Fix Indonesia Dicoret Amerika Serikat dari Daftar Negara Berkembang, Ini yang Akan Dialami Indonesia

Negara Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu mengeluarkan Indonesia dan China dalam daftar negara berkembang.

Editor: Tommy Kurniawan
ist
Fix Indonesia Dicoret Amerika Serikat dari Daftar Negara Berkembang, Ini yang Akan Dialami Indonesia 

TRIBUNJAMBI.COM - Fix Indonesia Dicoret Amerika Serikat dari Daftar negara berkembang, Ini yang Akan Dialami Indonesia

Negara Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu mengeluarkan Indonesia dan China dalam daftar negara berkembang.

Kebijakan tersebut telah dikeluarkan oles AS pada 10 Februari 2020 lalu.

Tak hanya Indonesia dan China, namun total ada 24 negara yang dikeluarkan dari daftar negara-negara berkembang.

Ke 24 negara tersebut, yakni Albania, Argentina, Armenia, Brazil, Bulgaria, China.

Kolombia, Kosta Rika, Georgia, Hong Kong, India, Indonesia, Kazakhstan, Republik Kirgis.

Malaysia, Moldova, Montenegro, Makedonia, Romania, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Ukraina serta Vietnam.

Mengutip dari Kompas.com, AS menyusutkan daftar internal negara-negara berkembang dan kurang berkembang.

Tujuannya untuk menurunkan batasan yang mendorong investigasi AS apakah suatu negara mengancam industri AS dengan subsidi ekspor yang tidak adil.

Jokowi Dicurhati oleh Ibu-Ibu, Para Menteri dan Gubernur Terdiam Seribu Bahasa: Lihat Kami di Bawah!

SBY Mendadak Menangis, Kenang Percakapan Ini ke Ani Yudhoyono Sebelum Meninggal: Masih Belum Kuat!

Penampakan Terkini Makam Ashraf Sinclair Suami Bunga Citra Lestari, Noah & BCL Lakukan Ini di Pusara

Hanya Begini Jawaban Laudya Cynthia Bella saat Ditanya Soal Dirinya Hapus Foto Suami di Media Sosial

Hal tersebut berdasarkan catatan yang dirilis Perwakilan Perdangan AS (USTR).

Menurut USTR, keputusan untuk merevisi metodologi tersebut terkait dengan negara berkembang untuk investigasi tarif perdagangan penting untuk dilakukan.

Pasalnya, pedoman yang dilakukan sebelumnya sudah usang karena dibuat pada 1988.

Pertimbangan AS cabut Indonesia dari status negara berkembang

Selain dicabut dari status negara berkembang, Indonesia, India, dan Afrika Selatan juga dicabut dari preferensi khusus dalam daftar anggota Organisasi Perdangan Dunia (WTO).

Untuk memperbaharui daftar tersebut, USTR telah mempertimbangkan beberapa faktor ekonomi dan perdagangan.

Ini mencakup pula tingkat perkembangan ekonomi suatu negara dan perannya dalam perdagangan dunia.

Sebagai contoh, negara dengan pangsa 0,5 persen atau lebih dari perdagangan dunia dicetuskan sebagai negara maju.

Menurut aturan 1998, ambangnya 2 persen atau lebih.

Pengamat perdagangan, Xue Rongjiu mengatakan, pengumuman pencabutan beberapa negara tersbeut dinilai telah merusak otoritas sistem perdagangan mulilateral yang selama ini terjalin baik.

"Tindakan unilateralis dan proteksionis seperti itu telah merugikan kepentingan China dan anggota WTO lainnya," kata Xue sebagaimana dikutip dari Kompas.com.

Sementara itu, pengamat perdagangan Tu Xinquan menyatakan, aturan dan mekanisme WTO harus lebih ditingkatkan.

Pasalnya, banyak negara berkembang memahami dan memanfaatkan aturan secara berbeda.

Menurutnya, hal tersebut tidak dapat diatasi dalam mekanisme negosiasi saat ini.

Tu menambahkan, reformasi WTO juga dapat mendorong negara lain untuk mengatasi masalah subsidi pertanian.

Selain itu, hambatan perdagangan pertanian, pembatasan ekspor teknologi dan hambatan perdagangan teknologi untuk memenuhi tanggung jawab mereka.

Dampak Indonesia dicoret dari daftar negara berkembang

Dampak dari kebijakan dicoretnya Indonesia dari daftar negara berkembang akan berpengaruh bagi perlakuan berbeda dan spesial dalam hal perdagangan.

Pencoretan tersebut akan berpengaruh pada batasan minimum (de minimis tresholds).

Yakni untuk marjin subsidi agar penyelidikan bea masuk anti subsidi (BMAS) selesai.

Batasan minimum tersebut akan semakin kecil.

Terkait dengan kebijakan tersebut, Direktur Pengamanan Perdagangan, Kementerian Perdagangan, Pradnyawati memberikan tanggapannya.

"Marjin subsidi agar suatu penyelidikan anti-subsidi dapat dihentikan berkurang menjadi sama denga 1 persen dan bukan dengan 2 persen," kata Pradnyawati sebagaimana dikutip dari Kontan.co.id.

Pradnyawati mengingatkan, Indonesia untuk berhati-hati berkaitan dengan hal tersebut.

Pasalnya, AS merupakan negara yang paling sering menggunakan instrumen anti-subsidi di dunia.

Berdasarkan statistik WTO periode 1995 hingga Juni 2019, AS merupakan pengguna instrumen anti-subsidi terbesar di dunia dengan total 254 inisiasi.

Dalam kurun waktu tersebut, 11 di antaranya ditujukan terhadap produk ekspor Indonesia.

"Dengan total 11 inisiasi tersebut, AS menjadi negara yang paling sering menginisiasi penyelidikan anti-subsidi terhadap produk asal Indonesia," terangnya.

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved