Berkah Karbon di Tengah Pandemi Covid-19, Pengelolaan Bujang Rama Hasilkan Uang Rp 1 Miliar

Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) sejak dikelola masyarakat lima desa dengan skema Hutan Desa, mampu mempertahankan tutupan hutan

Editor: Suang Sitanggang
TRIBUNJAMBI/HO/KKI WARSI
Peyerahan bantuan paket sambako untuk masyarakat yang mengelola hutan desa di Bujang Raba, yang bersumber dari dana karbon 

REDD+ merupakan upaya untuk memberikan insentif keuangan dalam mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Salah satu bentuk dari kegiatan ini adalah perdagangan karbon, istilah yang merepresentasikan aktivitas penyaluran dana dari negara-negara penghasil emisi karbon kepada negara-negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang mampu menyerap emisi karbon secara alami.

Kriteria negara penerima adalah mampu mempertahankan hutan dari deforestasi dan degradasi.

Bujang Raba adalah salah satu proyek REDD masyarakat Indonesia pertama dengan kegiatan mitigasi dengan menyimpan 670.000 tCO2 dengan mencegah deforestasi dalam kurun waktu sepuluh tahun (2014-2023).
Dalam proyek REDD, desa-desa di Bujang Raba berkomitmen melindungi 5.336 hektar hutan primer dari konversi ke non-hutan. Komitmen ini akan melindungi ekosistem hutan tropis dataran rendah yang terancam punah.

Sejak 2013, KKI Warsi tertarik mengembangkan model REDD+ di level komunitas atau Community Carbon. Kegiatan ini dilakukan untuk melihat peran masyarakat memitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim sekaligus untuk mengetahui bagaimana pasar carbon sukarela (voluntary carbon market) bekerja.

Tahap awal, KKI Warsi antara lain memastikan tidak ada perubahan tutupan hutan, lalu menghitung stok karbon, dan menyiapkan Project Design Document (PDD) untuk Program Plan Vivo.

Sejalan dengan itu, di tingkat masyarakat dilakukan penggalian aspirasi dan penguatan kesepakatan pengelolaan kawasan hutan berkelanjutan.

Seluruh kegiatan diukur kinerjanya oleh pihak ketiga dengan melakukan verifikasi dan validasi lapangan sampai kemudian Warsi memiliki akun di Carbon Market.

Di Carbon Market, Bujang Raba ditawarkan ke berbagai pihak. Akan tetapi, tidak mudah mendorong pasar karbon sukarela ini, apalagi di tengah regulasi yang belum memihak masyarakat sebagai penerima manfaat langsung dari perdagangan karbon. Tidak mudah pula menemukan pembeli.

Proyek perdana penjualan karbon Bujang Raba diluncurkan pada 2015. Baru pada 2018 pembeli berhasil didapatkan, melalui jasa broker (buyer yang menghendaki tidak langsung ke seller. Jasa broker diperlukan untuk melakukan survei kelayakan lokasi.

Selain itu, pasar karbon masih mengambang --belum terlalu jelas siapa dan bagaimana prosesnya. Namun, upaya untuk memberikan manfaat langsung kepada masyarakat mendorong Warsi untuk terus mencoba.

Transaksi perdana karbon dari Bujang Raba mencapai 6000 ton tahun 2018 lalu. Dana dimanfaatkan langsung untuk mendukung kegiatan layanan kesehatan dan pendidikan (paket beasiswa), penguatan institusi Hutan Desa di lima desa dalam kawasan Bujang Raba serta peningkatan ekonomi masyarakat dan operasional pengamanan kawasan.

Selanjutnya pasar karbon terus bergulir dan pembelian tahap berikutnya juga berjalan. Saat ini sedang dalam proses penggalian pada masyarakat untuk distribusi manfaat dana karbon yang tertumpul.

Harapannya, dana karbon ini bisa dirasakan manfaatnya oleh 1.259 rumah tangga yang menggantungkan hidup dan mata pencaharian mereka pada alam melalui agroforestry berkelanjutan. Menjual angin itu pun kini menjadi nyata. (*).

Satu Pelaku Prank Sembako Berisi Sampah Diserahkan Ibunya ke Polisi, Polisi Kejar Ferdian Paleka

Diserang Balik Hewan Buruannya, Pemburu Babi Hutan di Empat Lawang Sumsel Ditemukan Tewas Tenggelam

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved