang hobi mendaki, membagikan pengalamannya mendaki gunung bersama sang buah hati, Putri Birru Shafa (10). 

TRIBUNJAMBI.COM - Sempat ditutup karena pandemi Covid-19, kegiatan pendakian Gunung kembali dibuka di era "New Normal".

Bagi para pecinta ketinggian yang dulu sempat menjamur sebelum adanya pandemi Covid-19, tentunya ini menjadi kabar menyenangkan.

Diketahui, melakukan aktivitas mendaki akan membuat pendaki rentan mengalami penyakit ketinggian atau yang kerap disebut dengan "altitude sickness".

Keadaan ini akan membuat seseorang merasa pusing dan lelah secara tiba-tiba.

Menurut ahli pulmonologi dari Cleveland Clinic, Humberto Choi, altitude sickness terjadi ketika tubuh tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan bertekanan rendah atau rendah oksigen.

Biasanya, lingkungan dengan kadar oksigen rendah ini berada di ketinggian di atas 2.500 meter di atas permukaan laut.

Altitude sickness juga membuat seseorang berisiko mengalami masalah pernapasan hingga kematian.

Arti Mimpi Buruk - Mimpi Dikejar-kejar, Bertengkar dengan Mertua hingga Mimpi Tanpa Busana

8 Calon Kuat Pengganti Kapolri Jenderal Pol Idham Azis versi IPW, Ada dari Akpol 88 hingga Geng Solo

Penyebab

Altitude sickness terjadi karena tekanan di udara yang turun atau kadar oksigen yang rendah. Saat mendaki dengan kecepatan tinggi, tubuh tidak mempunyai cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan kadar oksigen yang berkurang.

Hal ini membuat pernapasan menjadi terengah-engah hingga memicu gejala seperti orang yang sedang mabuk, contohnya sakit kepala.

"Ketika tubuh Anda berada dalam situasi yang penuh tekanan disertai dengan oksigen rendah dan tekanan udara yang rendah, Anda harus beradaptasi dengannya," kata Dr. Choi.

Jika tidak dapat beradaptasi dengan ketinggian, hal itu dapat menyebabkan pembengkakan pada beberapa organ tubuh, khususnya otak dan paru-paru.

Lewati Sungai, Mendaki, Jalan Sempit dan Curam Ditempuh Dokter Ini Demi Obati Warga Desa

Jasad-jasad Ini Ditemukan di Gunung Everest, Meski Berpuluh Tahun Bentuknya Tak Berubah Banyak

Gunung Merapi sedang Meletus, Ternyata Ini Misteri dan Sejarah dari Garis Imajiner Gunung Tersebut

Gejala

Seseorang yang mengalami penyakit ketinggian bisanya merasakan gejala berikut :

- kelelahan

- sakit kepala

- mual

- sesak napas

- gangguan tidur

Gejala tersebut biasanya terjadi setelah beberapa jam kita berada di tempat yang tinggi dan mereda ketika tubuh bisa beradaptasi dengan lingkungan.

Dalam beberapa kasus, tubuh manusia tidak bisa menyesuaikan diri dengan ketinggian sehingga bisa mengalami komplikasi seperti merasa kebingungan, kesulitan berjalan, sakit kepala yang parah, sesah, dan batuk darah.

Jika gejala yang dialami termasuk ringan, kita bisa mengatasinya hanya dengan beristirahat selama beberapa menit.

Saat gejala yang terjadi tergolong parah, Choi menyarankan untuk segera mencari pertolongan medis.

Cara mencegah

Cara terbaik untuk mengobati penyakit ketinggian adalah dengan melakukan persiapan sebaik mungkin sebelum mendaki.

Sebelum mendaki, lakukan hal berikut ini untuk mengurangi risiko penyakit ketinggian:

- Hindari kafein dan alkohol

Hindari minuman berkafein dan alkohol sebelum perjalanan mendaki. Menurut Choi, kafein dan alkohol bisa memengaruhi kemampuan kita untuk menyesuaikan diri dengan ketinggian.

"Kafein dan alkohol juga bisa mempengaruhi tingkat hidrasi tubuh sehingga kita rentan mengalami penyakit ketinggian," ucap Choi.

- Perbanyak minum air putih

Salah satu cara terbaik untuk membantu tubuh menyesuaikan diri dengan ketinggian adalah dengan minum lebih banyak air.

Daerah dataran tinggi memiliki kelembaban udara yang rendah sehingga cairan dalam tubuh juga cepat menyusut. Itu sebabnya, kitan harus minum air putih lebih banyak agar tidak dehidrasi.

Sumber : Kompas.com

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved