5 Kejanggalan Penyiraman Novel Baswedan Kata Pukat UGM - Pasal hingga Dalang & Motif Tak Terungkap

lima kejanggalan dalam tuntutan yang diajukan oleh jaksa kepada terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.

Editor: Suci Rahayu PK
TRIBUNNEWS/MUHAMMAD FADHLULLAH
Novel Baswedan 

TRIBUNJAMBI.COM - Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakutas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) mengaku menemukan setidaknya lima kejanggalan dalam tuntutan yang diajukan oleh jaksa kepada terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.

Pukat menilai tuntutan 1 tahun hukuman penjara oleh jaksa kepada terdakwa sangat janggal.

Berikut lima kejanggalan tersebut:

Penyidik KPK Novel Baswedan didatangi sejumlah aktivis dan ahli hukum terkait persidangan kasus penyiraman air keras yang menimpa dirinya
Penyidik KPK Novel Baswedan didatangi sejumlah aktivis dan ahli hukum terkait persidangan kasus penyiraman air keras yang menimpa dirinya (TRIBUN/FAHDI FAHLEVI)

1. Pernyataan jaksa bahwa tidak ada niat

Menurut Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, pernyataan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut bahwa tidak terpenuhinya unsur rencana terlebih dahulu merupakan pemahaman hukum pidana yang keliru.

Sebab, terdakwa dalam kasus ini telah memenuhi tiga unsur rencana terlebih dahulu, yaitu memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak, dan pelaksanaan kehendak dalam keadaan tenang.

Hal itu dibuktikan dengan adanya pengintaian dan air keras yang telah disiapkan oleh terdakwa sebelum melakukan penyiraman.

Di sisi lain, pihaknya menilai JPU salah dalam membangun argumen jenis-jenis kesengajaan.

"Tindakan terdakwa tidak semata-mata dikualifikasikan kesengajaan sebagai yang dimaksud, melainkan juga kesengajaan sebagai kemungkinan," kata Zaenur dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (15/6/2020).

Karenanya, kendati terdakwa tidak bermaksud melukai bagian mata Novel, tetapi tindakan penyiraman itu dilakukan pada kondisi gelap, sehingga memungkinkan untuk mengenai bagian tubuh lain, yaitu mata.

Penyiram Air Keras ke Novel Baswedan Dituntut 1 Tahun, Rocky Gerung Sebut Ketidakadilan

Dipo Latief Ajukan Banding hingga Kasasi Setelah Putusan Cerai, Nikita Mirzani: Mungkin Masih Cinta

2. Pasal yang dikenakan

Selain itu, Zaenur juga mengatakan, pasal yang dikenakan kepada terdakwa hanya penganiayaan biasa seperti dalam Pasal 353 ayat 2 KUHP, padahal tindakan terdakwa tergolong penganiayaan berat.

Menurut dia, JPU seharusnya mengarahkan tindakan terdakwa pada pasal penganiayaan berat sebagaimana dalam Pasal 355 ayat 1 KUHP.

Sebab, dalam konteks hukum pidana dikenal adanya kesengajaan yang diobjektifkan. Artinya, ada atau tidaknya kesengajaan dilihat dari perbuatan yang tampak.

"Penyiraman air keras ke tubuh Novel yang dilakukan oleh terdakwa merupakan penganiayaan berat yang berakibat timbulnya luka berat hingga kematian, bukan hanya penganiayaan biasa," kata dia.

Dua pelaku penyiraman Penyidik KPK, Novel Baswedan dengan air keras, RM dan RB keluar dari Rutan Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, untuk dipindahkan ke Rutan Mabes Polri, Jakarta Selatan, Sabtu (28/12/2019) siang. Keduanya yang merupakan polisi aktif ditangkap di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Dua pelaku penyiraman Penyidik KPK, Novel Baswedan dengan air keras, RM dan RB keluar dari Rutan Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, untuk dipindahkan ke Rutan Mabes Polri, Jakarta Selatan, Sabtu (28/12/2019) siang. Keduanya yang merupakan polisi aktif ditangkap di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. (Warta Kota/Adhy Kelana)

3. JPU lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa

Sementara itu, jaksa yang seharusnya bertugas untuk membuktikan kebenaran materil dan keadilan, menurut Pukat justru memilih untuk lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa sebagai bukti.

Padahal, terdakawa dalam memberikan keterangannya tidak disumpah, sehingga memiliki hak ingkat.

Selain itu, jaksa juga mengabaikan adanya barang bukti semisal air keras yang digunakan oleh terdakwa maupun rekaman rekaman CCTV dan saksi kunci yang pernah diperiksa oleh Tim Pencari Fakta atau Komnas HAM.

4. Tuntutan tidak logis

Dalam pasal yang termuat dalam dakwaan subsider, jaksa memiliki opsi menuntut maksimal tujuh tahun penjara.

Alil-alih mengambil pilihan itu, jaksa justru menuntut hukuman hanya satu tahun penjara. Hal ini dinilai Pukat mencederai keadilan karena bertentangan dengan adagium hukum restitutio in integrum, yaitu hukum seharusnya menjadi instrumen untuk memulihkan kekacauan di masyarakat.

Tuntutan ringan dalam kasus penyerangan terhadap aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasu antikorupsi dapat menimbulkan ketakutan kepada aparat penegak hukum lain yang berusaha menegakkan keadilan.

Pihaknya menilai, tuntutan jaksa pada kasus Novel tersebut tergolong sangat ringan dibandingkan kasus penyiraman air keras lain.

Dalam kasus Lamaji yang menyiram air keras ke pemandu lagu di Mojokerto pada 2017, misalnya, dakwaan JPU menggunakan alternatif gabungan dengan tuntutan 15 tahun penjara.

Karena Cemburu pada Mantan Istri, Pimpinan Yakuza Ini Bunuh 2 Anaknya Lalu Bunuh Diri

Jadwal Masuk Tahun Ajaran Baru 2020 Mulai Kapan? Kemendikbud Putuskan Awal Juli untuk Zona Hijau

5. Aktor intelektual dan motif tidak diungkap

Seperti diketahui, terdakwa menyatakan bahwa tindakannya dilandasi rasa tidak suka terhadap Novel karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Polri.

Menurut Zaenur, motif tersebut tidak kuat. Sebab, terdakwa tidak memiliki hubungan dan tidak pernah bertemu dengan Novel.

Di sisi lain, Novel pun tak pernah menangani kasus yang melibatkan terdakwa. Atas dasar itu, muncul dugaan adanya aktor intelektual di belakang kasus ini, mengingat jejak Novel sebagai penyidik KPK dalam menangani kasus-kasus besar.

"Berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta setidaknya terdapat enam kasus yang dinilai berpotensi menimbulkan balas dendam terhadap Novel. Meskipun demikian, hal tersebut tidak berhasil diungkapkan dalam proses persidangan," kata Zaenur.

Melihat tuntutan jaksa tersebut, pihaknya menganggap bahwa harapan terakhir untuk memperoleh keadilan dalam kasus Novel sepenuhnya terletak pada Majelis Hakim.

Tuntutan jaksa yang dibalut dengan berbagai kejanggalan itu tidak tepat jika dijadikan satu-satunya rujukan dalam menjatuhkan putusan.

Zaenur pun berharap agar hakim mampu melihat kasus ini secara keseluruhan dan mempertimbangkannya secara obyektif.

"Selain itu, hakim juga diharapkan memberi putusan yang seadil-adilnya tak hanya bagi korban, tetapi juga bagi rasa keadilan masyarakat," kata dia.

(TribunnewsWiki/Tyo/Kompas/Ahmad Naufal Dzulfaroh)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "5 Kejanggalan dalam Kasus Penyerangan Novel Baswedan Menurut Pukat UGM"

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved