Virus Corona
Dampak Virus Corona Paling Parah di Singapura dan Jepang, Bagaimana Dengan Kondisi di Indonesia?
Dampak virus corona yang paling parah di antaranya adalah dampak buruk terhadap kondisi ekonomi suatu negara.
TRIBUNJAMBI.COM - Dampak virus corona yang paling parah di antaranya adalah dampak buruk terhadap kondisi ekonomi suatu negara.
Di kawasan Asia, perekonomian Jepang dan Singapura dipandang paling parah terdampak pandemi virus corona.
Hal ini diungkapkan oleh ekonom dari Moody's Analytics, Selasa (28/4/2020).
• Kisah Pasien Virus Corona yang Mampu Sembuh Tanpa Obat Tapi Hanya Melakukan Hal Sederhana Ini!
Kebijakan lockdown yang diperketat untuk mencegah penyebaran virs corona pun kemungkinan besar bakal memperparah permasalahan ekonomi kedua negara.
Data ekonomi teranyar yang dirilis pemerintah Jepang menunjukkan, ekonomi Negeri Sakura tersebut terkontraksi 6,3 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada periode Oktober-Desember 2019.
Sementara itu, data awal menunjukkan pertumbuhan ekonomi Singapura minus 2,2 persen pada kuartal I 2020.
"Jepang sudah berada di dalam resesi sebelum ini. Pada kuartal I 2020, Singapura sangat lemah. Saya rasa kuartal ini akan lebih sulit bagi Singapura karena ada lockdown," kata Cochrane.
• Singapura & Jepang Hancur Berantakan Ekonominya Dampak Corona, Cochrane: Jepang Masuk Jurang Resesi
"Kemudian ada potensi di Jepang, jika virus corona menyebar lebih lanjut, akan ada kebijakan lockdown yang sebenarnya dibandingkan lockdown lunak seperti yang diterapkan Jepang saat ini," imbuh dia.
Kedua negara, menurut data Johns Hopkins University, melaoorkan lebih dari 13.000 kasus positif virus corona. Ini adalah salah satu yang tertinggi di Asia.
Namun, tidak seperti China yang telah mengendalikan penyebaran virus corona dalam beberapa minggu terakhir, Jepang dan Singapura malah melaporkan lonjakan kasus baru virus corona.
• Alami Mimpi Basah di Siang Hari Bikin Batal Puasa Ramadhan? Ini Penjelasannya
Untuk merespons kondisi penyebaran virus corona yang semakin parah, pemerintah Singapura memperpanjang kebijakan lockdown parsial atau circuit breaker.
Ini termasuk menutup sekolah-sekolah dan gedung-gedung perkantoran.
Di Jepang, pemerintah mengumumkan keadaan darurat untuk mendorong masyarakat tetap tinggal di rumah, namun sejumlah bisnis tetap diperbolehkan beroperasi.
• Sudah Dibuka Pendaftaran Kartu Pra Kerja Gelombang III, Ini 9 Syarat Swafoto Kartu Pra Kerja
Menurut Cochrane, memburuknya kondisi ekonomi yang dihadapi Jepang dan Singapura adalah sejumlah alasan kawasan Asia Pasifik akan mengalami kuartal II 2020 yang berat.
"Kombinasi ditutupnya ekonomi di Asia Tenggara dan tren ekspor yang sangat lemah di Asia Utara akan berdampak pada kondisi kuartal II 2020 yang berat bagi keseluruhan kawasan Asia Pasifik," ujar dia.(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ekonomi Jepang dan Singapura Bakal Paling Parah Terdampak Corona?"
Wabah covid-19 dinilai berpotensi mengubah tatanan ekonomi dunia yang ditandai dengan berubahnya peta perdagangan dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Kinerja perdagangan global dipastikan akan terganggu akibat lambatnya perbaikan kinerja manufaktur, terutama China.
Jalur distribusi logistik yang terganggu diprediksi akan berdampak negatif akan menerpa ekonomi Indonesia dalam beberapa waktu ke depan.
Berdasarkan uji simulasi pandemi dengan model sistem dinamik oleh peneliti Visi Teliti Saksama, M. Widyar Rahman, pandemi corona virus di Indonesia diperkirakan akan reda pada awal Juni 2020.
Dikutip dari riset kajian berjudul ‘Limbung Roda Terpasak Corona’ oleh Pusat Kajian Visi Teliti Saksama (VTS), Widyar mengatakan proses pemulihan ekonomi akan membutuhkan waktu yang lebih panjang, "Setidaknya sampai akhir 2021,” kata Widyar.
Melalui peran aktif seluruh warga negara, penurunan jumlah kasus covid-19, seharusnya dapat lebih cepat dari perkiraan model tersebut. Namun, hal ini tetap dipengaruhi oleh kebijakan yang diambil pemerintah dalam upaya menekan penyebarannya.
“Kami memperkirakan, peningkatan permintaan barang dan jasa akan terjadi di bulan Ramadan dan Idulfitri, meski tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, sedikit kenaikan permintaan ini belum cukup untuk mengkompensasi cedera pada industri,” ujarnya.
“Jika dibandingkan wabah SARS 2002–2003 yang juga berasal dari China, dampak negatif dari merebaknya covid-19 terhadap perekonomian akan jauh lebih luas,” lanjutnya.
Dalam kaitan analisa dampak ini, Visi mengumpulkan berbagai informasi untuk memperkirakan dampak yang terjadi pada perekonomian Indonesia. Adapun studi dilakukan di bulan Februari hingga awal Maret.
Analisa yang dilakukan berawal dengan melihat hubungan ekonomi antara Indonesia dengan China, sebagai episentrum awal penyebaran virus.
Berdasar kategori barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal sepanjang Januari hingga Desember 2019, makin kentara ketergantungan Indonesia terhadap China.
Dari ketiga kategori barang yang diimpor oleh negara ini, sebanyak 37persen barang konsumsi, 25 persen bahan baku penolong, dan 44 persen barang modal jelas diimpor dari China.
Dalam hal investasi langsung, selama rentang lima tahun terakhir (2016—2019), Indonesia menerima aliran investasi China sebesar US$13,2 miliar atau peringkat ketiga terbesar bagi Indonesia.
Selain di bidang investasi, China juga memiliki peran besar dalam sektor pariwisata di Indonesia. Dalam kurun 8 tahun, turis China meningkat jumlahnya sebanyak 309%, yaitu dari 511 ribu pada tahun 2010 menjadi 2,14 juta pada tahun 2017.
Stok Bahan Baku
Peneliti Senior Visi , Sita Wardhani menambahkan, dari sisi produksi, rata-rata produsen dalam negeri memiliki stok bahan baku hingga Maret dan April 2020. Jika pada bulan-bulan tersebut belum juga ada pasokan dari China atau hanya terpenuhi sedikit, proses produksi pabrik di Indonesia dapat terhambat.
“Dampak minimum pada perekonomian adalah dengan asumsi perekonomian China bangkit dan kembali aktif di bulan April,” kata Sita.
Pada bulan Februari, ketika pandemi meninggi, PMI China hanya 35,7, rekor terendah yang pernah dialami China. Untuk informasi, angka di atas 50 menunjukkan, industri mengalami ekspansi. Sebaliknya, angka di bawah 50 menggambarkan kondisi kontraksi.
Masih menurut NBS, industri China memperoleh 370,66 miliar yuan atau US$52,43 miliar pada Maret 2020. Nilai tersebut turun 34,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan melanjutkan tren di Januari-Februari yang tercatat turun 38,3 persen.
Setidaknya, menurut NBS ada delapan dari 41 sektor industri yang disurvei mencatat kenaikan laba pada Maret. Kondisi ini lebih baik dibandingkan Januari-Februari yang mencatat hanya empat sektor mengalami kenaikan laba.
Tapi, hal ini diyakini belum menandakan stabilisasi dalam kegiatan ekonomi. Pasalnya, di tengah biaya produksi yang makin tinggi karena terganggunya jalur distribusi, permintaan pasar juga belum sembuh sepenuhnya.
Apalagi, ada penurunan permintaan impor dari negara lain, termasuk Indonesia.
“Namun jika masa pemulihan yang dialami China lebih lama lagi, asumsi China baru berproduksi kembali di bulan Juni, artinya proses impor baru bisa dilakukan di bulan Juli. Dengan begitu, dampak resesi yang dihadapi Indonesia akan lebih dalam lagi,” cetusnya.
Selain dialami industri mamin, lanjutnya, gangguan lebih dalam juga bakal dialami industri manufaktur lain.
Dampak dari kelangkaan bahan baku ini akan membawa inflasi yang lebih tinggi karena industri manufaktur tidak mampu memenuhi permintaan dan memicu terjadinya shortage.
Di sisi lain, dengan inflasi yang tinggi, tentu rumah tangga akan menurunkan konsumsinya. Padahal kontribusi terbesar dari pertumbuhan ekonomi Indonesia sejauh ini adalah konsumsi rumah tangga.
“Dengan tingkat inflasi tinggi, konsumsi rumah tangga juga turun sejalan dengan daya beli yang juga menurun. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi pun dapat terpuruk lebih jauh,” tutur Sita.
Visi Teliti Saksama sendiri merupakan pusat kajian dan publikasi multiplatform dari berbagai isu ekonomi, politik, sosial, hukum, dan lingkungan hidup yang berdiri 3 tahun lalu.
Tim periset Visi berasal dari berbagai perguruan tinggi terkemuka, dengan pengalaman terlibat dalam pembuatan beragam kebijakan di bidang komoditas, perdagangan, dan program komunikasi.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Imbas Covid Lebih Besar dari SARS, Ekonomi Indonesia Diperkirakan Kembali Pulih Tahun 2022